“Beware of little expenses. A small leak will sink a great ship.” – Benjamin Franklin (Founding Father of the United States of America)
Pernyataan Benjamin Franklin setidaknya membuat kita harus kembali berpikir pada pengeluaran yang kita anggap kecil namun berdampak besar pada kondisi hidup kita. Hal ini sebenarnya senada dengan masalah konsumsi rokok yang tiada menemui ujung di Indonesia.
Saat ini harga rokok di Indonesia merupakan salah satu yang termurah di Asia. Bahkan jika dibandingkan dengan Filipina yang GDPnya jauh di bawah Indonesia saja harga rokoknya mencapai 2.19 USD atau Rp32.802 per bungkus, sementara Indonesia harganya adalah 1.96 USD atau Rp29.357 per bungkus (Survey Numbeo, 2021). Harga yang murah per bungkus ini diperparah dengan adanya penjualan rokok secara batangan. Jika diasumsikan harga rokok bungkusan yang beredar adalah seharga Rp29.000 dengan satu bungkus berisi 20 batang, maka harga batangannya hanya sebesar Rp1.450, tidak jauh lebih mahal dari satu butir telur.
Penjualan rokok secara batangan ini nyatanya telah menargetkan anak-anak sebagai pangsa pasarnya. Setidaknya, ada 76,6 persen pelajar yang merokok membeli rokoknya dari toko, warung ataupun kios di pinggir jalan, 60,6 persen pelajar tidak dicegah untuk membeli rokok karena usianya yang masih di bawah 18 tahun, dan 71,3 persen pelajar membeli rokok secara batangan (GYTS, 2019). Hal ini kemudian diperkuat dari riset PKJS UI 2020 yang menemukan bahwa 17 persen pelajar yang membeli rokok batangan bisa membelinya dengan harga antara Rp1.000 – Rp1.500 saja, bahkan ada warung yang memperbolehkan pembelinya berhutang. Harga ini tentu sangat murah dan membuat rokok jadi sangat mudah diakses dengan uang jajan anak-anak SD.
Rokok telah terbukti secara medis berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya, ada 8 juta kematian setiap tahunnya di dunia yang diakibatkan oleh konsumsi rokok (WHO,2020). Rokok menjadi faktor risiko yang berperan besar atas terjadinya penyakit tidak menular katastropik yang biaya pengobatannya bisa menyebabkan kemiskinan karena beban biayanya yang begitu mahal.
Namun sungguh disayangkan, mengetahui dampak rokok yang begitu parah pada kesehatan dan ekonomi, kita justru menyaksikan secara gamblang rokok dapat dinikmati batangan bahkan oleh anak-anak Sekolah Dasar. Belum sampai di situ, rokok terbukti memiliki keterkaitan dengan angka stunting dalam suatu keluarga. Anak yang memiliki orang tua perokok kronis memiliki probabilitas mengalami stunting 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok (PKJS UI, 2018). Padahal stunting adalah bencana bagi demografi, karena stunting menghambat perkembangan otak anak dengan dampak jangka panjang seperti keterbelakangan mental dan rendahnya kemampuan belajar.
Pricewaterhouse Coopers (PwC), memprediksi ekonomi Indonesia masuk dalam lima besar dunia pada 2030, bahkan menjadi ke-4 negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2050 kelak bersama Amerika Serikat, Tiongkok, dan India. Dengan komposisi penduduk di 2030 yang didominasi oleh masyarakat usia 15-64 tahun atau usia produktif, maka anak-anak generasi saat ini sejatinya adalah penopang bonus demografi Indonesia masa depan. Tanpa pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni secara kesehatan dan pendidikan, maka bonus demografi tak ayal menjadi bencana demografi. Hari ini kita mungkin berpikir bahwa sebatang rokok yang diecer dan diperjualbelikan secara bebas bahkan kepada anak adalah sebuah normalitas. Kelak di kemudian hari kita akan merenung melihat dampak buruknya yang ditimbun sejak hari ini justru menenggelamkan masa depan anak-anak kita dan generasi muda saat ini.
Larangan menjual rokok batangan sejatinya tepat untuk segera diberlakukan. Hal ini justru sudah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara. Namun demikian, keterlambatan kebijakan ini harus segera berakhir dengan segera melarang penjualan rokok batangan kita juga bisa menghemat ongkos biaya kebijakan lain yang terbuang. Katakanlah kebijakan kenaikan cukai rokok setiap tahun serta pelabelan peringatan kesehatan bergambar dalam bungkus rokok hingga saat ini tidak berjalan optimal karena rokok masih bisa diecer secara batangan. Selain itu, restriksi menjual rokok secara batangan juga tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penjual rokok itu sendiri. Survei yang dibuat oleh PKJS UI pada 2021 lalu pun menunjukkan bahwa 85,5 persen penjual rokok masih tetap akan menjual rokok meskipun dilarang menjualnya secara batangan. Artinya, secara politis dan dukungan publik pun kebijakan ini sangat feasible untuk diberlakukan.
Mengutip kembali pernyataan Benjamin Franklin, bahwa pengeluaran yang kita anggap kecil seperti membeli rokok secara ketengan bisa saja menenggelamkan kapal besar berisi harapan masa depan bangsa Indonesia dalam tahun bonus demografi. Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap tegas untuk berpihak pada masa depan anak bangsa. Wacana pelarangan penjualan rokok ketengan sudah jelas akan menguntungkan generasi muda bangsa. Tanpa adanya akses yang mudah dan murah terhadap rokok, generasi muda dapat lebih fokus akan pengembangan potensi diri dan masa depannya. Begitu pula pemerintah Indonesia yang dapat menyelamatkan lebih banyak rupiah untuk dialokasikan pada pengembangan sektor lain bukan justru boncos membiayai pengobatan akibat penyakit katastropik karena rokok.
Penulis: Manik Marganamahendra, Aktivis Muda Pengendalian Tembakau
Co-founder Centenialz.id dan Komunitas Tata Muda
Discussion about this post