Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tarif baru BPJS Kesehatan diperkirakan mulai berlaku pada 1 Juli 2025. Hal itu tertuang dalam Pasal 103A Ayat (8).
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengaku khawatir kenaikan iuran BPJS tersebut akan memberatkan masyarakat. Hal tersebut juga telah dia sampaikan langsung saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Direktur BPJS dan Dewan Jamionan Sosial Nasional (DJSN).
“Dalam RDP, saya sampaikan keberatan terhadap adanya rencana kenaikan iuran. Karena itu pasti akan memberatkan masyarakat. Apa lagi dalam situasi ekonomi dunia yang sedang tidak baik baik saja,” kata Irma kepada Prohealth.id, Selasa (25/2/2025).
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Betta Anugrah menilai rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang selalu menjadi topik sensitif karena langsung berdampak pada masyarakat. Dari satu sisi, kata Betta, kenaikan iuran bisa jadi untuk menjaga keberlanjutan layanan kesehatan dan menutup defisit anggaran BPJS.
Namun, di sisi lain, kebijakan itu juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat.
“Terutama kelompok menengah ke bawah yang paling terdampak,” ucap Betta.
Menurut Betta, jika banyak warga yang mengeluh, pemerintah sebaiknya meninjau ulang skema kenaikan tersebut. Misalnya, dengan memastikan adanya skema subsidi silang yang lebih adil, meningkatkan efisiensi pengelolaan dana BPJS, dan memperbaiki kualitas layanan sebelum menaikkan iuran.
Selain itu, Betta juga menilai perlu ada kajian mendalam mengenai dampak ekonomi dari kenaikan ini terhadap kelompok rentan. Jadi, ukuran kesuksesan kenaikan tarif BPJS Kesehatan sangat tergantung dari implementasi kebijakan ini.
“Jika kenaikan dibarengi dengan perbaikan layanan dan perlindungan bagi kelompok rentan, maka bisa dianggap wajar,” imbuhnya.
Betta mewanti-wanti, pemerintah perlu meninjau lebih kompleks lagi agar kenaikan ini tidak membebani masyarakat di kemudian hari.
Dalam Perpres 59/2024, tertulis bahwa sistem iuran BPJS Kesehatan dengan mekanisme Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
“…….Pembayaran tarif oleh BPJS Kesehatan dilakukan sesuai tarif kelas rawat inap rumah sakit yang menjadi hak Peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian dikutip dari Perpres tersebut Pasal 1038 Ayat (3).
BPJS Kesehatan mulai resmi beroperasi pada 1 Januari 2014. Dasar pendirian BPJS Kesehatan mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan mulanya bertujuan untuk memastikan seluruh warga Indonesia terlindungi hak kesehatannya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggara (PUSKAHA) Indonesia, Yenti Nurhidayat menyatakan urgensi BPJS Kesehatan bukan dari masalah nominal biaya tetapi tata kelola BPJS yang belum baik. Padahal pemerintah punya peran dan fungsi yang sangat tepat dalam tata kelola BPJS Kesehatan.
“Fungsinya sebagai regulator, BPJS sebagai penyelenggara, tukang pengumpul uang, masyarakat sebagai pembayar premi dan peserta, lalu PPK rumah sakit sebagai penyedia. Sebagai yang di tengah harus memperhitungkan keadilan dalam hubungan ini,” ujar Yenti kepada Prohealth.id pada 14 Februari 2025 lalu.
Sayangnya, Yenti menilai banyak agenda terselubung yang mengalihkan kerja BPJS Kesehatan dan justru menjadi tak tepat sasaran. Akibatnya, peserta dan PPK malah terabaikan.
“Ketika uang terkumpul, dana yang terkumpul BPJS Kesehatan malah bisa untuk investasi dalam bentuk SBN. Siapa yang jadi penghutang SBN, pemerintah lagi,” kritiknya.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtunewe menyatakan pemerintah memang tak bisa lagi menunda kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Ia beralasan, sudah sekian tahun dengan harga obat dan faskes yang makin mahal maka perlu penyesuaian tarif.
“Tetapi bagaimana caranya supaya tidak membebani masyarakat itu sendiri, dengan kondisi keuangan seperti ini,” terangnya.
Untuk itu, kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang ramah bagi masyarakat harus juga memiliki komitmen dan kejelasan terkait beban tarif. Contoh, skema kenaikan dengan tetap mengambil dana dari masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan, ataukah justru menjadi kewajiban dari pemerintah berbentuk subsidi.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post