Jakarta, Prohealth.id – Menurut Deputi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayan, Agus Suprapto mengatakan pada 2024 terhadap 37 juta anak dan remaja pada usia 10-18 tahun. Kondisi ini mendorong target penurunan prevalensi perokok anak dan remaja pada 2024 harus sebesar 8,7% atau setara dengan 70 ribu anak dan remaja yang berhenti merokok dari yang sebelumnya masih tinggi yaitu 9,1%. Sayangnya, target ambisius ini belum didukung oleh sejumlah kebijakan. Padahal fokus pemerintah mendorong sumber daya manusia (SDM) berkualitas salah satunya melalui pengendalian angka perokok anak dan remaja.
Dia memerinci saat ini kebijakan PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan merupakan kebijakan non fiskal sedang dalam rencana revisi untuk mencapai target RPJMN 2019-2024. Sayangnya revisi PP 109/2012 untuk mendorong pengendalian perokok ini malah terbentur dengan isu kesejahteraan petani tembakau yang terancam dengan revisi tersebut.
Daya dukung kebijakan lain saat ini pun hanya ada segelintir saja. Misalnya kebijakan fiskal yang bertautan dengan visi PP 109/2012 antara lain; UU No. 39/2007 tentang cukai, UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, serta UU No 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Sejumlah kebijakan fiskal dan non fiskal ini menurut Agus belum cukup kuat mendampingi revisi PP 109/2012.
“Alhasil akhirnya kita melihat usulan revisi PP 109/2012 itu seolah mengorbankan petani, maka perlu UU Tata Niaga Tembakau ini,” ujar Agus, Rabu (21/4/2021) dalam workshop Bersama Lentera Anak.
Saat ini untuk menurunkan prevalensi perokok Agus menyebut sudah ada 16 kabupaten dan kota yang menerapkan regulasi tingkat daerah melalui pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di tingkat daerah. Dia menegaskan komitmen yang sudah dijalankan selama ini oleh regulator tingkat daerah tetap konsisten dan jangan sampai kendor. Alasannya, kebijakan sejenis sudah terbukti berhasil diterapkan di Jerman, yang mana setiap daerah sudah punya regulasi untuk membatasi promosi dan larangan akses peredaran rokok di setiap daerah.
“Jerman punya perundangan khusus perlindungan anak yang mengatur larangan akses dan larangan iklan, serta pembatasan peredaran dan tata cara penjualan disertai mandat pengawasan dan sanksi,” terang Agus.
Prohealth.id mencatat saat ini sudah ada 309 kabupaten dan kota dari 34 provinsi yang sudah menerbitkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Ada 103 dari 435 kabupaten/kota yang berkomitmen memiliki regulasi KTR sudah memulai program kabupaten/kota layak anak.
Regulasi pelarangan iklan media luar ruangan pun sudah terakomodasi melalui Perda yang dibuat oleh 16 kabupaten/kota. Beberapa kota lain misalnya; DKI Jakarta, Kota Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi, Kota Pontianak, Kabupaten Lamongan juga telah mengakomdasi pelarangan iklan di tempat penjualan rokok pada etalase/kasir. Beberapa upaya lain dengan meluncurkan layanan berhenti di 253 puskesmas yang tersebar di 22 kabupaten atau kota. Pemda juga mulai aktif dalam mensosialisasikan peringatan kesehatan pada bungkus rokok yang sebelumnya sudah diatur melalui Permenkes.
Agus menambahkan melalui kebijakan tata niaga tembakau dia berharap tiga target utama penurunan prevalensi merokok tercapai yakni; anak tidak mendapatkan akses rokok, anak terlindung dari paparan pengaruh untuk mencoba rokok, dan anak berhenti merokok.
Discussion about this post