Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan tahun ini akan memperkuat kerja sama internasional untuk meningkatkan ketahanana, dedikasi, dan inovasi dengan pemimpin seluruh dunia, organisasi, dan komunitas masyarakat untuk melawan epidemi HIV/AIDS. Adapun fokus utama WHO adalah masih memperjuangkan lepasnya stigma, diskriminasi, dan mengupayakan advokasi untuk aksesibilitas yang terjangkau bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Direktur Jenderal WHO, dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, orang dengan HIV/AIDS adalah kelompok rentan yang sangat terdampak secara kesehatan dan sosial. Saat ini sudah tersedia banyak Upaya preventif, test, perawatan HIV yang bisa dimanfaatkan untuk 30 juta orang di seluruh dunia berupa terapi antiretroviral. Secara global ada 9,2 juta orang menurut WHO tidak memiliki akses untuk terapi HIV. Setiap harinya, 1.700 orang di dunia meninggal karena HIV atau penyakit menular serupa. Lalu ada 3.500 orang terinfeksi tanpa mengetahui status kesehatan dan akses untuk pengobatan.
Ia menyinggung pentingnya investasi jangka panjang dan infrastruktur memadai guna merespon penekanan kasus HIV/AIDS, seperti halnya seluruh pemimpin dunia bersatu untuk menekan kasus penyakit menular seperti Covid-19 dan cacar monyet.
Dengan proses advokasi yang cukup panjang serta dukungan investasi, maka penekanan angka HIV/AIDS merupakan ancaman kesehatan masyarakat pada 2030 nanti jika tidak berhasil diselesaikan. Itulah kata dr. Tedros pentingnya kebijakan politik dan investasi yang berkelanjutan. Apalagi, banyak komunitas marjinal yang rentan pada penyakit menular seperti; pekerja seks komersial, pengguna narkotika, juga kelompok minoritas seksual dan gender. Untuk itu, menurut Dr. Meg Doherty, selaku Direktur WHO untuk Global HIV, Hepatitis, dan STI Program menyatakan pentingnya solidaritas global untuk menangani AIDS. Salah satunya adalah menjamin kepemimpinan yang berpihak pada komunitas terdampak dengan respons yang tepat.
Untuk merespon pentingnya kepemimpinan yang kuat dalam menangani HIV/AIDS, tim Prohealth.id berkesempatan mewawancari dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan pada 28 November 2023 di kantor Kementerian Kesehatan. Berikut cuplikan wawancara untuk program PROCAST: Prohealth Podcast.
Apakah ada acara khusus pada tanggal 1 Desember 2023?
Ada, itu hari HIV AIDS sedunia di Bali.
Rencananya, akan ada apa saja disana?
Ada seminar, ada kelompok komunitas HIV. Kami juga review kasus HIV selama setahun seperti apa, kami melakukan evaluasi agar ada perbaikan di tahun mendatang.
Adakah program pemerintah dalam upaya pengendalian HIV, TBC dan Malaria?
Ketiga penyakit itu penyakit menular semua. Prinsip pencegaah ada tiga, to prevent, to detect, to respons
Yang pertama to prevent, bagaimana mencegah ada yang bisa menggunakan obat, vaksin, dan terutama perilaku kita sebagai masyarakat untuk mencegah penyakit itu menular.
Yang kedua to detect, yaitu respons terhadap kondisi itu bisa dari sisi kebijakannya atau kalau dia sakit agar bisa diobati.
Ketiga adalah to respons, bagaimana kita bisa merespons kondisi itu, bisa dari sisi kebijakannya atau kalau dia sakit harus segera diobati.
Apakah ada strategi khusus dari tiga prinsip itu? Misalnya panduan kerja pencegahan HIV/AIDS dan penyakit menular lain?
Jika kita lebih rinci lagi, pencegahan itu ada empat pilarnya. Yang pertama dari sisi pencegahan, kemudian surveilance, bagaimana sistem informasi diperbaiki, bagaimana kita bisa mendeteksi ada hubungannya dengan gejala kalau tertular. Maka bisa cek di laboratorium, antigen, pemeriksaan darah dan lain-lain.
Kemudian pilar ketiga adalah pilar terapi atau pengobatan. Jika sudah ketahuan sakit, kami cari obat seperti apa yang tepat. Dan yang penting juga adalah bagaimana pendampingan untuk pengobatan seperti TB, HIV dan Malaria.
Misalnya HIV, tidak ada yang namanya mantan pasien, mereka yang sudah terjangkit HIV yang biasa kita sebut dengan ODHA harus minum obat seumur hidupnya. Ketika juga penting bagaimana kita bisa mendampingi mereka. Lalu, jangan sampai mereka lupa minum obat, itu complement-nya bukan hanya obatnya, tetapi juga bagaimana sistem harus mendukung mereka ini harus minum obat secara teratur.
Pilar keempat, adalah promosi kesehatan, edukasi kepada masyarakat agar mereka jangan sampai terkena penyakit tersebut. Masyarakat juga jangan menstigma orang yang yang sakit HIV, TBC, itu adalah secara garis besar pengendalian yang dilakukan Kemenkes RI.
Empat pilar yang menjadi tupoksi Kemenkes tadi, adalah lembaga lain yang diajak berpartisipasi dengan Kemenkes?
Kesehatan itu dari ujung atau hilir. Penyakit itu penyebabnya ke arah perilaku alam. Jadi, banyak sekali sektor yang terlibat. Contoh dengan Malaria berhubungan dengan bagaimana alam, lingkungan, dan infrastruktur harus diperbaiki. Kemudian TB (tuberkulosis) lebih gampang terserang penyakit sehingga kami [Kemenkes] menggandeng Kementerian PUPR agar bisa memperbaiki infrastruktur lebih baik dengan sanitasi yang lebih baik.
Kemudian terkait edukasi, kami bekerja sama dengan Kemendikbudristek untuk lembaga pendidikan seperti sekolah guna mensosialisasikan terkait penyakit tersebut. Kemudian pesantren yang lingkungannya cenderung lembab, berisiko penyakit TB. Kemudian juga lembaga permasyarakatan (Lapas) dengan Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) agar lingkungan lapas lebih sehat. Lalu tempat asrama mes pekerja kita kerjasama dengan Kemenake (Kementerian Ketenagakerjaan), kami lakukan screening untuk TB. Jika ada warga binaan baru di lapas misalnya kami harus periksa dipastikan tidak sakit TB, agar tidak menulari warga binaan lain di lapas. Kami pastikan bekerja sama yang baik dengan sektor -sektor yang terkait.
Selain lembaga pemerintah, bagaimana hubungan Kemenkes RI dengan non pemerintah seperti Global Fund dan lainnya?
Global Fund itu seperti amil. Bagaimana filantropi dimana ada negara punya tempat untuk menyumbang dan memang anggarannya didistribusikan ke negara yang membuat proposal untuk dana Global Fund ini. Mandatnya Global Fund ini terutama untuk HIV, TB, dan Malaria dari negara filantropis, diserahkan ke negara yang membutuhkan.
Sejak kapan pemerintah Indonesia berkolaborasi dengan Global Fund?
Indonesia sudah sejak 2003 lebih dari 20 tahun, siklus yang terakhir 2020-2021-2022 ini tahun terakhir. Tahun depan Indonesia dapat lagi, itu hanya salah satu saja. Namun masih ada UCID, tiga yang dia bantu TB, HIV dan penyakit yang terabaikan.
Ada juga badan dunia seperti UN AIDS badan khusus PBB yang khusus menangani HIV. Kemudian partner UN lain adalah Stop TB Partnership sebuah lembaga yang punya fungsi advokasi. Kegiatan itu dilakukan berimbang, bukan cuma terapi tetapi juga mengedukasi masyarakat.
Apa saja fungsi Global Fund?
Itu hanya hibah. Setiap negara punya CCM (country coordinating mechanism) lembaga yang represent negara yang mengkoordinir bagaimana pelaksanaannnya, mereka tidak punya uang untuk review program kerja
Apakah ada perbendaan corak kerja?
Kalau internasional seperti Global Fund dia memberi uang saja. Lalu UCID punya bantuan dana dan perwakilan di Indonesia. UN AIDS dia punya timnya.
Di level nasional ada STP TB Partnership, jejaring oraganisasi penyintas TB. Mereka berkontribusi pendampingan ke pasien, komunitas HIV tugas mereka kontribusinya advokasi dan mendampingi, mereka punya karakteristik masing-masing, bermacam-macam. Saya kira tidak apa-apa karena pemerintah tidak bisa mengerjakan semua.
Adakah tantangan dan hambatan dalam kerjasama dengan lembaga non profit?
Kami bisa saling memahami mereka melihat dari sisi mana, itu hal wajar. Lalu komunikasi harus baik, tentu saja yang saya tekankan biasanya ada hambatan di daerah. Data ada disana (daerah) maka mereka harus mendampingi, kayak arisan gantian dari dinas. Tidak semua hal itu harus diselesaikan secara formil, bisa mengundang makan siang atau diskusi. Sehingga masing-masing pihak mengetahui apa yang bisa dibantu.
Tadi Bapak menyebutkan, ada tantangan dalam upaya pengendalian sekarang. Lalu ada momentum pandemi. Nah, adakah perbedaan pengendalian penyakit menular saat pandemi dan pasca pandemi?
Tentu berbeda. Kita tidak bisa bertemu secara langsung. Contohnya seperti TB karena active case menurun, orang yang aktif TB tidak bisa ditemukan. Akibatnya, selama tidak dapat diobati, dia (virus) meluas kemana-mana, itulah penyebab kasus TB makin tinggi.
Masalah koordinasi karena orang jarang bertemu, susah. Bertemu zoom itu dingin, kami ajak bertemu supaya hubungan menjadi lebih akrab. Pejabat juga banyak yang rotasi, banyak hambatan karena belum memahami partnership-nya.
Terkait pengendalian HIV/AIDS dan Malaria adakah kendala khusus?
Kami sekarang tertantang proporsi kunci bisa kami ketahui langsung seperti lokalisasi dan komunitas kumpul. Setelah pandemi semua online, lokalisasi sekarang di ponsel ada apps tertentu. Kalau apps-nya ditutup mereka buat lagi. Kami kesulitan karena digitalisasi, bagaimana kami bisa mengindetifikasi. Maka kami memperluas edukasi dan memperluas testing, sekarang juga ada self-testing, jika positif langsung bisa diatasi.
Malaria tidak terlalu luar jangkauannya. Ada di Papua dan kami ada di daerah IKN, PPU (Penajam Paser Utara). Ada salah satu daerah di luar Papua dan NTT yang belum eliminasi Malaria. Kami ambil beberapa daerah dan sekarang kami fokus di sana. Kan nggak lucu nanti pas pindah ke IKN, Presidennya kena malaria.
Penyebaran HIV, AIDS , TB, Malaria untuk daerah mana saja?
HIV/AIDS itu di kota besar, seperti Jawa, Sumut, dan daerah metropolitan. TB ada di Jawa, Sumut, Sulsel dan NTT kasus gizi buruk juga masih perlu diperhatikan.
Untuk daerah tambang apakah sudah di pantau terkait HIV?
Ya, itu banyak pekerja dari luar daerah, perlu di-cek berkala. Di IKN juga banyak pekerja dari luar daerah, kami lakukan mitigasi jangan sampai penyakit ini meluas.
UU Kesehatan diganti Omnibus Law, adakah pengaruh dengan penyakit menular, bagaimana prioritas dari Kemenkes?
UU ini adalah turunan, UU ini sudah menyebut penyakit tertentu, justru turunannya seperti PP-nya harus kuat. Hal yang dulu banyak tersebut secara eksplisit, masalah stigma, kedua perlindungan terhadap keluarga, seperti keluarga penyakit kronis harus mendapat dukungan sosial ekonomi, porsinya harus ada. Kemudian terkait penyakit menular lain, bahwa pemerintah punya hak melakukan pemeriksaan pada kelompok tertentu yang dicurigai, pemerintah bisa intervesi kesana.
Kemudian masuk One Health salah satu pendekatan yang terintegrasi untuk menangani penyakit zoonosis yaitu penyakit yang disebabkan binatang menular ke manusia, seperti rabies. 70 persen pandemi di dunia karena binatang, kita tidak bisa prediksi tiba-tiba ada. Dunia ini semakin padat penduduknya interaksi hewan dan manusia makin dekat ini tidak dapat dihindari. Kami pastikan hewan juga sehat, hutan sudah di rambah, sudah tidak ada hutan.
Salah satu yang krusial anggaran kesehatan itu sudah tidak mandatory. Apakah berpengaruh kepada kualitas atau pada pengendalian penyakit menular? Atau malah ini ruang fiskalnya bisa lebih jauh?
Ada beberapa pendapat, setelah kami evaluasi dibuat mandatory saja, ternyata yang dimasukan dana kesehatan juga tidak substansial. Kami melakukan perubahan bukan masalah jumlah tetapi kualitas. Ini proses mendidik pemerintah daerah dan ini saya kira harus dikaitkan dengan SPM (Standar Pelayanan Minimal) banyak indikatornya, yang terkait dengan kami TB dan HIV. Seharusnya begini, aturan sudah jelas bahwa rapor kepala daerah dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)-nya.
Aturan Kemendagri juga jelas, aturan SPM-nya tidak bagus harus di evaluasi. Masalahnya tidak ada konsekuensinya, harusnya ada reward dan konsekuensi. Ini pemda tidak bisa selesai tidak ditindak.
Apa harapan Bapak kepada masyarakat dalam momentum Hari AIDS Sedunia 2023?
Terkait penyakit menular, penyakit menular itu harusnya bisa dicegah dan bisa diobati ada agen-nya. Yang paling penting kita (masyarakat) bisa mencegah sakit. Hal seperti ini tidak bisa dibebankan hanya pada Kemenkes. Yang penting kesadaran masing-masing masyarat. Misal, cuci tangan karena penyakit terbanyak berasal dari tangan. Kalau kita merasa tidak enak badan, harus tahu diri jangan malah menyebarkan penyakit. Kita semua harus tanggung jawab kepada keluarga, karena itu lini terkecil kepada masyarakat harus bisa menjaga kesehatan.
Pewawancara: Irsyan Hasyim & D.P Sari
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post