mbantuPeringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yang jatuh setiap tanggal 24 Maret menjadi momentum untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan peran serta masyarakat dalam upaya eliminasi TBC. Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC, yang menegaskan komitmen pemerintah dalam mengakhiri TBC di Indonesia melalui pendekatan lintas sektor.
Melalui situs resmi Kementerian Kesehatan, Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes RI, dr. Yudhi Pramono, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam upaya ini. Ia menegaskan, eliminasi TB bukan hanya tugas tenaga kesehatan, tetapi membutuhkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat.
“Dengan deteksi dini, pengobatan tepat, serta dukungan sosial bagi pasien, kita bisa mengakhiri TBC di Indonesia. Saatnya kita bergerak bersama, giatkan komitmen dan aksi nyata untuk Indonesia bebas TBC!” ujar dr. Yudhi Pramono pada Februari 2025 lalu.
Guna memuluskan target itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahkan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan perusahaan teknologi Qure.ai untuk mempercepat deteksi dini TBC menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam pencitraan sinar-X dada. Langkah ini merupakan bagian dari transformasi digital sektor kesehatan guna meningkatkan efisiensi layanan dan mempercepat diagnosis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pemanfaatan AI dalam sistem kesehatan dapat memberikan dampak positif yang signifikan. Ia menegaskan, teknologi berbasis AI ini akan membuka peluang besar untuk menganalisis data medis dengan lebih cepat dan akurat. Selain itu memberikan dampak positif baik bagi pasien maupun tenaga medis.
Langkah taktis yang selama ini diambil oleh pemerintah tentu melalui proses perencanaan. Baik untuk pengadaan barang, teknologi, obat, dan penguatan tenaga kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan TBC. Untuk itu, Prohealth.id mencoba menggali informasi melalui Kementerian PPN/Bappenas untuk membedah perencanaan pemerintah menuntaskan masalah TBC.
Pada 4 Maret 2025, Prohealth.id pun berkesempatan mewawancarai Endang Sulastri selaku Koordinator Tim Sumber Daya Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Kementerian PPN/Bappenas. Berikut cuplikan wawancara melalui telekonferensi tersebut.
Apa prioritas utama Bappenas saat ini dalam mencapai target eliminasi TBC pada 2030?
Pertama, kami mengintegrasikan eliminasi TB ini ke dalam dokumen perencanaan nasional. Jadi misalnya di dokumen RPJMN 2020-2024 sudah ada, kemudian dilanjutkan RPJMN tahap 1 yang periode baru 2025-2029. Saat iniTB atau TBC menjadi salah satu program prioritas di dalam pembangunan kesehatan.
Berarti sudah pasti masuk perencanaan pembangunan jangka menengah, ya?
Iya, selain RPJMN di 2020- 2024 kemudian dilanjutkan di periode [pemerintahan] baru TBC ini. Sebenarnya selain masuk di agenda pembangunan jangka menengah, kalau tarik mundur sebenarnya masuk juga ke agenda pembangunan jangka panjang yang baru saja ada di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 mendukung pelaksanaan Visi Indonesia 2045. RPJPN ini sudah sah melalui undang-undang tahun lalu, di tahun 2024. Kemudian terjemahannya dalam RPJMN di 2025-2029 yang baru sah melalui Perpres 12 tahun 2025.
Setelah masuk RPJPN dan RPJMN, apa yang selanjutnya dilakukan?
Saat ini juga sudah masuk di Rencana Kerja Pemerintah atau yang kita kenal RKP tahunan tahun 2025. Sebagai tahun pertama di RPJMN tahap 1, TB kami highlight dengan sasaran yang perlu dicapai nanti. Ada juga dukungan lintas sektor untuk eliminasi TB. Ini yang kita ukur dengan insidensi TB per 100 ribu penduduk. Jadi, karena capaian kemarin kita terakhir masih belum optimal maka melalui berbagai upaya intervensi baik oleh Kementerian Kesehatan dan juga kementerian lain yang terkait, termasuk intervensi pemerintah daerah kami harapkan ini bisa tercapai target di 2025.
Bagaimana untuk proses monitoringnya?
Ya tentu dalam prosesnya kami mengawal melalui proses monitoring dan evaluasi. Jadi, kalau kita cermati kembali Perpres Nomor 67 tahun 2021 yang sudah berjalan tahun ke-empat ini, Bappenas mendapatkan mandat mengawal aspek monitoring dan evaluasi. Memang kami sadari dari hasil monev itu, masih banyak beberapa tantangan dan kendala di tingkat lapangan baik di pusat maupun daerah. Tentu ini menjadi perhatian kami dalam menyusun dokumen perencanaan berikutnya.
Untuk perencanaan pendanaan, apakah sudah terjamin?
Sesuai tugas Bappenas, termasuk dalam hal perencanaan anggaran. Bappenas mengawal bagian TB sudah masuk RPJMN, kemudian RKP selama 5 tahun hingga 25 tahun ke depan. Untuk TB, juga kami selaraskan dengan dukungan dari beberapa sumber penganggaran. Bukan hanya dari APBN tetapi juga ada dari dana hibah. Sehingga semua penganggaran terintegrasi untuk mendukung eliminasi TB.
Apa tantangan yang sebenarnya masih dihadapi? Bisakah Anda menceritakan dengan lebih detail?
Kalau berbicara tantangan atau kendala di tingkat lapangan, lalu mana prioritas ini agak sulit yah. Karena ini tantangan dengan kombinasi semua faktor terkait. Misalnya saja, yang pertama dari pelaksanaan evaluasi RPJMN tahun lalu 2020-2024. Dari sini hambatan kendala yang kita hadapi ini utamanya mengenai under-reporting kasus TB. Ini karena rendahnya cakupan penemuan dan pelaporan kasus ini juga berimplikasi pada tahap pengobatan yang tidak maksimal dan tidak optimal. Karena ada kasus-kasus yang belum terungkap ini juga jadi isu prioritas karena menjadi penular di tingkat masyarakat.
Bagaimana dengan tantangan sosial? Apakah Bappenas juga menilai adanya masalah sosial berupa diskriminasi terhadap pasien TB?
Betul ya. Stigma mengenai soal TB ini juga masih cukup kental dalam masyarakat. Sehingga memberikan pengaruh atau dampak terhadap orang yang sudah terindikasi TB enggan untuk mengakses pengobatan. Atau misalnya sudah melakukan pengobatan tetapi karena ada stigma itu menjadi tidak optimal. Artinya, tidak rutin berobat sampai batas waktu yang direkomendasikan oleh tenaga medis. Karena karakter pasien TB ini pengobatannya memang tidak boleh putus.
Dari hasil evaluasi kami di RPJMN kemarin, selain soal stigma ini juga karena jangka waktu pengobatan TB yang cukup lama. Kalau kisaran pengobatan minimal 6 bulan sampai 9 bulan membuat masyarakat tidak bisa mengikuti pengobatan secara utuh. Karena harus ada pendampingan. Entah di lapangan atau misalnya edukasi oleh tenaga medis, tenaga kesehatan. Atau mungkin juga didukung oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pemahaman pentingnya pengobatan TB secara tuntas.
Terkait tantangan anggaran atau pembiayaan, apakah Bappenas ada catatan khusus dari refleksi RPJMN sebelumnya?
Dari aspek pembiayaan Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar saat ini. Terkait sustainability dari pembiayaan atau penganggaran untuk TB memang saat ini pemerintah kalau dibandingkan antara alokasi yang bersumber dari APBN dan yang lain ternyata sebagian besar masih bertumpu dari hibah untuk bisa membiayai berbagai program kegiatan eliminasi. Salah satunya ini yang paling besar memberikan bantuan untuk Indonesia ini adalah dari Global Fund. Namun demikian karena Indonesia saat ini juga sudah mulai masuk middle income country tentu mitra pembangunan punya regulasi. Bahwa dukungan yang mereka berikan itu diprioritaskan pada negara-negara yang masih di tataran low income country. Maka kemudian Global Fund ini sudah mulai memberikan sinyal bahwa mereka akan secara bertahap mengurangi bantuan kepada Indonesia.
Jika terjadi pengurangan dana hibah, apa rencana yang sedang dikaji dan dipersiapkan Bappenas?
Maka pada saat yang bersamaan, kami juga harus memiliki semacam exit strategy untuk mengembangkan semacam sustainability plan untuk pembiayaan TB ke depan. Lalu aat yang sama juga menghadapi namanya efisiensi yang tidak bisa terhindarkan. Sehingga ini menjadi tantangan untuk kami mulai mengidentifikasi dan menjajaki [peluang baru]. Kemudian juga mengembangkan kerja sama untuk sumber-sumber pembiayaan lain yang sifatnya inovatif. Hal ini yang juga masih cukup berat. Sehingga masih dibahas juga di dalam forum CCM yang dikoordinasikan juga oleh Kementerian Kesehatan saat ini.
Bagaimana dengan hasil evaluasi dan monitoring eliminasi TB di lapangan selama ini?
Nah, soal teknis di lapangan. Ini soal komitmen ya, kami melihat misalnya dari enam strategi yang highlight di dalam Perpres Nomor 67 tahun 2021 ternyata komitmen lintas sektor, lintas jenjang antara pusat dan daerah tetapi masih sangat belum optimal. Itulah yang kami hadapi. Karena sesungguhnya untuk bisa mencapai target eliminasi TB ini bukan saja bebannya di Kementerian Kesehatan, tetapi juga perlu ada dukungan dan peran dari lintas pemangku kepentingan lintas sektor. Misalnya, kalau di daerah salah satu komitmen terwujud dengan adanya semacam Perda, Pergub, Peraturan Bupati atau Walikota. Nah ini belum semua daerah ini punya regulasi yang mengatur khusus untuk eliminasi TB sebagai turunan terjemahan dari Perpres TB yang terbit sejak 2021 lalu. Jadi itu yang kami temukan tantangan yang masih kita hadapi saat ini.
Sejauh apa Bappenas meninjau kembali kolaborasi lintas sektor ini?
Untuk lebih jelas perencanaannya terkait dengan penanganan TB ini masih memiliki tantangan di dukungan lintas sektor. Ini jadi komitmen dan juga dukungan di lintas sektor. Ada tantangan untuk beberapa KL [kementerian/lembaga] menganggarkan pembiayaannya terkait penanganan TB. Seperti misalnya; Kementeriam Hukum di lapas, untuk kementerian menangani misalnya di panti asuhan yang masih belum berjalan. Selain itu yang kami tahu ada kendala geografis di beberapa daerah di Indonesia yang sangat beragam ini. Itu juga menjadi tantangan mendapatkan pengobatan secara tuntas. Akibatnya, loss to follow up yang tinggi menyebabkan pasiien perlu mengulang pengobatan dari awal. Serta adanya ancaman resistensi obat.
Adakah perencaan untuk stimulus anggaran baru?
Pada prinsipnya, adalah ini juga sudah menjadi bagian visi-misinya Presiden Prabowo. Ini juga sekaligus quick-wins atau program prioritas cepat. Maka kami di Bappenas terus berupaya mengawal dari sisi proses perencanaan dan juga penganggaran. Alokasi Rp8 triliun dengan situasi dan dinamika saat ini baik di tingkat global dan di tingkat nasional maka akan ada beberapa penyesuaian. Namun demikian, kami dalam proses perencanaan penganggaran penuntasan kasus TBC, ini kami jadikan sebagai salah satu kegiatan pembangunan terpilih atau sebutannya karpet terpilih. Kemudian juga sebagai upaya mitigasi risiko.
Apa maksudnya dengan upaya mitigasi tersebut?
Mitigasi risiko ini maksudnya dari pelaksanaan intervensi eliminasi TB yang akan dilakukan kementerian teknis terkait. Terutama Kementerian Kesehatan yakni melalui analisis Management Resiko Pembangunan Nasional (MRPN). Yang ini juga sudah ditetapkan oleh Perpres tahun 2023 lalu. Selain karpet terpilih, masuk juga MRPN yang nanti juga mendapat dukungan dari berbagai pihak. Ini yang menjadi salah satu hal terus yang kami kawal dan pastikan. Utamanya bahwa intervensi kegiatan ini fokus kepada tiga pokok.
Apa saja ketiga pokok tersebut?
Pertama, kepada aspek pencegahan TBC dengan meningkatkan intervensi cakupan TPT kontak serumah. TPT itu Terapi Pencegahan TB. Kemudian, penemuan kasus TB. Terakhir penyebab penyumbatan TB. Jadi ini tiga hal yang nanti jadi fokus intervens yang sudah didiskusikan di Kementerian esehatan untuk 2025-2029. Jadi tahap 1 seperti itu di RPJMN.
Apakah ada potensi TB dijadikan dalam skala darurat nasional?
Kemungkinan itu bisa saja. Karena saat Wantimpres mengundang kami [Bappenas] membahas soal TB, pemerintah terus berupaya dengan penguatan intervensi dengan fokus pada tiga hal. Tentu ini dengan monitoring bersama pemerintah daerah. Jadi, Kementerian Kesehatan dalam hal ini Menteri Kesehatan melakukan rakor [rapat koordinasi] secara berkala terkait dengan penanggulangan TB dengan mengundang Mendagri, kemudian Kemenko PMK, seluruh gubernur, bupati, walikota se-Indonesia. Ini melalui forum inisiasi Kementerian Kesehatan. Jadi untuk memastikan 6 strategi di dalam Perpres 67 tahun 2021 itu bisa berjalan, salah satunya dengan monitoring TB bersama.
Apa prioritas dalam forum koordinasi dengan penanggung jawab atau leading-nya di Kementerian Kesehatan tersebut?
Memastikan penemuan kasus terutama dukungan pemerintah daerah progresnya seperti apa. Apakah skrining itu sudah berjalan baik, contohnya. Kemudian juga pengobatan. Ini juga ketersediaan sisi logistik, sisi pendampingan pasien. Artinya juga harus memastikan ketersediaan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan juga kader yang punya peran penting di dalam mendampingi pasien untuk pengobatan. Dan yang lain-lain misalnya; memastikan daerah mentransplantasikan mandat Perpres Nomor 67 itu ke dalam kebijakan regulasi daerah. Salah satunya, sudah ada daerah baik Perda, Pergub, Perbup, Perwalkot Kemudian juga misalnya Surat Edaran bersama Kementerian Kesehatan dan Mendagri mentranslasikan ke dalam intervensi relevan yang punya daya ungkit langsung melalui penganggaran daerah. Tujuannya, untuk mencapai target-target eliminasi TB di tingkat nasional.
Perlukah membuat Satgas TB seperti Satgas Covid-19?
Memang kami belum menjadikan eliminasi TB dalam suasana seperti penanganan Covid-19. Namun upaya Kementerian Kesehatan saat ini terus memperkuat monitoring bersama di tingkat pimpinan. Karena untuk eliminasi TB semacam ini tidak bisa bertumpu pada level teknis operasional lapangan saja, tetapi komitmen tingkat pimpinan tertinggi melalui monitoring bersama. Misalnya dalam sebuah forum besar mengundang semua jajaran gubernur, bupati, walikota se-Indonesia serta Mendagri. Karena pembina daerah, adalah Mendagri dan juga ada Kemenko PMK.
Bagaimana dengan perencanaan melibatkan pihak swasta?
Tentu pelibatan sektor swasta ini penting. Sekalipun KPI-nya ada di Kementerian Kesehatan, tetapi untuk mencapai KPI itu harus ada dukungan lintas sektor, lintas pemangku kepentingan. Baik dari unsur pemerintah di pusat-daerah, maupun juga unsur non-pemerintah. Baik itu organisasi masyarakat, kemudian institusi swasta semua harus mendukung intervensi penanganan TB. Terutama dengan target yang sangat optimis dari Bapak Presiden Prabowo. Bahwa dalam jangka 5 tahun ke depan bisa menurunkan kasus TB sebanyak 50 persen. Tentu ini bukan hal mudah, karena dari pengalaman tahun terakhir banyak tantangan. Nah, keterlibatan sisi swasta dalam hal ini pelaporan kasus. Karena saat ini juga masih under-reporting maka kita juga mengharapkan misalnya fasilitas pelayanan kesehatan yang swasta di luar pemerintah bisa juga meningkatkan layanan mendukung untuk memberikan pelaporan kasus-kasus TBC. Jadi dari layanan kesehatan swasta yang memberikan hasil identifikasi mereka.
Selain membantu dari sisi identifikasi kasus, mungkinkan swasta membantu dari sisi pembiayaan?
Iya bisa juga dari pembiayaan. Karena saat ini berhadapan dengan isu krusial soal pembiayaan, khususnya sustainability pembiayaan TB ke depan. Harus ada exit strategies. Maka di dalam exit strategies pelibatan sektor swasta menjadi bagian yang penting. Entah dari aspek penyediaan obatnya, entah dari aspek intervensi seperti cara memperkuat pencegahan TB. Jadi ini bukan soal edukasi dan advokasi saja, tetapi juga riset-riset yang harus dilakukan. Karena saat ini ada vaksin TB untuk anak bayi, sedangkan vaksin TB untuk orang dewasa belum ada. Hal ini supaya bisa memperkuat pencegahan TB ini.
Bagaimana dengan pelibatan akademisi dan peneliti untuk memenuhi vaksin dan semacamnya?
Betul, pelibatan akademisi juga penting seperti halnya keterlibatan sektor swasta mendukung skrining mobile untuk masyarakat dengan pembiayaan bagi pemerintah dan lain-lain. Upaya pengembangan pembiayaan yang inovatif tentu satu hal yang tidak boleh luput dalam perencanaan pemerintah dengan target optimis eliminasi 50 persen.
Apa komitmen jangka menengah dan panjang dari Bappenas yang bisa disampaikan kepada masyarakat saat ini berkaitan dengan eliminasi TB?
Fungsi utama kami mengawal sisi perencanaan dan evaluasi sebagai bentuk program pengendalian kita dalam pembangunan. Memang untuk eliminasi kasus TB dengan target signifikan yang harus tercapai, maka harus ada upaya terobosan di dalam intervensi ke depan. Karena kami menyusun perencanaan harus melihat evaluasi sebelumnya apa saja. Sebenarnya PR yang harus mendapatkan penguatan atau peningkatan di dalam perencanaan ke depan juga soal kolaborasi lintas sektor dan juga integrasi. Lalu juga kontribusi lintas sektor yang memang belum optimal. Karena seperti tadi kami sampaikan, Kementerian Kesehatan ini butuh dukungan.
Dari evaluasi Bappenas, contoh spesifik kolaborasi dan bantuan yang dibutuhkan Kementerian Kesehatan seperti apa?
Misalnya dari Mendagri karena sebagai pembina daerah bisa menjangkau pemda memastikan daerah memiliki intervensi yang selaras dan ssinergis dengan pemerintah pusat. Juga kementerian desa. Misalnya pemanfaatan dana desa. Apakah memungkinkan atau boleh untuk masyarakat penuntasan TBC. Lalu kemudian Kementerian Agama, Kemendikbudristek, Kemendikdasmensaintek. Kami untuk edukasi masyarakat, peserta didik, mahasiswa dan lain-lain. Sehingga pelibatan lintas sektor ini yang kemudian masih harus diperkuat agar bisa mencapai target optimis tadi. Memang kita tidak bisa mengandalkan intervensi business as usual.
Terakhir, apakah ada pesan dari Bappenas untuk capaian eliminasi TB dalam RPJMN saat ini?
Selain mengawal aspek evaluasi monitoring, kami mengawal aspek integrasi dokumen perencanaan. Kalau jangka panjang kami masukan di RPJMN ada 6 pokok di RPJMN bidang kesehatan. Salah satunya kami highlight untuk target eliminasi TB ukurannya dari insidensi tuberkulosis.
Di jangka menengah kami turunkan kembali, ada indikator TB juga yang kami masukan targeting bersama Kementerian Kesehatan. Juga memotret angka keberhasilan pengobatan TB. Kami juga mau memonitoring misalnya para pasien yang baru memulai pengobatan ini dalam indikator-indikator yang spesifik dengan target tertentu harus tercapai di dalam jangka menengah. Itu yang kami dari Bappenas sangat concern saat ini.
Pewawancara: Ahmad Khudori
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post