Jakarta, Prohealth.id – Brain rot merupakan penurunan kemampuan berpikir dan kelelahan mental pada seseorang. Hal ini terutama terjadi pada remaja dan dewasa muda. Keadaan ini terjadi akibat terlalu sering terpapar konten digital berkualitas rendah, terutama dari media sosial.
Berbagai penelitian mengungkap bahwa brain rot dapat menyebabkan individu menjadi kurang peka secara emosional. Seseorang juga menjadi mudah lelah secara mental, dan memiliki pandangan negatif tentang diri sendiri.
Psikolog IPB University, Nur Islamiah, M.Psi., PhD, atau ‘Ibu Mia’ mengatakan, kondisi ini sering terjadi pada mereka yang terlalu sering mengonsumsi konten digital secara berlebihan. Terutama melalui doomscrolling alias terus-menerus membaca berita negatif, maupun zombiescrolling alias membuka-buka media sosial tanpa sadar dan tanpa tujuan yang jelas. Lalu ada juga kecanduan media sosial.
“Semua kebiasaan ini dapat meningkatkan rasa cemas, stres, bahkan depresi,” ucap Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University ini, Selasa (18/3/2025).
Selain itu, lanjutnya, brain rot juga melemahkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah pada remaja dengan mekanisme pertama, penurunan rentang perhatian (attention span).
Ia menjelaskan bahwa remaja yang terlalu sering mengakses konten instan, seperti video pendek di TikTok atau Instagram Reels, biasanya mengalami kesulitan dalam mempertahankan fokus pada tugas yang lebih kompleks. Akibatnya, mereka membutuhkan waktu lama untuk memahami suatu masalah atau pertanyaan.
“Mereka cenderung kehilangan kesabaran saat menghadapi masalah yang tidak memiliki jawaban segera. Sehingga sulit memahami hal-hal yang lebih kompleks,” tuturnya.
Kurangnya attention span ini juga menyebabkan seseorang mudah terdistraksi dan mudah lupa. “Hal-hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pada kurangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah,” katanya.
Kedua, kelebihan beban kognitif (cognitive overload). Hal ini karena otak terus-menerus kebanjiran dengan informasi baru. Sayangnya ini tanpa kesempatan untuk menganalisis atau memahami secara mendalam.
Akibatnya, sebut Mia, remaja menjadi kurang mampu mengevaluasi informasi secara kritis. Akibatnya, mereka lebih mudah menerima informasi tanpa mempertanyakan kebenarannya.
“Ini akan menghambat kemampuan mereka dalam berpikir logis, mengambil keputusan yang tepat dan menyelesaikan masalah dengan efektif,” ungkapnya.
Ketiga, instant gratification. Algoritma media sosial dirancang supaya setiap orang terus terpaku pada layar. Setiap kali seseorang melihat sesuatu yang menarik—seperti video lucu atau notifikasi baru—otak melepaskan dopamin, yaitu zat yang membuat kita merasa senang.
“Akibatnya, kita jadi terus ingin melihat lebih banyak, tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam hanya menggeser layar dan menonton konten tanpa henti, meskipun sebenarnya kita tidak benar-benar menikmatinya atau mendapatkan manfaat darinya,” ujar Mia. (dr)
Nur Islamiah, S.Psi., M.Psi., PhD., Psikolog adalah akademisi dan peneliti di bidang psikologi perkembangan anak. Saat ini ia menjabat sebagai dosen di Divisi Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University.
Dengan latar belakang pendidikan dari UIN Jakarta, Universitas Indonesia, dan PhD dari University of Copenhagen, ia memiliki pengalaman luas dalam penelitian terkait regulasi emosi anak. Ia juga mendalami psikopatologi orang tua, serta intervensi psikologi klinis.
Selain aktif mengajar, ia juga terlibat dalam berbagai riset, publikasi ilmiah, serta kegiatan sosial untuk pemulihan trauma dan perlindungan anak. Keahliannya dalam terapi kognitif perilaku serta psikologi anak menjadikannya kontributor penting dalam pengembangan ilmu dan praktik psikologi di Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post