Di tengah euforia dunia terhadap kendaraan listrik dan energi terbarukan, Indonesia, sebagai salah satu penghasil nikel terbesar, kini berada di persimpangan jalan.
Nikel, mineral yang menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, memegang peranan penting dalam transisi energi global. Dari balik potensi besar dari sektor ini, terhampar serangkaian tantangan sosial dan ekologis yang tak bisa diabaikan. Dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan hingga ketegangan antara perusahaan besar dan masyarakat lokal, proses transisi energi yang seharusnya berkelanjutan ternyata penuh dengan kompleksitas.
Kamis, 14 November 2024, di Auditorium Mochtar Riyadi Universitas Indonesia, para akademisi dan praktisi berkumpul untuk membahas tema ini dalam seminar bertajuk “Analyzing Energy Transitions Using the Whole Systems Approach”. Diskusi ini bertujuan untuk mengupas dampak dan potensi transisi energi dalam konteks rantai komoditas nikel, dengan fokus pada Indonesia yang berperan penting dalam pemasokan global. Seminar ini tidak hanya menyoroti potensi ekonomi, melainkan juga mengungkap sisi gelap yang sering terabaikan: dampak sosial-ekologis akibat industri nikel.
Menghadapi Dinamika Energi Global: Fokus China dan Peran Indonesia
Dr. Ardhitya Yeremia, Co-Prinsipal Investigator dalam proyek ini, membuka diskusi dengan analisis mendalam tentang ekonomi politik China. Ia menekankan meskipun China adalah pemain utama dalam energi terbarukan, dinamika yang terjadi tidak bisa menilainya secara linier.
“Di level nasional, China menunjukkan komitmen besar terhadap energi hijau. Tapi di tingkat lokal, kita melihat banyak inkonsistensi, termasuk dalam investasi mereka di sektor nikel Indonesia,” ujar Dr. Ardhitya.
Menurut dosen ilmu Hubungan Internasional yang akrab dengan sapaan Yere, China adalah negara dengan kapasitas terbesar dalam manufaktur kendaraan listrik dan teknologi baterai, cukup bergantung pada pasokan nikel Indonesia. Namun, di tengah upaya mereka untuk memenuhi target energi terbarukan, tantangan muncul dalam hal pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
“Kalau kita melihat secara global upaya transisi energi terbarukan, China adalah pemain kunci, jadi dia sebenarnya juga menentukan keberhasilan transisi energi,” ujar Yere.
Dalam kasus Indonesia, kata Yere, meskipun nikel telah menjadi andalan dalam industri global, penerapan kebijakan dan praktik seringkali hanya menguntungkan sektor tertentu. “Dengan permintaan global yang tinggi, kita justru menghadapi dampak sosial dan ekologis yang lebih besar, terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat industri nikel seperti Bahodopi,” tambahnya.
Di sisi satu Bahodopi dianggap sebagai simbol kesuksesan, karena banyak daerah sekitarnya yang ingin seperti Bahodopi: didatangi banyak orang dan kemudahan untuk membuka usaha baru seperti penginapan dan usaha makan. Di sisi lain, Bahodopi juga menjadi contoh konkret bagaimana industri nikel menghadirkan permasalahan besar bagi masyarakat lokal. “Bahodopi sekarang mirip Jakarta kecil, penuh kemacetan, sampah, dan banjir. Masyarakat lokal merasakan keresahan; mereka merindukan lingkungan hijau yang dulu menjadi kebanggaan,” jelas Yere.
Antara Kebijakan dan Realitas Sosial: Ketegangan antara Perusahaan dan Warga Lokal
Mengalihkan fokus pada dampak sosial-ekologis, La Huzen Zuada, ahli politik regional, menjelaskan ketegangan yang muncul antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal. Rantai komoditas nikel di Indonesia melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan besar, hingga masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang. Meskipun pemerintah seringkali mengklaim bahwa investasi besar ini membawa manfaat ekonomi, kenyataannya banyak warga yang merasa terpinggirkan oleh industrialisasi masif.
La Huzen menjelaskan bahwa perusahaan tambang sering menggunakan berbagai strategi untuk mendapatkan konsesi lahan, termasuk janji pekerjaan dan kompensasi yang sering kali tidak adil. “Sebagian besar pekerja datang dari luar daerah, sementara masyarakat lokal banyak yang tidak mendapat keuntungan yang sebanding. Bahkan ketika mereka bekerja, upahnya tidak memadai daripada kerugian yang mereka alami,” ujar La Huzen.
Ia juga mencatat bahwa meskipun perusahaan tambang sering kali menawarkan proyek sosial sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), banyak dari proyek-proyek tersebut tidak sepenuhnya menguntungkan bagi masyarakat lokal. “Masyarakat tidak tinggal diam. Mereka punya strategi sendiri, seperti membangun infrastruktur mendadak di lahan mereka agar bisa mendapatkan ganti rugi yang lebih besar,” ujarnya. Namun, ia menambahkan bahwa banyak penduduk lokal tetap berada di posisi yang lemah, bahkan mengalami peminggiran sosial akibat industrialisasi masif.
Selain dampak sosial, La Huzen juga menyoroti masalah-masalah lingkungan yang muncul akibat proses pertambangan. “Nelayan kehilangan akses ke laut karena pencemaran. Petani kehilangan lahan akibat tambang, dan masyarakat lokal sering dipaksa meninggalkan tanah mereka. Ini adalah perang jerat antara warga dan perusahaan,” tuturnya dengan nada prihatin.
‘Semua Anak Muda Pergi ke Weda’
Salah satu dampak penting dari perubahan ini adalah bagaimana generasi muda di kawasan tambang melihat masa depan mereka. Geger Riyadi, seorang peneliti antropologi, berbicara tentang dinamika perubahan sosial di wilayah tambang, khususnya di Halmahera Tengah.
“Anak-anak muda di kampung saya bilang, ‘Mending mati di Weda daripada duduk di kampung sampai bodo.’ Mereka melihat kerja di kawasan tambang sebagai satu-satunya jalan untuk masa depan,” ujar Geger. Weda, yang juga pusat industri nikel, telah berubah menjadi kawasan dengan arus urbanisasi yang sangat cepat. Namun, geger juga mengingatkan bahwa pekerjaan di tambang seringkali tidak seperti yang bayangan para pencari kerja muda ini.
“Romantisasi pekerjaan di tambang, yang dianggap bisa memperbaiki kehidupan ekonomi, seringkali menutupi kenyataan pahit di lapangan,” kata Geger. Banyak pekerja muda yang datang ke kawasan tambang. Mereka berharap bisa mendapatkan gaji besar dalam waktu singkat. Namun mereka tidak siap dengan tantangan kehidupan urban yang keras. Misalnya; kemacetan, biaya hidup yang tinggi, dan lingkungan yang tidak mendukung.
Selain itu, Geger juga mencatat adanya ketimpangan dalam akses pekerjaan. “Sebagian besar pekerja masih membayangkan kembali ke kampung setelah mengumpulkan cukup uang. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan di tambang belum dianggap sebagai pilihan karir jangka panjang,” jelasnya.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post