Viralnya gugatan dari konsumen melalui media sosial terhadap EsTeh Indonesia jelas mencuri perhatian publik, khususnya para pecinta minuman manis. Salah satu poin utama dalam complain konsumen adalah rasa minuman yang terlalu manis dan disinyalir akan menyebabkan diabetes.
Co-founder Persatuan Diabetes Indonesia Muda, Anita Sabidi, mengatakan bahaya diabetes di Indonesia memang sudah di depan mata, persis seperti tudingan netizen. Berdasarkan data International Diabetes Federation, Indonesia menempati peringkat kelima di dunia sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak.
Menurut dia, di Indonesia ada 19,5 juta jiwa penderita diabetes. Mayoritas atau sekitar 98 persen adalah diabetes tipe B atau lebih dikenal dengan diabetes tipe 2. Diabetes tipe ini disebabkan oleh pola hidup tidak sehat termasuk salah satunya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berlebih.
Dokter Spesialis Anak, dr. Kurniawan Satria Denta, mewanti-wanti agar masyarakat lebih melek terhadap minuman yang mereka konsumsi. Ia mengingatkan agar masyarakat, khususnya mereka yang punya anak, bisa melihat kandungan gula dari sebuah minuman. Sebab, ada batas maksimal konsumsi gula per hari.
Menurut Denta, banyak masyarakat yang menganggap dampak buruk dari minuman berpemanis baru terasa bertahun-tahun kemudian. Sementara, sel yang ada di dalam tubuh akan langsung bereaksi begitu terkena minuman manis, apalagi jika melebihi ambang batas.
Baca Juga: PB IDI Dukung Aturan Label Bisfenol A untuk Kemasan Plastik
“Kalau kandungan gula di produk sudah di atas 20 persen dari batasan konsumsi harian berarti bisa dikategorisasikan tinggi, apalagi kalau 50 persen. Jika sudah lebih maka gula itu akan disimpan menjadi lemak,” katanya.
Sementara itu, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyebut minimnya perlindungan konsumen dari minuman berpemanis menjadi salah satu penyebab tingginya diabetes.
“Aturan yang ada sekarang ini sangat ketinggalan dan konservatif,” kata dia.
Sudaryatmo menilai Kemenkes dan Kemenkeu harus duduk bersama dengan Kementerian lain untuk menyusun aturan yang benar-benar bisa melindungi konsumen.
Rendahnya kesadaran anak muda bahaya minuman berpemanis
Desi Rahmawaty, perwakilan komunitas Simpul Remaja yang beroperasi di Maluku, Provinsi Maluku mengatakan, anak muda Indonesia, seperti di daerah tempat tinggalnya saat ini, masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai persoalan MBDK. Bahkan, banyak yang belum mengetahui berapa idealnya jumlah konsumsi gula setiap harinya.
“Karena itu, menurut saya, edukasi kesehatan kepada anak muda bisa dimulai dengan edukasi konsumsi gula harian,” jelas Desy dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), 17 September 2022 lalu.
Senada dengan pernyataan Desi, CISDI menemukan satu studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap 4 menit sekali. Temuan lain menyebut 1 dari 10 anak Indonesia atau sekitar 14,7 persen mengkonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1 persen pada 2013 dan 2018.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, dalam acara Forum for Young Indonesians (FYI) mengatakan, sampat saat ini memang ada regulasi terkait iklan, promosi, dan sponsor MBDK. Kondisi ini yang membuat pemasaran MBDK selalu dikemas sangat menarik bagi anak-anak muda.
“Akibatnya, jumlah konsumen terus meningkat dan menciptakan kesan MBDK adalah produk yang normal dan baik-baik saja.”
Baca Juga: Jurnalisme dan Ambang Kewarasan Mental Jurnalis
Survei daring CISDI terhadap 2.605 responden menemukan setidaknya 78 persen responden merasa minuman berpemanis memenuhi kriteria barang kena cukai. Riset yang sama menunjukan 80 persen responden atau setara 8 dari 10 orang sepenuhnya mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK.
Sementara, 85 persen responden mengaku akan mengurangi konsumsi MBDK jika pengenaan cukai mencapai 20 persen.
“Kehadiran data ini seharusnya memberikan dukungan bagi pemerintah untuk segera menerapkan cukai,” ungkap Olivia kembali.
Anggapan cukai MBDK mengganggu pemulihan ekonomi, berdampak pada kenaikan harga bahan pokok, serta tidak efektif mengurangi konsumsi pun tidak tepat. Bahkan, dana yang terkumpul dari pengenaan cukai juga dapat bermanfaat bagi sektor-sektor lain, seperti untuk menambah pembiayaan upaya promosi kesehatan di Indonesia.
“Padahal konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan adalah salah satu faktor risiko yang meningkatkan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia, termasuk terhadap anak-anak muda,” tutur Olivia kembali.
Untuk meningkatkan kesadaran generasi penerus, CISDI mengajak anak muda mendorong pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kesehatan masyarakat. Salah satunya melalui penandatanganan petisi daring yang mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen. Selain petisi, CISDI juga mendorong adanya representasi multi-stakeholder dan anak muda dalam proses regulasi cukai MBDK dengan mendatangkan 30 anak muda dari 16 organisasi untuk menghadiri FYI dan mengikuti pelatihan advokasi kebijakan.
Olivia yakin gerakan masyarakat ini bisa membantu pemerintah membangun kesadaran publik akan bahaya diabetes. Terutama sudah banyak negara yang menerapkan cukai MBDK, termasuk beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan Brunei. Di negara-negara yang sudah mengenakan cukai pada produk MBDK ini, kata dia, konsumsi minuman berpemanis turun drastis setelah kebijakan fiskal ini diberlakukan. Sehingga, CISDI dan koalisi terus mendorong pemerintah agar mengambil kebijakan cukai ini. “Cukai ini efektif dalam mengendalikan konsumsi,” katanya.
Merespon dorongan atas cukai MBDK, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes mengatakan pemerintah sebenarnya sudah punya banyak regulasi yang mengatur soal minuman berpemanis. Tak hanya aturan, Eva mengatakan pemerintah juga melakukan banyak upaya edukasi dan pencegahan soal bahaya diabetes.
Eva menyebut, upaya-upaya ini masih perlu dioptimalisasikan dengan kebijakan lain yang mendukung pelaku usaha melakukan reformulasi produk serta kebijakan untuk mendukung penyediaan lingkungan sehat (rendah gula dan garam) di sekolah, tempat kerja, dan ruang publik lainnya. “Kita juga ingin menetapkan kebijakan fiskal pada minuman dan makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak (GGL),” katanya.
Baca Juga: Menganalisa Rasio Tenaga Kesehatan di Provinsi DKI Jakarta Menggunakan “Google Spreadsheet”
Urgensi cukai MBDK
Indonesia harus diakui tengah menghadapi krisis kesehatan yang mengkhawatirkan. Pada 2018, sebanyak 21,8 persen penduduk Indonesia mengalami obesitas. Bahayanya, obesitas menjadi faktor risiko munculnya berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes.
Jumlah ini berpotensi terus meningkat mengingat Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara sebagai negara dengan konsumsi MBDK tertinggi. Tercatat, dalam 20 tahun terakhir konsumsi MBDK di Indonesia terus naik hingga mencapai 15 kali lipat. Oleh karena itu, cukai MBDK menjadi salah satu solusi untuk melindungi kesehatan masyarakat. Penerapan cukai MBDK sudah diterapkan di lebih dari 49 negara. Studi Pan American Health Organization (PAHO) menunjukkan tarif cukai 20 persen efektif menurunkan konsumsi MBDK hingga 24 persen.
Peneliti Ekonomi Obi Wan Catnobi mengatakan ada konsep yang perlu dipahami publik, jika cukai bukanlah sebuah instrumen untuk melarang orang-orang mengkonsumsi minuman berpemanis melainkan instrumen yang digunakan untuk mengendalikan konsumsi suatu barang yang apabila dikonsumsi secara berlebihan dapat merugikan. Ia mengatakan pelarangan tak akan pernah berhasil. “Di sini konsepnya adalah mengontrol dan mengurangi konsumsi,” katanya.
Dia mengatakan tujuan utama dari cukai ini adalah mengendalikan konsumsi dan melindungi masyarakat dari MBDK.
Baca Juga: Susu Kebutuhan Pokok bagi Gizi Anak
Kemudian, ia menyebut Meksiko merupakan negara paling sukses karena berhasil menurunkan 37 persen konsumsi MBDK setelah 3 tahun berjalan. Bahkan di Inggris konsumsi turun sampai 45 persen.
“Industri di sana (Inggris) merespon dengan riset formula baru makanan dan minuman yang mengandung lebih sedikit pemanis. Dua respons ini yang diharapkan. Masyarakat sadar dan kemudian pelaku usaha melakukan reformulasi produk mereka ke produk yang lebih sehat,” katanya.
Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi BPOM Dra. Deksa Presiana, Apt, M.Kes. menuturkan BPOM sangat mendukung pengendalian produk gula berkalori tinggi. Selain itu, BPOM juga terus mengatur batas maksimal pemanis buatan sesuai dengan batas masuk dalam tubuh.
“BPOM juga sudah sosialisasi ke produsen soal pemanis buatan ini, pengawasannya juga pre dan post market,” katanya. Termasuk melarang penggunaan pemanis buatan untuk produk balita, ibu hamil, dan menyusui.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, mengatakan setiap usulan cukai akan konsultasi terlebih dahulu dengan Komisi XI DPR sesuai dengan aturan undang-undang. Namun, ia mengatakan Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan sebenarnya sudah lama membuat kajian soal cukai minuman berpemanis ini.
Yustinus mengatakan kajian soal cukai MBDK ini juga sudah pernah dibahas dengan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, juga BPOM. Oleh karenanya, Kemenkeu memang sedang fokus membahas kemungkinan penambahan cukai pada plastik dan MBDK.
Apalagi dia tak menampik bahwa cukai memang instrumen yang strategis untuk membatasi konsumsi MBDK. Sebab, ia juga setuju banyak dampak buruk MBDK.
“Tantangannya justru pada aspek teknis administrasi, sebab minuman kemasan tak hanya yang resmi buatan pabrikan, tapi banyak yang beredar luas di masyarakat, bagaimana ini juga diatur,” katanya.
Selanjutnya: Mahasiswa UI Boyong Dua Piala Penelitian Kesehatan Gigi
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post