Tuberkulosis, atau biasa dikenal TBC masyarakat masih menjadi momok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Dalam catatan real-time dashboard tuberkulosis Kementerian Kesehatan, pada 2024 kasus TBC menyentuh angka 1.060.000 jiwa. Jumlah ini dengan 134.000 jiwa meninggal per tahun, dan tiap jamnya 17 jiwa meninggal karena TBC.
Kegentingan kondisi kasus TBC terlihat dari komitmen pemerintah lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 tahun 2021 tentang Strategi Nasional untuk Mencapai Target Eliminasi Tahun 2030.
Sebaya Tangerang Raya (SETARA) salah satu komunitas kader pasien TBC yang fokus pada penanggulangan, mitigasi, advokasi, bagi pasien di Provinsi Banten. Adapun wilayah pendampingan meliputi; Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan.

Prohealth.id berkesempatan mewawancarai Haniman selaku Direktur SETARA soal strategi dan langkah prioritas dalam menanggulangi kasus TBC. Apalagi, Haniman dan rekan-rekan SETARA mendampingi pasien tuberkulosis resisten obat atau TB-RO.
Bersama tim Prohealth.id, Haniman menanggapi dinamika efisiensi anggaran kesehatan di pemerintah. Berikut cuplikan hasil wawancara yang berlangsung pada 18 Februari 2025.
Kami dengar Pak Haniman adalah mantan pasien TBC Resisten Obat? Bisakah Anda membagikan pengalaman saat terdiagnosa TBC?
Pertama kali saya sakit waktu itu sebelumnya saya tidak tahu sakit apa 2017. Lalu awal tahun 2018 saya sehat tetapi terdiagnosa masalah paru. Tetapi saya belum mengerti, jadi saya ke klinik berobat. Saya lalu dinyatakan RO pada 2018. Saya mengalami dan menjalani pengobatan di Rumah Sakit Pamulang dalam jangka pendek sebelas bulan. Akhirnya saya sembuh awala 2019. Jadi kalau pengobatan RO-nya saja saya menghabiskan waktu sebelas bulan.
Selama Anda menjalani proses pengobatan apa pernah ada stigma atau tidak mendapat pelayanan dengan baik?
Saya pribadi tidak pernah (mengalami). Tetapi memang stigma dan diskriminasi ini masih ada, walaupun tidak luas. Stigma itu seperti layanan tidak humble lah. Yang paling sulit itu stigma diri sendiri. Jadi dirinya merasa malu. Nah, itu berat menjalaninya, bertanya kendalanya. Kalau dari pihak luar kita bisa mediasi atau musyawarah, kita bisa edukasi masyarakatnya. Alhamdulilah meski masih ada stigma di sekolah, di tempat kerja, atau di masyarakat, tetapi yang paling berat menurut saya adalah terjadi pada diri sendiri.
Setelah sembuh Pak Haniman mendirikan komunitas Setara dengan peyintas TBC lainnya. Apa tujuannya ?
Jadi kami ini perkumpulan SETARA, saya cerita sedikit ya. Kami berkumpul para penyintas TB-RO bahwa kami juga baru genap empat tahun. SETARA saat ini sedang melakukan pendampingan pada pasien TBC-RO maupun SEO, tetapi lebih maksimalnya resisten obat. Jadi, teman-teman kami yang tergabung dengan SETARA masuk pada program TBC di Banten ini dengan Penabulu. Kami berperan sebagai pasien supporter pendamping pasien TBC yang ada di wilayah Banten.

Apakah SETARA hanya mendampingi pasien TBRO?
Kami juga tidak hanya mendampingi saja pada pasien TBC. Teman-teman kami melakukan inspeksi kontak pada masyarakat umum. Lalu kami ensosialisasikan tentang apa itu TBC, dampak-dampaknya, bagaimana alur pengobatannya. Artinya, kami di sini mencoba berupaya membantu masyarakat khususnya di Tangerang Raya (red-Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan) membantu masyarakat. Supaya masyarakat tidak ragu menjalani pengobatan. Kedua, bagaimana mengupayakan menjaga agar mereka (pasien) taat obat sampai sembuh.
Bagaimana SETARA melihat target eliminasi TBC di tahun 2030?
Kami berharap eliminasi ini tercapai dan kebetulan Banten sendiri masuk kategori terbaik pencapaiannya. Alhamdulilah, di tahun ini mendapat pencapaian terbaik indeksnya. Di Kabupaten Tangerang mendapat predikat rumah sakit terbaik di TBC RO. Nah, kalau untuk eliminasi bukannya saya tidak yakin, karena untuk eliminasi di tahun 2030 ini bukan hal yang mustahil juga. Karena dari yang kami temukan, masyarakatnya kadang-kadang proteksi kesehatan terhadap TBC ini itu minim. Walaupun kami arahkan begini adalah kembali lagi ke warganya. Karena dalam 1 keluarga itu bolak-balik menjalani pengobatan TBC.
Apa tantangannya mengeliminasi TBC, dan yang dihadapi saat mendampingi pasien TBC?
Pasti, kendala itu pasti ada. Namun kami menyikapi semua kendala itu agar mengurai. Jadi tak ada masalah dengan kendala. Contoh, kendala utama itu adalah kebanyakan pasien itu enggan berobat. Satu, mungkin dia malu. Dua, faktor ekonominya kurang mendukung. Tiga, bahkan dari pihak support keluarga itu kurang. Itu kendala-kendala yang kami alami.
Apa kendala dari sisi ketersediaan pelayanan kesehatan?
Untuk kendala di pelayanan, saya rasa tidak ada. Pelayanan itu, alhamdulilah, sampai saat ini di wilayah Banten itu baik. Karena mereka benar-benar sangat membantu melayani orang-orang yang terdampak diagnosa TBC. Kendalanya dari jarak tempuhnya, sosial ekonomi, dan beberapa kurang support dari keluarganya. Nah, itu jadi kendala kami, tetapi alhamdulilah kendala itu terurai. Ibaratnya, kami juga tidak hanya menunggu bola, tetapi kami menjemput bola. Jadi, kalau ada informasi terdampak TBC kami hadir di tengah masyarakat.

Apa yang harus dilakukan pemerintah? Semacam bagaimana langkah konkretnya agar eliminasi TBC ini tercapai?
Kalau harapan saya eliminasi ini tercapai. Namun saya harap dari peran pemerintah ini mengupayakan TBC masuk kategori epidemi. Jadi, kalau pandemi Covid-19 kemarin kan selesai, ada kata selesainya. Harapan saya, ya kami berharap kepada pemerintah untuk risetlah. Atau seperti apa untuk mengubah pola-pola supaya masyarakat ini benar-benar aware. Bukan karena takut, tetatpi mereka aware dengan kesehatannya. Khawatir keluarganya nanti tertular. Jadi tidak segan-segan lagi untuk menjalani pengobatan.
Pemerintah Pusat akhir-akhir ini melakukan efisiensi anggaran. Bagaimana Anda melihat dampaknya ke program TBC yang masuk quick wins? Apakah SETARA punya catatan khusus soal ini?
Menurut saya ini menjadi suatu problem besar buat kita. Kenapa? Karena Indonesia selama ini sudah dibantu dengan anggaran begitu besar pun kocar-kacir. Bagaimana mengupayakan agar kami yang di lapangan ini mendorong supaya orang yang terdiagnosa TBC menjalani pengobatan TBC. Memang panjang pengobatanya sampai sembuh. Bagaimanapun kondisinya, atau nanti risiko sisi ekonominya morat-marit tetap lanjut. Saya yakin kesehatan mereka ke depannya mereka akan mengubah sisi ekonominya. Hanya saja, pada saat perjalanan pengobatan ini yang kami meminta perhatian dari pemerintah. Terutama mengupayakan kepada pasien-pasien TBC untuk mempunyai pegangan ekonomi yang nantinya tidak membuat keluarga mereka jadi goyang.
Apa harapan SETARA untuk pemerintah saat ini dalam menanggulangi TBC?
Harapan kami kepada pemerintahan pusat, lalu kepada bapak Presiden Prabowo Subianto supaya fokus di TB indonesia. Saat Indonesia sudah di posisi dua kasus terbanyak di dunia. Jadi harapan saya Pak Prabowo juga fokus kepada kesehatan terutama TBC. Saat ini (pembiayaan) dari WHO, dan organisasi internasional lain berkurang. Saya yakin pemerintah juga ada batasan-batasan anggaran, tetapi bisa ditinjau lagi seperti apa kapasitasnya (untuk TBC). Pak Prabowo punya kemampuan, tetapi problem TBC ini memang sangat kompleks di Inddonesia.
Pewawancara : Ahmad Khudori
Editor : Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post