Jakarta, Prohealth.id- Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menuai masalah hampir di seluruh pelosok negeri. Prohealth.id mencatat, beberapa masalah keracunan makanan sehingga mendorong tim Badan Gizi Nasional (BGN) meminta mitra program mengunggah video pembuatan makanan secara transparan. Hal ini dengan tujuan untuk mengantisipasi masalah keracunan makanan.
Program MBG ini hanyalah satu dari sejumlah program prioritas pada sektor kesehatan dan anak. Minimnya keterlibatan masyarakat sipil dan sedikitnya ruang untuk menguji akuntabilitas program secara transparan menambah kerentanan publik. Kebijakan efisiensi anggaran hampir di semua kementerian/lembaga ikut membuat pesimis atas cita-cita mulia menuju jaminan ketahanan pada kesehatan nasional.
Berikut adalah cuplikan wawancara tertulis tim Prohealth.id dengan Pendiri Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih. Wawancara ini membahas tentang program prioritas kesehatan.
Apa saja catatan kritis Anda secara umum terkait program prioritas (quick-wins) dari sektor kesehatan selama 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran?
Pada 24 Oktober lalu, CISDI melalui konferensi pers pernah menanggapi – Program Prioritas 100 Hari Kerja Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran. Empat dari tujuh program Prabowo-Gibran berkaitan dengan kesehatan dan gizi serta berbiaya tinggi. Saat itu anggaran program makan bergizi gratis (MBG) sebesar Rp71 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis sebesar Rp3,2 triliun, peningkatan rumah sakit tipe D menjadi tipe C sebesar Rp1,8 triliun, dan penuntasan tuberkulosis Rp8 triliun.
Bagaimana CISDI menilai serangkaian inovasi program prioritas tersebut?
Dari sisi inovasi, keempat program tersebut sebenarnya tidak benar-benar baru. Skrining kesehatan dan penanganan tuberkulosis, misalnya, selama ini telah berjalan di puskesmas di berbagai daerah. Karena itu, penguatan layanan kesehatan primer–salah satunya puskesmas–merupakan langkah konkret dari pemerintah untuk mencapai target keempat program kesehatan tersebut.
Adakah ruang kosong yang pemerintah justru belum optimal sebelumnya dan bisa jadi peluang pemerintah sekarang?
Pemerintah dapat memperbaiki layanan kesehatan primer setidaknya melalui dua pendekatan. Pertama, meningkatkan komitmen pembiayaan dan pendanaan layanan kesehatan primer. Kedua, memperbaiki aspek produksi dan distribusi tenaga kesehatan serta mewujudkan kerja layak bagi tenaga dan kader kesehatan.
Apa tantangan yang Anda lihat dalam periode kepemimpinan Prabowo-Gibran untuk sektor kesehatan?
Pembangunan kesehatan di periode pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi menghadapi tantangan besar, yaitu tata kelola dan pelibatan masyarakat. Dari aspek tata kelola, perubahan struktur kementerian/lembaga memungkinkan terjadinya tumpang tindih regulasi dan kewenangan, termasuk potensi ego sektoral. Sebagai contoh, pada program makan bergizi gratis, Badan Gizi Nasional (BGN) perlu penyelarasan regulasi dan kewenangan dengan lembaga lain. Contohnya; Bappenas, Kemendikbud, Kemenkes, Kemendagri, dan Kemendesa.
Apa rekomendasi CISDI untuk pemerintah yang menghadapi tiga tantangan ini?
Kami memberikan tiga rekomendasi, antara lain; pertama, memastikan komitmen politik dan anggaran pembangunan kesehatan selama 5 tahun ke depan dan berorientasi pada penguatan layanan kesehatan primer.
Kedua, masyarakat sipil terus mengawal proses perencanaan dan pelaksanaan Program Kesehatan Prioritas pada Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ketiga, menjamin adanya mekanisme akuntabilitas publik dan pelibatan bermakna masyarakat sipil agar didengar, dipertimbangkan, dan ditindaklanjuti pendapatnya.
Apa tanggapan Anda berkaitan dengan pemangkasan anggaran di beberapa kementerian dalam era kepemimpinan Prabowo-Gibran? Apa implikasinya pada target prioritas kesehatan yakni eliminasi tuberkulosis 2030?
Pemangkasan anggaran—pemerintah menyebutnya efisiensi anggaran—semestinya berlaku pada keperluan administrasi, logistik. Ini termasuk perjalanan dinas yang tidak langsung berdampak terhadap masyarakat luas. Apabila tujuan utama pemerintah adalah ingin membangun kapasitas sumber daya manusia, maka komitmen politiknya harus pada kesehatan dan pendidikan. Sangat disayangkan dan patut dipertanyakan jika efisiensi anggaran justru berdampak terhadap program-program yang terkait langsung dengan layanan masyarakat.
Kementerian Kesehatan, misalnya, harus memangkas Rp19,6 triliun dari total anggaran Rp105 triliun tahun 2025. Contoh lain, Kementerian Pekerjaan Umum mengalami pemotongan anggaran lebih drastis, yaitu mencapai 80 persen atau sekitar Rp 81 triliun. Pemerintah daerah juga terdampak efisiensi anggaran.
Sejak 4 Februari lalu, Kementerian Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025 yang menyesuaikan alokasi dana transfer daerah dengan pemangkasan hingga Rp50 triliun. Selain itu, sebanyak 413 kabupaten dan 93 kota telah mendapatkan arahan dari Kementerian Dalam Negeri untuk mengalokasikan sebagian dana APBD guna mendukung program makan bergizi gratis, dengan target kontribusi Rp2,3 triliun hingga Rp2,5 triliun. Bahkan alokasi dana desa tak luput terkena imbas pemangkasan. Setidaknya Rp20 triliun anggaran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi kini fokus untuk program makan bergizi gratis.
Mengapa Anda menilai efisiensi ini belum tentu efektif?
Masalahnya, program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran tidak hanya makan bergizi gratis. Ada program cek kesehatan gratis hingga penanganan tuberkulosis yang tak kalah penting. Ini harus ada kepastian terkait ketersediaan anggarannya. Kesehatan masyarakat tidak hanya terrcapai hanya dengan memberi makan. Ada soal kesehatan lain, seperti penyakit tidak menular dan perbaikan gizi, yang juga harus selesai oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bagaimana Anda menilai tata kelola pencegahan dan penanganan tuberkulosis di Kementerian Kesehatan? Adakah catatan kritis dari Anda?
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia pada 2020-2024. Dokumen tersebut selaras dengan End TB Strategy yang telah menjadi komitmen global pemerintah untuk mengeliminasi tuberkulosis pada 2030. Dokumen tersebut berisikan strategi, intervensi, dan kegiatan komprehensif serta target-target untuk menurunkan tuberkulosis sesegera mungkin.
Bisakah Anda jelaskan End TB Strategy ini?
Dokumen strategi ini telah menggunakan pendekatan “Kerangka Perencanaan yang Berpusat pada Masyarakat (people-centered framework) yang direkomendasikan WHO.” Tawaran pendekatan dalam dokumen ini juga cenderung holistik dengan melibatkan banyak stakeholder. Mulai dari kelompok multipihak dan lintas program kementerian/lembaga, pemerintah lintas unit/program, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten/kota.
Strategi penanggulangan tuberkulosis di Indonesia 2020-2024 adalah untuk mencapai menurunkan insidensi tuberkulosis dari 319 per 100 ribu penduduk pada 2017 menjadi 190 per 100 ribu penduduk. Selain itu menurunkan angka kematian akibat tuberkulosis dari 42 per 100 ribu penduduk pada 2017 menjadi 37 per 100 ribu penduduk pada 2024.
Walau begitu, notifikasi kasus tuberkulosis di Indonesia juga mengalami peningkatan pada 2022, dengan jumlah kasus mencapai 724 ribu. Satu tahun kemudian, angka tersebut melonjak menjadi 821 ribu kasus dan merupakan angka tertinggi sejak 1995. Meski peningkatan kasus tersebut terjadi karena meningkatnya deteksi dini, fenomena ini juga menunjukkan masih terbukanya ruang perbaikan penanganan tuberkulosis di Indonesia.
Bagaimana Anda menilai tata kelola anggaran dan manajemen untuk pencegahan dan penanganan tuberkulosis di Indonesia selama ini? Bisa dilihat dari era kepemimpinan Joko Widodo?
Strategi Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024 terbit pada 2020. Salah satu indikator strategi yang digunakan terkait dengan anggaran dan pembiayaan. Dalam keterangan laporan ini, pembiayaan program ini berdasarkan pada perhitungan Standar Biaya Masukan Tahun 2019 yang melibatkan Kementerian Keuangan, serta pemodelan pendekatan penghitungan ekonomi berbasis bukti hingga didapatkan beberapa pembiayaan.
Tata kelola pembiayaan strategi ini juga melibatkan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa, bersama dengan pihak swasta/masyarakat bersama dengan lembaga donor. Proses penganggaran strategi ini juga diutamakan untuk proses pelayanan, infrastruktur, sistem surveilans, dan pelaksanaan program penanggulangan tuberkulosis. Sementara, anggaran swasta dan donor diutamakan untuk memberikan dukungan inovasi dan bantuan teknis lain yang melibatkan kemitraan.
Adakah catatan tambahan dari pengelolaan biaya eliminasi tuberkulosis ini?
Kendati demikian, kami memandang tetap akan terjadi tantangan dalam implementasi lapangan. Misal, terjadi kesenjangan pendanaan dan optimalisasi alokasi dana di beberapa daerah. Dari sisi perencanaan, strategi ini tampak sejalan dengan rekomendasi Planning and Budgeting Tool for TB and Drug-resistant TB Testing, meski sangat mungkin mengalami tantangan pada tahap implementasi lapangan.
Bagaimana Anda menilai perencanaan anggaran Rp8 triliun untuk penanganan tuberkulosis pada masa kepemimpinan Prabowo-Gibran ini? Apakah efektif? Apakah sudah transparan dan akuntabel?
Sebelum membicarakan anggaran penanganan tuberkulosis, sebaiknya pemerintah memiliki strategi nasional penanganan yang komprehensif. Indikatornya bisa dilihat berdasarkan rekomendasi WHO, theory of change yang telah terbukti, dan disertai dengan diskusi dengan panel-panel ahli.
Sedangkan, dari sisi anggaran, pemerintah perlu mengikuti rekomendasi dari WHO ataupun organisasi multinasional lainnya. Sebagai contoh, WHO merekomendasikan TB Module of the Integrated Health Tool for Planning and Costing, Costing Guidelines for Tuberculosis Interventions, hingga Costing Standards and Unit Cost Data Repository: the Global Health Cost Consortium yang menjadi panduan bagi perencana kebijakan penanganan tuberkulosis di Indonesia.
Terlepas dari besarnya rencana biaya program, kehadiran proses perencanaan yang berbasis bukti adalah panduan bagi pemangku kebijakan untuk mengalokasikan anggaran secara efektif untuk penanggulangan tuberkulosis.
Apa tanggapan Anda terhadap ketergantungan dana hibah luar negeri untuk penanganan tuberkulosis?
Terkait dengan penarikan dana AS, dampak yang paling terasa adalah dari sisi ketenagakerjaan. Penarikan dana USAID akan berdampak pada efisiensi sumber daya manusia yang dikelola kelompok masyarakat sipil. Hilangnya talenta-talenta terbaik dalam intervensi tuberkulosis adalah kerugian tersendiri yang dampaknya bisa meluas pada tidak terpenuhinya target penanganan, meningkatnya kasus, hingga terbaikannya perawatan orang dengan tuberkulosis.
Dengan kondisi geopolitik yang memasuki masa krisis akankah membawa tantangan tersendiri bagi pemerintahan Indonesia sekarang?
Menilik sektor kesehatan di Indonesia, peran bantuan sumber daya AS cukup signifikan. Di antaranya, ketersediaan obat dan vaksin serta dalam skrining dan deteksi tuberkulosis, pemanfaatan teknologi digital kesehatan, kesehatan ibu anak, dan program berbasis masyarakat untuk bidan serta kader kesehatan.
Bahkan, untuk deteksi dini program tuberkulosis dan imunisasi, desain anggaran kesehatan selalu memasukkan ketersediaan dana dari berbagai sumber di luar APBN. Sebagai gambaran, Kementerian Kesehatan dan Bank Dunia pada 2016 menyebutkan 60 persen sumber pendanaan untuk program tuberkulosis bersumber dari pembiayaan luar negeri.
Apa implikasi dari suasana keterbatasan biaya dalam negeri dan luar negeri?
Dinamika tiga tahun terakhir ini menunjukkan porsi pembiayaan alternatif yang lebih besar melalui pertukaran utang serta kerja sama dengan lembaga multilateral dan filantropi dalam forum dana perwalian multi-donor (MDTF).
Namun, dalam situasi saat ini, di mana anggaran kesehatan dipangkas Rp19,6 triliun, hilangnya pendanaan USAID untuk pembangunan kesehatan Indonesia jadi terasa signifikan. Biasanya, kekurangan APBN dapat ditutupi pembiayaan non-APBN, yang sebagian besar berasal dari dukungan pemerintah AS.
Sebagai organisasi think-tank bidang kesehatan masyarakat, CISDI menjadi salah satu pelopor program Pencerah Nusantara guna meningkatkan kapasitas tenaga medis. Dalam konteks penanganan tuberkulosis, apa saja masalah tenaga medis dari temuan CISDI saat ini? Apakah masalah stigma sosial terhadap pasien juga masih menjadi tantangan dalam proses preventif?
Dalam program Pencerah Nusantara, kami tidak secara spesifik menyisir atau mengidentifikasi kasus tuberkulosis. Namun, kami mengidentifikasi tuberkulosis sebagai salah satu bentuk kerentanan yang berimplikasi terhadap perilaku sosial. Sangat mungkin orang dengan tuberkulosis mengalami eksklusi sosial oleh lingkungan terdekatnya lantaran karakter penyakit tersebut yang menyebabkan penurunan daya tahan fisik dan bersifat menular.
Sebagai salah satu penyakit yang erat kaitannya dengan kemiskinan (poverty-related diseases), orang dengan tuberkulosis juga kerap terpinggirkan dalam proses perumusan kebijakan. Kajian kami bersama Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) yang bertajuk Masukan Kebijakan untuk Memastikan Terjaminnya Akses Kelompok Rentan pada Vaksinasi COVID-19 di Indonesia menunjukkan kelompok rentan yang masuk menjadi target tahap III program vaksinasi 2021 belum menyertakan orang dengan tuberkulosis, asma, ataupun diabetes sebagai bagian dari kelompok rentan.
Bagaimana Anda menilai program tuberkulosis ini dari sisi prioritas? Bagaimana manajemen anggaran bisa meningkatkan sisi kuratif pengobatan dan preventif dari kapasitas tenaga medis?
Hingga hari ini Indonesia masih berada pada peringkat kedua negara dengan kasus tuberkulosis tertinggi di dunia berdasarkan Global TB Report 2024. Peningkatan kasus tuberkulosis juga meningkat pada periode 2020-2023. Peningkatan kasus ini tentu bertentangan dengan target pengentasan tuberkulosis pemerintah yang terencana terlaksana pada 2030. Karenanya, kami mengapresiasi langkah pemerintah menempatkan penanganan tuberkulosis sebagai salah satu program prioritas.
Adapun, penggunaan anggaran bisa menyesuaikan dengan rekomendasi yang telah ada dan tersedia sebelumnya. Sebagai contoh, WHO merekomendasikan TB module of the Integrated Health Tool for Planning and Costing, Costing Guidelines for Tuberculosis Interventions, hingga Costing Standards and Unit Cost Data Repository: the Global Health Cost Consortium yang menjadi panduan bagi perencana kebijakan penanganan tuberkulosis di seluruh dunia.
Dalam catatan WHO, Integrated Health Tool memfasilitasi perencana kebijakan untuk memahami anggaran, dampak kesehatan, skenario, dan strategi pembiayaan untuk berbagai penyakit, salah satunya tuberkulosis. Karenanya, ada baiknya pemerintah memperhatikan panduan yang telah tersedia tersebut untuk memastikan keluaran-keluaran positif dari upaya-upaya promotif maupun preventif.
Apa usulan Anda untuk mensukseskan pencapaian eliminasi tuberkulosis pada 2030 dari sisi manajemen anggaran?
Pemerintah perlu menerapkan strategi nasional dengan menyertakan theory of change yang teruji. Lalu melibatkan ahli dan akademisi untuk menyusun formulasi kebijakan, hingga memastikan terlaksananya pedoman ataupun petunjuk dari WHO. Program penanganan tuberkulosis sendiri juga perlu memastikan tersedianya proses konsultasi publik yang baik dalam proses monitoring dan evaluasi.
Pemerintah juga perlu menerapkan pendekatan holistik dengan melibatkan berbagai stakeholder, mulai dari kelompok multipihak dan lintas program, kementerian/lembaga, pemerintah lintas unit/program, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten/kota.
Pewawancara: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post