Jakarta, Prohealth.id – Voice of Forest (Yayasan Suara Hutan Indonesia) mencatat sepanjang tahun 2022-2023 ada 26 kasus perdagangan satwa liar dilindungi yang terjadi di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.
Dalam dua tahun terakhir juga Voice of Forest melakukan monitoring terhadap publikasi kasus perdagangan satwa di media massa. Voice of Forest melakukan monitoring tersebut selama dua tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, penegak hukum menetapkan total 53 orang sebagai tersangka kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Voice of Forest, meyakini masih banyak lagi kasus yang tidak masuk radar pemberitaan media.
Dengan rincian, di Aceh terjadi 13 kasus perdagangan satwa liar dilindungi pada tahun 2022 dan 7 kasus pada 2023. Sedangkan di Sumatra Utara 12 kasus perdagangan satwa liar dilindungi pada tahun 2022 dan 5 kasus pada 2023.
Adapun jenis satwa terbanyak yang diperjual belikan adalah tenggiling. Pada tahun di 2022 di Aceh terjadi perdagangan satwa 6 ekor burung beo tiong mas, 2 lembar kulit harimau, 1 awetan beruang madu, dan 23,8 kilogram sisik tenggiling. Sementara di Sumtra Utara telah diperjualbelikan 4 individu orangutan Sumatra, 1 ekor binturong, 5 ekor burung dilindungi, 1 kera hitam Sulawesi, 1 buaya sinyulong, 20 buaya muara, 3 ular sanca, 2 kura-kura kaki gajah, 257 kg sisik tenggiling, 10 pcs paruh rangkong, dan 8 pcs lidah tenggiling.
Pada tahun 2023, di Aceh ada 2 individu orangutan yang diperjualbelikan, 2 lembar kulit harimau, dan 1 gading gajah. Sedangkan di Sumut ada 2 individu orangutan Sumatra yang diperjualbelikan, 1 ekor burung, 80 ekor blangkas, 1 lembar kulit harimau, 197 kg sisik tenggiling, dan 5 pcs paruh rangkong.
Prayugo Utomo, Jurnalis IDN Times yang juga anggota Voice of Forest dalam ConservaTalk mengatakan dua tahun terakhir angka kasus dan jumlah pelaku menurun. Namun iameyakini bahwa angka kasusnya lebih tinggi dari yang dilakukan penindakan atau pun yang terpublikasi.
Rata-rata tiap bulan terjadi satu kasus pedagangan satwa liar dilindungi di Provinsi Sumatra Utara dan Aceh. Angka ini jelas memprihatinkan. Dari hasil monitoring yang dilakukan, hampir 95 persen para pelaku merupakan penjual tingkat tapak. Baik pemburu, agen atau pun kurir. Namun penegakan hukum jarang menyasar hingga aktor intelektual dan pengembangan kasus tidak dilakukan dengan serius.
Sementara modus yang paling sering ditemukan adalah para pedagang satwa memanfaatkan teknologi jual beli secara online dan memajang satwa pada forum-forum komunitas pecinta satwa. Pada saat bertransaksi para pedagang menggunakan jasa rekening bersama (rekber) untuk mengelabui aparat.
Untuk mengirimkan barang, para pedagang biasa menggunakan jasa ekspedisi atau dibawa langsung ole kurir yang diutus. Namun tidak jarang ditemui kasus penyelundupan melalui jalur laut.
“Keamanan di wilayah laut kita dinilai masih rentan dengan perdagangan satwa. Para pelaku masih dengan mudah mengelabui aparat keamanan laut untuk menyelundupkan satwa,” kata pria yang akrab disapa Yugo.
Perdagangan satwa dilindungi merupakan kejahatan yang terorganisir sangat rapi. Mulai dari tingkat tapak hingga pembeli akhir. Bahkan dalam sejumlah kasus, patut diduga ada keterlibatan aparat penegak hukum dan militer.
Wildlife Justice Commisions mencatat, perdagangan satwa menjadi kejahatan global paling menguntungkan keempat saat ini. Angka kasus ini masih sebesar kasus perdagangan narkoba, manusia, dan senjata api. Artinya, kejahatan satwa menjadi extraordinary crime jika ditilik dari berbagai aspek.
“Dalam investigasi yang pernah kami lakukan, ditemukan satu kasus perdagangan satwa yang dikendalikan dari dalam penjara. Pelakunya juga merupakan residivis dalam perkara yang sama. Seolah tidak ada efek jera ketika pelakunya sudah menjalani hukuman,” kata Yugo.
Langgengnya kasus-kasus perdagangan satwa memiliki dampak buruk yang berkesinambungan. Kepunahan akan semakin cepat terjadi. Berkurangnya satwa di alam liar menghilangkan fungsinya di dalam ekosistem alami. Perubahan ekosistem tentu akan berdampak pada percepatan laju perubahan iklim yang menjadi isu global.
Sementara itu Direktur Konservasi Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Muhammad Indra Kurnia mengatakan, pihaknya menemukan fakta yang unik dalam kasus perdagangan satwa. Tren perdagangan yang terjadi menunjukkan Aceh didominasi pada perdagangan bagian tubuh satwa.
Sementara di Sumatra Utara didominasi oleh perdagangan satwa hidup. Dilihat dari barang bukti satwa yang juga dipantau oleh Indra dan lembaganya selama kurun waktu 2016 hingga 2023. Mereka juga memantau vonis hukuman dalam kasus satwa dilindungi yang dinilai jauh panggang dari api.
Dari total 144 pelaku yang ditangkap selama tujuh tahun terakhir di Aceh dan Sumut, hanya tiga orang yang dihukum di atas tiga tahun penjara. Sementara 141 lainnya dihukum kurang dari tiga tahun penjara. Seluruh pelaku ditangkap dari total 92 kasus yang terjadi pada tahun 2016 – 2023.
Indra juga menyoroti soal potensi kerugian keuangan negara dalam kasus perdagangan satwa dilindungi. Dalam tujuh tahun terakhir, kasus perdagangan satwa dilindungi di Aceh dan Sumatra Utara berakibat pada kerugian keuangan negara senilai Rp288,3 miliar. Valuasi ini merujuk pada perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ini yang saya sebut bukan harga satwa yang diperdagangkan di pasar gelap. Ini dihitung harga valuasi, seperti biaya dibawa dari alam, direhabilitasi, operasi penindakan sampai satwa itu dikembalikan lagi ke habitatnya,” kata Indra.
Sebagai ilustrasi, jika Rp 288 miliar, dikonversikan kepada harga satu bibit pohon hutan dengan nilai Rp20 ribu, maka bibit itu bisa untuk menghutankan kembali lahan yang setara dengan luas 12.133 lapangan sepakbola berstandar FIFA atau federasi sepak bola dunia. Indra berpendapat, perdagangan satwa masih membutuhkan perhatian serius lintas pihak.
Masifnya perdagangan, menjadi ancaman bagi kelangsungan keanekaragaman hayati. Jurnalis, pegiat lingkungan, akademisi dan kelompok lainnya bisa berkolaborasi bersama mencegah perdagangan satwa liar dilindungi.
“Lindungi yang tersisa, lestarikan yang punah,” katanya.
Voice of Forest berharap Conservatalk yang digelar menjadi pemicu positif kepada para jurnalis agar semakin peka dengan kasus-kasus perdagangan satwa. Melakukan pendalaman isu serta tetap menjadi media kritik kepada pemerintah. Sehingga pemerintah terdorong untuk menekan angka kasus setiap tahunnya.
Melalui Conservatalk ini Voice of Forest secara terbuka menyampaikan desakan. Pertama, mendesak pemerintah lebih giat lagi memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya perdagangan satwa dilindungi.
Kedua, mendesak pemerintah memperkuat penindakan kasus perdagangan satwa dilindungi. Ketiga, mendesak pemerintah melakukan penguatan keamanan laut yang menjadi jalur perdagangan satwa.
Keempat, mendesak pemerintah untuk memperkuat aparat penegak hukum tentang perdagangan satwa liar dilindungi. Kelima, mendesak KLHK melakukan koordinasi lintas kementerian untuk mencegah perdagangan satwa liar dilindungi di dunia maya.
Keenam, mendesak pemerintah memperkuat kolaborasi dengan jaringan keamanan internasional. Ketujuh, mendesak pemerintah melakukan revisi Undang – Undang Nomor 5 tahun 1990.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post