Sebelum UU Kesehatan diresmikan pada Selasa, 11 Juli 2023 lalu, pro dan kontra seputar pasal tembakau masuk dalam kategori narkotika memang meramaikan diskusi di dunia maya.
Dalam pantauan Prohealth.id, pro yang datang dari kelompok aktivis pengendalian tembakau dan pegiat kesehatan masyarakat harus berhadapan dengan kelompok kontra yang dimotori oleh petani tembakau, para buruh dan pekerja industri rokok. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat menjelaskan agar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Terutama karena adanya penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 di RUU Kesehatan yang akan bersifat omnibus law itu.
Ia berpendapat, jika hasil olahan tembakau masuk dalam narkotika dan psikotropika, hal itu akan menimbulkan diskriminasi terhadap petani tembakau yang membudidayakan tanaman tembakau sejak zaman kolonial. Hal ini dipandang akan berdampak besar secara ekonomi. Tak hanya itu, ia juga berdalih bahwa narkotika dan psikotropika sudah diatur dalam undang-undang khusus, sehingga jika tembakau masuk bersama alkohol, narkotika, dan psikotropika dia mencemaskan hal itu akan menimbulkan permasalahan sosial.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR, Nur Nadlifah mengatakan saat proses perumusan RUU Kesehatan, Komisi IX tidak menutup keran aspirasi. Oleh karena itu, Komisi IX menerima masukan dari para pekerja dan petani tembakau terkait RUU Kesehatan. Dengan alasan yang sama, Nur Nadlifah menyebut mayoritas fraksi di Komisi IX menolak penyetaraan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, hanya ada dua fraksi partai yang menolak RUU Kesehatan yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat. Meski demikian, dua fraksi ini tidak terlalu menggaris bawahi persoalan pengendalian tembakau. Dua fraksi ini banyak tidak bersepakat dengan aturan penghapusan mandatory spending yang dikhawatirkan akan mencederai amanat kesehatan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Manik Marganamahendra, Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengatakan perdebatan soal kepentingan ekonomi seharusnya tidak mengabaikan kepentingan kesehatan nasional. Ia berujar, fakta ilmiah sudah menyebutkan adanya hubungan kuat antara rokok dengan narkotika.
“Karena rokok ini menjadi pintu gerbang masuk ke narkoba, karena ada kandungan nikotin,” ujar Manik dalam forum konferensi pers, untuk memberikan sikap tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sat aitu sedang dibahas di DPR-RI.
Manik menegaskan, Badan Narkotika Nasional (BNN) bahkan sudah memasukkan rokok dalam kategori narkotika golongan rendah. Artinya, berdasarkan faktor tersebut pemerintah memang sudah seharusnya membatasi penjualan rokok, sekalipun rokok termasuk dalam barang legal.
“Selama ini aturan membeli rokok seolah-olah sangat mudah, maka rokok harus dibatasi karena dia [rokok] ini barang tidak normal sekalipun legal,” jelasnya.
Mantan Ketua BEM UI ini juga mengkritik keras perspektif anggota DPR RI dan pemerintah yang tidak punya paradigma berpikir mengendalikan jumlah perokok, sehingga berpotensi mencederai kesehatan generasi masa depan Indonesia.
“Hal ini sangat berbahaya, apalagi KTR di daerah tidak cukup. Banyak daerah yang gagal karena kita tidak punya aturan yang kuat,” terang Manik.
Ia tak menampik, isu seputar mandatory spending yang dihapuskan dalam UU Kesehatan memang isu yang paling mencuri perhatian tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi segenap masyarakat. Ia menambahkan, penghilangan mandatory spending ini juga memperkuat asumsi bahwa paradigma berpikir pemerintah dan legislatif, tidak berorientasi pada hak kesehatan publik.
“Ini menunjukkan, isu kesehatan hanyalah lapisan ketiga yang dilihat oleh politisi. Bayangkan, mandatory spending yang seharusnya bisa berdampak menangani penyakit katastropik, termasuk yang disebabkan oleh rokok justru dihapuskan,” pungkasnya.
Discussion about this post