Jakarta, Prohealth.id – Pesona cuan dari tembakau ternyata sudah meredup seiring dengan semakin turun harga produk tersebut.
Prohealth.id mencatat, ada tiga provinsi yang memiliki lahan pertanian tembakau terbesar di Indonesia yaitu Jawa Timur sebesar 52 persen, Jawa Tengah sebesar 21 persen, Nusa Tenggara Barat sebesar 17 persen.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Nurhadi Wiyono menjelaskan, di luar provinsi tersebut, lahan pertanian tembakau hanya berkisar kurang dari 5 persen. Keseluruhan pertanian tembakau itu juga tak tetap luasnya.
“Fluktuasi (ketaktetapan) luas lahan pada 1990 sampai 2019. Lahan (pertanian tembakau) paling luas tahun 2000,” katanya saat seminar daring bertema Benarkah Nasib Petani Tembakau dan Buruh Rokok Sejahtera di Tangan Industri Rokok, Jumat (25/6/2021).
Pada 1990, tercatat luas lahan mencapai 235.866 hektare. Sempat turun pada 1995, luasnya 220.944 hektare. Namun, luas terbesar 239.737 hektare tahun 2000. Pada tahun berikutnya jumlahnya masih naik turun, tapi luas lahan tak pernah seperti tahun sebelum 2000.
“Produksi tembakau juga mengalami fluktuasi dari tahun 1985 sampai 2019,” ucapnya.
Nurhadi menjelaskan, produksi tembakau tertinggi pada 2012. Saat itu produksi tembakau mencapai 260.818 ton.
“Setelah itu ada kecenderungan menurun produksi tembakau,” katanya.
Sama seperti ketersediaan luas lahan, produksi tembakau pun paling banyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Produksi tembakau tertinggi di Jawa Timur sebesar 46 persen. Adapun Nusa Tenggara Barat sebesar 25 persen dan Jawa Tengah sebesar 19 persen.
“Tembakau yang ditanam ada berbagai macam,” ucapnya.
Berbagai jenis tembakau yang ditanam antara lain, asepan, rajang, garangan, besuki na oogst (BNO).
Jika dihitung dari tahun 1996 sampai 2019, jumlah petani tembakau pun tak menentu. Pada 1996 jumlah petani tembakau paling banyak, yakni 668.844 orang. Cenderung menurun drastis pada 2016 mencapai 396.002 orang.
“Kembali naik menjadi 511 ribu tahun 2019,” katanya.
Mengutip data Kementerian Pertanian, Nurhadi menjelaskan soal harga tembakau kering cenderung naik. Pasalnya, dari Rp 45 ribu per kilogram menjadi Rp54 ribu berdasarkan data yang dihimpun pada 2008 hingga 2017.
Nurhadi menjelaskan, harga tembakau tergantung jenis dan kualitas daun. Penentuan harga oleh pabrik rokok melalui grader (penentu kualitas). Hal itu, kata dia, yang menyebabkan posisi tawar petani lebih rendah.
“Tidak bisa negosiasi harga dengan grader atau pabrik rokok. Jadi dia (petani) hanya menerima saja harganya,” katanya.
Soal tata niaga tembakau, petani menjual melalui perantara. Secara rinci, dia menjelaskan prosesnya berawal dari perantara ke tengkulak, masuk ke gudang, setelah itu diseleksi oleh grader. Nurhadi menambahkan, sistem itu yang menyulitkan petani sebab, penjualan tak bisa langsung menuju pabrik rokok.
Kementerian Pertanian memandang, saat terjadi pengendalian tembakau, maka masalah yang muncul petani beralih komoditas.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Hendratmojo Bagus Hudoro menerangkan, sekalipun ada petani yang melakukan integrasi alias tumpang sari tanaman lain.
“Pilihan petani ketika komoditas utamanya mengalami kendala, penghasilan dari tembakau terganggu,” katanya.
Jika produksi rokok mengalami penurunan, maka serapan tembakau petani lokal akan terkena dampak. Namun, kata dia, kalau pun terjual nasib petani masih dibayangi harga yang tak menguntungkan.
“Jangankan petani swadaya. Petani yang bermitra kadang-kadang masih belum bisa dipastikan apa bisa (tembakau) terjual dengan harga yang sewajarnya,” ujarnya.
Hendratmojo menjelaskan, pengendalian tembakau perlu mempertimbangkan nasib petani. “Apakah melakukan integrasi atau konversi tanaman lain?” ucapnya.
Namun, kata dia, jika industri tetap berjalan dengan adanya pengendalian tembakau akan terkait petani lokal maka muncul kekhawatiran lain.
“Kekhawatiran meningkat importasi tembakau yang masuk ke dalam negeri,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post