Jakarta, Prohealth.id – Kelompok masyarakat adat di Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan tantangan yang besar bagi pemerintah untuk mengakses kelompok ini dan melakukan vaksinasi.
Ketua Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) Devi Anggraini menjelaskan kelompok masyarakat adat memang menjadi tantangan tersendiri karena letak geografis yang berjauhan. Salah satu persoalan yang memicu vaksinasi kepada kelompok masyarakat adat kerap dikaitkan dengan catatan administrasi yang mana tak semua masyarakat ada punya Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kekosongan data NIK ini masih ditambah dengan banyak masyarakat adat yang menyatakan bahwa mereka bisa hidup dengan tata cara mereka sendiri. Alhasil kelompok adat ini pun di hidup di wilayah-wilayah pedalaman yang sulit juga dijangkau oleh masyarakat umum. Misalnya saja; ada masyarakat adat Kajang dalam, ada Baduy dalam, ada Tobelo dalam. Devi menambahkan biasanya dalam proses-proses kehidupan mereka pun tidak boleh menggunakan sesuatu yang tidak mereka produksi.
“Ini satu tantangan tersendiri dalam situasi ini, dan itu adalah bagian yang sebenarnya pemerintah harus bisa melihat cara efektif menjangkau masyarakat adat dan memperhatikan persoalan administrasi dan catatan kependudukan,” kata Devi beberapa waktu lalu dalam acara yang diselenggarakan oleh CISDI.
Sebelumnya, pemerintah sempat memasang aturan bahwa untuk mengakses vaksin harus ada NIK, harus ada administrasi yang dipenuhi dan hal ini sangat bias hanya dimiliki masyarakat perkotaan. Banyak sekali proses dan informasi menggunakan media virtual dalam sosialisasi vaksin.
Selain itu, Devi juga menyoroti adanya persoalan bahasa yang kemudian memang tidak mudah dimengerti oleh masyarakat adat. Istilah-istilah yang digunakan bukanlah istilah yang akrab dengan mereka.
Oleh karena itu diperlukan sesuatu yang bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat adat sehingga proses sosialisasi penanganan Covid-19 tetap bisa diterima masyarakat adat. Bahkan kata vaksin menimbulkan banyak penolakan di masyarakat adat, karena banyak informasi yang sampai kepada mereka yang tidak bisa dipahami dengan baik.
USULAN UNTUK PEMERINTAH
Untuk menangani cara penanganan pandemi yang masih bias memang dengan memangkas aturan NI. Devi menilai pemerintah perlu memperhatikan konteks pemenuhan hak sebagai warga negara sehingga masyarakat adat bisa mengakses tahapan vaksinasi tanpa harus mengikuti administrasi negara yang justru gagal menjangkau warga negaranya khususnya masyarakat adat.
Menurut Devi, kerentanan lain dari masyarakat adat adalah di wilayah-wilayah yang ada konsesi perusahaan ataupun wilayah-wilayah masyarakat yang terbuka karena menjadi jalan penghubung, baik itu lintas kabupaten maupun lintas provinsi ketika melakukan lockdown. Pasalnya masyarakat pun tetap saja bekerja karena mereka tidak bisa mencegah aktivitas perusahaan.
“Hal lain menurut saya yang ini juga penting, kenapa sih negara ini suka sekali membangun infrastruktur tapi tidak digunakan di dalam situasi krisis seperti ini saya ingin mengingatkan,” ujarnya.
Dia memaparkan, kader Posyandu sebenarnya sudah tersebar sampai ke kampung-kampung, umumnya mereka sangat militan dalam konteks pendataan. Oleh sebab itu dia menyarankan seharusnya Posyandu ini lebih efektif melakukan sosialisasi vaksinasi namun negara menyia-nyiakannya.
“Jadi bayangkan kalau seluruh pengetahuan mengenai bagaimana penanganan dan seterusnya juga bisa diberikan kepada kader-kader Posyandu dan menggunakan mereka secara efektif di dalam proses ini menurut saya jangkauannya langsung ke keluarga-keluarga. Ini menurut saya justru diabaikan di dalam proses ini.
Dia menilai ini merupakan bentuk pemerintah pun tidak melibatkan perempuan lebih banyak dalam proses sosialisasi vaksinasi. Padahal kelompok perempuan terutama kader Posyandu punya peran yang sangat kuat di dalam proses mendorong kesehatan masyarakat.
Dia menambahkan bahwa dalam masyarakat adat, perempuan adalah penjaga, perempuan adalah menjaga ketahanan hidup komunitasnya. Jadi informasi yang disampaikan melalui para kader sebenarnya akan cepat menyebar di keluarga-keluarga, di kampung-kampung, sehingga penanganannya akan lebih cepat.
“Proses imunisasi disampaikan itu pasti lewat Posyandu dan Posyandu ini tidak hanya karena ada uang dari pemerintah, tapi mereka tetap berperan karena buat perempuan ini adalah ruang mengaktualisasikan diri dan juga menjadi tempat berkumpul di mana mereka saling mempertukarkan kabar,” ujar Devi.
TANTANGAN MASYARAKAT ADAT
Saat ini ada sekitar 17 juta jiwa yang bergabung di aliansi masyarakat adat Nusantara, atau di 2.322 komunitas adat di dalam organisasi Perempuan AMAN. Dari jumlah ini, masih ada sekitar 8 juta jiwa perempuan adat yang ada di dalamnya.
Asal tahu saja, saat ini seluruh kementerian dan lembaga negara yang bekerja atau memiliki kerja yang terkait dengan masyarakat adat menggunakan nomenklatur masyarakat ada yang berbeda-beda. Akibatnya, ada masyarakat adat yang terasing, seperti komunitas adat terpencil dan seterusnya. Devi menegaskan, situasi ini menyulitkan dalam menunjukkan kehadiran masyarakat adat sebagai masyarakat adat sebagai warga negara.
“Tentunya hal ini juga menyulitkan kami untuk mengakses vaksinasi. Kami mencatatkan mungkin tidak sampai 1 persen dari 17 juta jiwa masyarakat ada yang sudah divaksin. Jadi, bisa bayangkan bagaimana kami kemudian tertinggal jauh di dalam proses proses ini,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post