Sistem peradilan anak di Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat dengan adanya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Prinsip utama dalam beleid itu adalah memastikan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum tidak serta-merta mendapat hukuman penjara. Sebaliknya, anak mendapatkan pendekatan yang lebih restoratif, seperti rehabilitasi dan diversi. Namun, dalam praktiknya, masih banyak kendala yang membuat implementasi sistem ini belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan.
Salah satu contoh yang baru-baru ini mencuat adalah kasus femisida di Palembang. Salah satu pelaku masih berusia di bawah 12 tahun. Kasus ini memunculkan kembali perdebatan tentang bagaimana seharusnya sistem hukum memperlakukan anak yang terlibat dalam tindak pidana berat. Tak hanya itu, dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku, masih banyak celah dalam sistem hukum kita. Dari minimnya pemahaman tentang prinsip keadilan restoratif hingga kurangnya pendidikan seksual komprehensif. Ini yang membuat anak-anak rentan terpapar informasi yang salah. Artinya, masalah-masalah ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam sistem peradilan anak di Indonesia.
Lantas, bagaimana seharusnya sistem ini berjalan agar lebih berpihak pada kepentingan terbaik anak? Dian Amalia Ariani dari Prohealth.id berbincang dengan Maidina Rahmawati, Deputy Director and Researcher di the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Temanya menggali lebih dalam berbagai tantangan serta solusi yang inklusif dalam implementasi sistem peradilan anak, khususnya dalam kasus kekerasan seksual.
Secara umum, bagaimana ICJR melihat implementasi sistem peradilan anak di Indonesia, khususnya terkait perspektif kasus seksual? Apakah prinsip penjara sebagai pilihan terakhir sudah diterapkan dengan baik, atau masih ada kendala dalam praktiknya?
Kalau kita bicara peradilan pidana anak, kita harus melihat dulu kerangka hukumnya. Secara normatif, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sudah cukup baik dalam mengatur pendekatan yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dengan Konvensi Hak Anak. Namun, yang menjadi permasalahan utama ada pada implementasinya.
Misalnya dalam kasus femisida yang ramai di Palembang, terdapat empat pelaku dan salah satunya masih di bawah 12 tahun. Sesuai dengan UU SPPA, anak di bawah 12 tahun tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tetapi tetap harus terlibat dalam proses hukum dengan pendekatan pembinaan. Sayangnya, banyak pihak masih kurang memahami bahwa anak di bawah usia tertentu seharusnya mendapat intervensi sosial, bukan sanksi pidana.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah hukuman pidana mati yang sempat dituntut oleh jaksa dalam kasus ini. Padahal, dalam UU SPPA sudah jelas bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada anak. Ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap aturan masih belum merata di tingkat pelaksana hukum.
Jika secara hukum sudah cukup baik, mengapa masih terjadi kendala dalam implementasi?
Kendala utama ada di aspek sosial dan sumber daya. UU SPPA sudah menegaskan bahwa anak harus mendapatkan pendampingan hukum dan non-hukum, termasuk penelitian kemasyarakatan (Litmas) oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Namun, dalam praktiknya, pendampingan ini masih minim dan sering kali tidak substansial. Banyak pendamping hukum yang hanya hadir secara formal tanpa memberikan pembelaan yang efektif, seperti menyusun dokumen eksepsi atau pledoi.
Dari sisi Litmas, seharusnya tim dari Bapas turun langsung ke lapangan untuk meneliti faktor sosial dan individu yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana. Sayangnya, keterbatasan sumber daya membuat mereka sering hanya mengandalkan berkas tanpa melakukan kajian mendalam. Akibatnya, rekomendasi yang diberikan sering kali tetap mengarah pada pemenjaraan, bukan solusi yang lebih rehabilitatif.
Bagaimana dengan konsep diversi? Apakah sudah diterapkan dengan baik dalam sistem peradilan anak?
Konsep diversi memang sudah diatur dalam UU SPPA sebagai langkah utama untuk menyelesaikan kasus anak di luar jalur peradilan formal. Namun, implementasinya masih belum akuntabel. Banyak proses diversi yang hanya berujung pada pengembalian anak kepada orang tua tanpa ada solusi substantif yang menangani akar masalahnya.
Seperti apa contoh yang tidak akuntabel tersebut?
Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak, sering kali diversi sulit diterapkan karena ancaman pidananya di atas tujuh tahun. Namun, bahkan dalam kasus lain yang memenuhi syarat untuk diversi, pelaksanaannya sering tidak mempertimbangkan latar belakang sosial dan psikologis anak secara mendalam. Seharusnya, diversi bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar menjadi mekanisme yang mengatasi penyebab anak terjerat dalam kasus pidana.
Jadi, apakah masih banyak anak yang akhirnya tetap menjalani hukuman penjara meskipun ada alternatif lain?
Betul. Berdasarkan riset Puskapa tahun 2020, sekitar 98% kasus anak dalam sistem peradilan pidana masih berujung pada pemenjaraan. Padahal, semangat UU SPPA adalah menghindari penahanan dan memberikan rehabilitasi yang lebih efektif. Seharusnya, ada investasi yang lebih besar dari negara untuk memperkuat lembaga pembinaan alternatif seperti Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Namun, komitmen negara dalam hal ini masih minim. LPKS di Indonesia masih sangat sedikit dari kebutuhan yang sebenarnya.
Khusus kasus kekerasan seksual, apakah ada faktor lain yang membuat sistem peradilan anak masih belum berpihak pada korban maupun pelaku anak?
Salah satu faktor yang sering luput dari pembahasan adalah kurangnya pendidikan seksual komprehensif di Indonesia. Banyak anak yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku, sebenarnya tidak sepenuhnya memahami konsep consent (persetujuan) atau dampak dari tindakan mereka. Ini berakar dari minimnya akses terhadap informasi yang benar tentang seksualitas dan relasi sehat, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Seperti apa contoh yang kerap terjadi atau berpola?
Misalnya, dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku, sering kali mereka tidak mendapatkan pemahaman sejak dini tentang batasan tubuh, persetujuan, dan konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Akibatnya, pendekatan yang hanya fokus pada hukuman pidana tanpa adanya intervensi edukatif justru memperburuk keadaan.
Di Indonesia, pendidikan seksual di sekolah masih sangat terbatas. Bahkan sering kali hanya berfokus pada aspek biologis tanpa membahas seksualitas secara komprehensif, termasuk isu consent, relasi yang sehat, dan dampak hukum. Akibatnya, banyak anak yang akhirnya mencari informasi dari sumber yang keliru, seperti konten pornografi. Padahal, pornografi tidak memberikan gambaran yang benar tentang hubungan seksual yang sehat dan setara, tetapi justru sering mereproduksi kekerasan dan ketimpangan gender.
Apakah ini memberi catatan pada lemahnya pemahaman seksualitas dengan tepat?
Dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku, ada indikasi bahwa mereka mendapatkan eksposur terhadap pornografi tanpa adanya bimbingan atau pemahaman yang benar tentang consent dan batasan tubuh. Jika tidak ada intervensi yang tepat, risiko anak meniru perilaku yang salah dari media semacam ini menjadi semakin tinggi.
Di sisi lain, sistem peradilan kita juga masih cenderung menyalahkan korban anak dalam kasus kekerasan seksual. Masih ada stigma yang melekat, misalnya korban dianggap ‘mengundang’ kekerasan karena cara berpakaian atau aktivitas sosialnya. Padahal, UU SPPA dan aturan perlindungan anak sudah jelas bahwa dalam kasus kekerasan seksual, fokus utama harus pada pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku anak, bukan sekadar penghukuman.
Karena itu, selain memperbaiki sistem peradilan anak, penting juga untuk memperkuat pendidikan seksual komprehensif. Jika anak-anak tidak mendapatkan pemahaman yang benar di sekolah atau lingkungan mereka, maka mereka akan mencari informasi dari sumber yang tidak akurat dan bisa berujung pada tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Apakah ada contoh praktik baik yang bisa menjadi referensi dalam memperbaiki implementasi sistem peradilan anak di Indonesia?
Tentu ada. Beberapa negara telah menunjukkan bahwa sistem peradilan anak yang lebih berbasis rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat memberikan hasil yang lebih baik. Misalnya, di Norwegia, anak yang terjerat kasus pidana lebih banyak diarahkan ke program komunitas atau intervensi berbasis pendidikan daripada dijatuhi hukuman penjara. Pendekatan ini berfokus pada mengatasi akar penyebab perilaku kriminal, seperti kondisi keluarga, pendidikan, dan kesehatan mental.
Di Indonesia sendiri, beberapa daerah sudah mulai menerapkan praktik baik. Misalnya, ada program percontohan di beberapa Bapas yang mencoba menerapkan pendekatan berbasis komunitas dengan lebih serius. Ada juga inisiatif dari lembaga non-pemerintah yang mendampingi anak dalam sistem peradilan dengan pendekatan yang lebih komprehensif, mulai dari pendampingan hukum hingga program rehabilitasi sosial.
Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa praktik baik ini bisa direplikasi dan diterapkan secara lebih luas. Bukan hanya bergantung pada inisiatif individu atau lembaga tertentu. Ini membutuhkan komitmen pemerintah dalam memperkuat sistem yang ada, baik dari sisi kebijakan maupun pendanaan.
Bagaimana peran masyarakat dalam mendukung sistem peradilan anak yang lebih baik?
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sistem peradilan anak yang lebih adil dan rehabilitatif. Pertama, masyarakat perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip peradilan anak. Stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sering kali membuat mereka sulit untuk kembali ke masyarakat setelah menjalani proses hukum. Padahal, reintegrasi sosial yang baik sangat penting untuk mencegah mereka mengulangi kesalahan yang sama.
Kedua, komunitas dan organisasi masyarakat bisa berperan aktif dalam mendukung anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan dengan menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi mereka. Ini bisa dilakukan melalui program mentoring, pelatihan keterampilan, atau dukungan psikososial bagi anak-anak yang berisiko atau yang sudah terjerat dalam sistem hukum.
Ketiga, masyarakat juga bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi UU SPPA. Dengan lebih banyak pihak yang terlibat dalam mengawasi jalannya sistem ini, diharapkan penegakan hukum bisa lebih selaras dengan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam undang-undang.
Bagaimana dengan negara? Apa langkah yang perlu dilakukan negara agar sistem peradilan anak bisa lebih efektif dan sesuai dengan semangat UU SPPA?
Yang pertama, harus ada peningkatan kapasitas bagi para penegak hukum agar memahami prinsip-prinsip UU SPPA secara lebih baik, terutama terkait dengan alternatif selain pemenjaraan. Kedua, negara harus berinvestasi lebih dalam aspek sosial, seperti memperkuat Bapas dan lembaga rehabilitasi anak. Ketiga, implementasi diversi harus lebih transparan dan akuntabel, dengan memastikan bahwa prosesnya benar-benar memperhitungkan kepentingan terbaik bagi anak.
Jadi, meskipun secara hukum kita sudah memiliki dasar yang baik, tanpa komitmen yang lebih kuat dalam implementasi, sistem peradilan anak masih akan tetap berat ke arah pemenjaraan dibanding rehabilitasi yang lebih manusiawi.
Lagi-lagi, ini kembali ke nilai dan komitmen kita: apakah kita benar-benar ingin menghadirkan solusi yang tidak menstigma, yang tidak hanya berbasis penghukuman?
Kita butuh aparat penegak hukum: polisi, jaksa, hakim yang memahami perspektif gender, tidak menyalahkan korban atau anak. Dan yang melihat gambaran besar; mengapa seorang anak melakukan tindak pidana? Faktor-faktor di baliknya tidak tunggal, ada lingkungan, ada tekanan sosial, ada kondisi yang membentuk mereka. Jika respons kita hanya sebatas hukuman, kita justru memperpanjang siklus kekerasan.
Kita tahu bagaimana lingkungan penjara bekerja. Seorang anak yang dipenjara di usia dini akan berhadapan dengan pelaku kejahatan dewasa, kehilangan akses pendidikan, dan semakin besar kemungkinan terjerumus dalam kekerasan. Apakah kita benar-benar ingin mempertahankan sistem yang justru menghancurkan masa depan mereka?
Pewawancara: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post