Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI (2018) menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Padahal, pemerintah memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu menurunkan persentase perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen. Oleh karena itu, organisasi pemerhati anak pun memberikan pernyataan sikap dan dukungan dalam pengendalian konsumsi rokok, terutama mendorong rokok harus mahal, untuk melindungi anak dan remaja dari keterjangkauan rokok.
“Apabila masih bussiness-as-usual dan belum ada perbaikan dan penanggulangan perokok anak dan remaja, jangan harap target RPJMN akan tercapai,” jelas Risky Kusuma Hartono, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), dalam acara Konferensi Pers yang bertajuk “Lindungi Anak dan Remaja dari Keterjangkauan Harga Rokok Demi Sumber Daya Unggul Mencapai Indonesia Maju”, yang digelar Kamis, 4 Agustus 2020.
Malah, lanjutnya, di tahun 2045 dengan visi Indonesia Maju, rokok terbukti mendekatkan masyarakat ke jurang kemiskinan. “Artinya, rokok ini menjadi salah satu penyebab Indonesia ini akan masuk ke dalam apa yang disebut sebagai middle income trap,” tambah Risky. “Selain itu, dari sisi kesehatan, angka harapan hidup masyarakat Indonesia ini akan mengalami kesulitan karena penyakit-penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh rokok ini.”
Ia menambahkan akan adanya transisi epidemiolog, yaitu terjadi pergeseran dari orang-orang tua yang sakit menjadi ke usia-usia produktif. “Kalau dulu, mereka yang tua yang terkena sakit, akan bergeser ke usia-usia produktif, adalah anak-anak yang saat ini kita harus lindungi,” jelasnya. “Di jangka panjang, generasi produktif malah jadi sakit-sakitan. Tentu ini akan jadi hambatan bagi Indonesia menjadi maju di tahun 2045.”
Maria Clara Bastiani dari Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) juga mengatakan hal yang sama. “Kalau mau bergerak cepat sekarang, agar anak-anak bisa tanpa rokok, lebih sehat, lebih produktif. Ini untuk jangka yang lebih panjang,” jelas Maria.
“Kalau tidak bergerak cepat untuk mengendalikan iklan ini ada di internet, di media, mereka terpapar terus dan akan terus belajar. Daya saing kita akan turun karena uangnya habis untuk hal-hal yang menyakiti kita, anak-anak menjadi tidak kreatif, mempelajari perilaku yang seharusnya tidak dilakukan,” tandasnya.
Lebih lanjut, Risky menyampaikan bahwa studi PKJS-UI tahun 2020 menunjukkan selain efek teman sebaya, efek harga berhubungan dengan peluang seorang anak menjadi perokok. Dari efek harga, diperoleh jika semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok. Apalagi saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan/ketengan.
“Studi PKJS-UI tahun 2021 menunjukkan anak usia sekolah sangat mudah membeli rokok batangan karena sebanyak 61,2 persen warung rokok berada pada radius ≤100 meter di sekitar area sekolah, dengan harga rokok batangan yang dijual pun masih terjangkau oleh uang saku anak, yaitu pada kisaran Rp1.500 per batang,” tambahnya.
Keterjangkauan akses untuk membeli rokok yang masih sangat murah dan mudah oleh anak-anak dan remaja akan membuat Indonesia kesulitan untuk mencapai penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2020-2024.
Belum terlindungi
Menurut Ahmad Taufan Damanik, dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (Komnas HAM), rokok berkaitan dengan Hak Asasi anak.
Komnas HAM sudah mengajukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tujuannya agar anak lebih terlindungi dari bahaya rokok. Baik itu dari pengaruh sosial untuk ikut berperilaku merokok, bahaya asap rokok dari lingkungan sekitar, di rumah, di tempat umum maupun di transportasi umum.
“Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum meratifikasi FCTC tersebut. Setidaknya ada kebijakan yang terus secara progresif, tahap demi tahap, mendekati apa yang menjadi substansi dari FCTC. Misalnya iklan, promosi, dan sponsorship dari rokok ini semestinya dilarang di Indonesia. Industri rokok masih sangat bisa membangun iklan saat ini. Mestinya sudah lebih dibatasi terutama di ruang-ruang yang dekat dengan lokasi anak-anak yang dapat dilanjutkan lebih luas ke ruang-ruang publik. Pemerintah juga harus melakukan pembatasan yang tegas berupa pelarangan adanya rokok di sekitar sekolah atau misalnya taman untuk semakin melindungi anak.” tambah Ahmad Taufan Damanik.
Sementara itu, Ahmad Sofian, Koordinator End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT Indonesia) menambahkan bahwa rokok saat ini masih sangat mudah didapatkan secara daring melalui e-commerce dan hanya penyedia tertentu yang memverifikasi bahwa rokok ini diperuntukkan bagi usia diatas 18 tahun (bukan untuk anak).
“Selain itu, selama ini yang terkena teguran ketika menjual rokok lebih banyak kepada anak lebih banyak kasir dan SPG, tetapi industri rokok belum mendapatkan sanksi mengenai adanya kasus ini. Orang pada lapis bawah yang kena denda tetapi industri rokok tidak ikut terkena denda dalam kasus. Ditambah, Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 belum harmonis dengan perlindungan anak dan PP ini sudah kadaluarsa. PP ini juga sudah tidak sinkron dengan UU ITE karena penjualan rokok sekarang banyak yang menggunakan e-commerce,” jelasnya Ahmad Sofian.
Rekomendasi
Maria Clara Bastiani (Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak/JARAK) mewakili 42 organisasi pemerhati anak menyampaikan beberapa rekomendasi.
“Dari sisi kebijakan fiskal, kami mendorong kenaikan harga rokok sebagai upaya agar rokok tidak terjangkau oleh anak-anak dan remaja, melalui cukai rokok yang harus secara konsisten dinaikkan setiap tahunnya (dengan rerata kenaikan cukai rokok sebesar 25 persen per tahun), penyederhanaan strata tarif cukai rokok untuk mencegah konsumen beralih ke harga rokok yang lebih murah; serta kenaikan cukai hasil tembakau selain untuk upaya pengendalian konsumsi rokok juga dapat menyejahterakan pekerja dan petani tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Sementara untuk kebijakan nonfiskal, antara lain mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 agar perubahan regulasinya dapat lebih melindungi anak dari produk rokok, mendorong larangan penjualan rokok batangan/ketengan untuk efektivitas cukai rokok dan memperketat akses oleh anak-anak dan masyarakat pra-sejahtera, mendorong pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media, baik di luar ruang, dalam ruang, televisi, dan media digital, termasuk internet, mendorong perluasan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok; serta mengatur pengendalian rokok elektronik sebagaimana adanya regulasi untuk rokok konvensional.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post