Melalui Inpres Nomor 4 tahun 2022, Presiden Jokowi menuliskan akan “Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dengan memastikan ketepatan sasaran dan integrasi program antarkementerian/lembaga dengan melibatkan peran serta masyarakat yang difokuskan pada lokasi prioritas percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem,” dikutip dari laman JDIH Sekretariat Kabinet ini.
Presiden Jokowi juga menginstruksikan kepada jajarannya untuk melaksanakan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem secara tepat sasaran melalui strategi kebijakan yang meliputi pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Selain kepada cabinet, instruksi tersebut juga ditujukan kepada sejumlah menteri dan kepala lembaga serta seluruh gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.
Untuk mewujudkan program ini pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 70 tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). SIPD adalah aplikasi untuk mengintegrasikan data dari berbagai tingkat pemerintahan dan bisa dipantau kapan pun. SIPD sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 319 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada Pasal 391. Isinya, bahwa pemda wajib menyediakan informasi kepemerintahan termasuk anggaran.
SIPD tentu bertujuan untuk memaksimalkan program pembangunan dan transparansi anggaran. Apalagi dengan tujuan untuk menjamin tercapainya pengentasan kemiskinan ekstrem dan stunting. Hal ini mengingat masih banyak alokasi anggaran untuk kemiskinan dan stunting yang belum tepat sasaran, dan akibatnya justru berpeluang menciptakan ruang korupsi dan penyalahgunaan kewenangan atas anggaran. Tak heran jika pemerintah pun menambah instrumen pencegahan korupsi dengan keluarganya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.
Untuk mengulas lebih lanjut dilema pengentasan stunting dan kemiskinan dalam bayang-bayang korupsi, tim Prohealth.id mewawancarai Koordinator Pelaksana Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Pahala Nainggolan melalui PROCAST-Prohealth Podcast. Berikut kutipan hasil wawancara kami pada Selasa, 19 September 2023 lalu.
Apa saja program yang fokus dikerjakan Stranas PK saat ini?
Saking parahnya korupsi di Indonesia, maka pertama seluruh sistem pemerintah perlu ada pencegahannya, ada inspektorat, ada laporan itu [sebagai] sarana pencegahan, itu masih kurang ada polisi dan jaksa, yang disebut aparat penegak hukum, masih kurang juga. Lalu tahun 2002 dibikin KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi], masih juga kurang. Maka pemerintah Indonesia janji pada International Against Corruption sama UN tahun 2012, kita harus punya strategi pemberantasan korupsi.
Seperti apa kronologinya?
Tahun 2012 dibuatlah Stranas PK, waktu itu ada Bappenas, dirasa kurang akhirnya 2018 lalu dipindah ke KPK, ada Menpan-RB, Mendagri, Bappenas lima instansi ditulis di Perpres dibuat Strategi Pencegahan Korupsi yang lebih action.
Beda sama KPK, pencegahan ada LKPN, gratifikasi, monitoring cuma itu saja, maksimum cuma rekomendasi tidak ada OTT dia patuh, dan jika ada OTT harus ada anggaran, banyak sekali alasannya, perlu anggaran untuk menjalankan.
Perbedaan dengan KPK seperti apa?
KPK itu laporan harta, tidak boleh terima gratifikasi, kita mengkaji kasih rekomendasi maksimum itu. Nah, Stranas ditaruh di kedeputian pencegahan di KPK malah lebih bagus karena barang yang rekomendasi nggak jalan kita bikin di Stranas, kita turunin jadi Rencana Aksi, dalam perpres menyebut jangan banyak-banyak, hanya tiga aja, soal izin, keuangan negara, dan reformasi birokrasi.
Soal izin, sangat mengganggu. Teman-teman pernah dengar OSS dijanjikan 2 jam kelar, dua jam di pusat, begitu di daerah tidak ada. Jadi bedanya dengan KPK justru komplemen, KPK tidak jalan disini, kumpulin lah di Stranas PK, jadi lebih koordinatif. Ini seperti penyakit di negara kita, ngomong sana sini yang memimpin tidak ada, yang mengerjakan apa lagi.
Apa saja Rencana Aksi yang tadi Bapak sebutkan?
Kita punya 3 fokus yang kita kumpulin jadi Rencana Aksi. Ini ngeri, rencana aksi ini disebut, kementerian ini ngerjain apa, triwulan pertama apa, didikte 61 kementerian/lembaga, semua provinsi di Indonesia 68 kabupaten, di rencana aksi itu detail banget tugasnya apa, kerjanya apa.
Tadi saya lapor sama pimpinan, pimpinan lembaga, 6 bulan sekali pimpinan lembaga laporan ke presiden. Isi laporan sederhana aja, cuma satu halaman, cuma bilang kementerian ini tidak menjalankan. Jadi dia agak-agak ngeri juga, koordinasi ini dalam perjalanannya. Kita bilang tidak bisa, kita menempel juga dengan Menko Marves, dengan Menko PMK, Menko Perekonomian, jadi bagus banget, kita butuh koordinasi, kita butuh mendetailkan.
Tapi kira-kira begitu, pas ditaruh di KPK, bahan bakunya dari KPK, Stranas menjalankan outputnya, kalau tidak sampai ke presiden. Kalau ada urusan ada pemda ada fungsi dari mendagri, fungsi koordinatif paling enak di KPK. Pelabuhan nih, kita beresin pelabuhan nih, kita buat pelabuhan lebih cepat dan murah. Kalau tahun lalu masih konteiner datang 11 kali dipindahkan, sekarang 2 kali saja kelar. Koordinasi itu tidak perlu duit, tidak perlu instrumen bareng, cukup duduk bareng, kita buat lebih cepat plus digital.
Jadi fokus Stranas PK saat ini apa saja?
Ada 3 fokus dari 15 rencana aksi, dari semua itu kita digitalkan. Mendigitalkan proses, pelabuhan, bagi bansos, elpigi 3 kilo, listrik 450 watt, tidak perlu penyuluhan, tiba-tiba digital. Termasuk ekspor batu bara, begitu digitalisasi cepat selesai, penerimaan negara pun lebih aman dengan digital
Ada SIPD, selama negara kita merdeka, belum pernah kita mengalirkan sistem data dari desa, provinsi, lalu ke pusat. Di pusat udah ada Bappenas ke Kemenkeu sudah ada. Tetapi dari desa ke kota masih berserak, sendiri-sendiri bikin. Empat tahun lalu kita buat, tahun lalu 461 pemda di Indonesia, media seneng, sekian triliun ngendon di daerah, menurut pusat.
Berikutnya, tidak akan ada uang ketok DPR dengan sistem ini, karena digital semua bisa dilihat. Setiap tahun berapa kilometer jalan dibangun, tidak ada yang punya data itu se-Indonesa. Jadi SIPD bukan hanya cerita uang, tetapi bagaimana laporan berapa banyak desa sudah membangun. Perencanaan jika ada SIPD, maka DPRD tidak bisa punya dana pokir, pokok pikirannya sedetail itu. Jadi kalau ingin membangun pasar ada musrenbang, di APBD ada anggaran untuk bangun pasar itu namanya penatusahaan. Terakhir ada perkiraan di pemda, naik provinsi digabung semua kabupaten, di setor ke Bappenas, naik ke pemerintah.
Jadi kalau dengan SIPD memangkas banyak anggaran ‘liar’ dong?
Karena dengan ada SIPD tidak ada lagi uang ketok, kalau sudah selesai dengan SIPD, dari sistem sudah terlihat perencanaan dan hasilnya. Masyarakat partisipasinya lebih rill, masyakarat tidak bisa klaim bupati korupsi, karena harus ada buktinya. Dan dengan SIPD semua ada buktinya.
Ada daerah yang stunting dan kemiskinan ekstrem, namun dari bupatinya dana itu buat studi banding. SIPD bisa diakses secara umum, dan SIPD sudah ada di masing-masing kabupaten.
Daerah mana saja yang belum tepat sasaran dari pantauan SIPD selama ini?
Misal, Banyuwangi bagus, Jawa Barat bagus tetapi buat dirinya sendiri. Perencanan, APBD, buat diri sendiri, makanya kalau dari pusat misal presiden mau tanya berapa MCK yang sudah dibangun APBD, seminggu baru selesai. Dengan situs ini langsung, misalnya bulan lalu kita ambil kabupaten yang kemiskinan paling parah, ternyata pengusulan [anggaran] juga perjalanan dinas luar negeri.
Kalau dia mengusulkan 2024 perjalanan ke luar negeri, pemberian bansos tidak ada, makanya presiden marah di Lampung. Bagaimana coba, pergi kemana tetapi tidak dibangun jalannya, kemiskinan ekstrem. Lalu ternyata di Kabupaten Garut misalnya tidak menganggarkan makanan balita. Dengan SIPD bisa lihat ke Kemendagri, sekarang ada barangnya jadi kelihatan, media, dan semua orang bisa lihat.
Menurut Bapak mengapa model perencanaan tak tepat sasaran begitu terus terjadi meski sudah ada Stranas PK?
Ya ini penyakit daerah, mari kita majukan pariwisata, isi anggarannya perjalanan ke luar negeri, ke kedutaan besar, isinya tari menari, isinya lu dan gue aja. Saat ini Kemendagri memajukan itu pakai travel blogger, bukan tari menari di kedubes.
Kita optimis dengan SIPD, mungkin sesudah aplikasi ini icon mendagri yang penting, ada NIK dan SIPD. Kita harap mungkin Oktober ini [SIPD terbuka], karena kita sudah implementasi di 5000 desa, mulai dari anggaran TU dan perencanaan, di Oktober ini dilaksanakan.
Selama ini proses transparansi anggaran di daerah sendiri seperti apa?
Ada 27.000 Kabupaten bikin aplikasi, dengan aplikasi umum ada 550 pemda. Dengan ada SIPD dan jika sudah ada SIPD jadilah itu sebagai aplikasi umum, tidak ada lagi aplikasi yang dibuat oleh pemda. Ini kalau ngomong pemda suruh bikin aplikasi, disuruh buat seharus seratus diklaim dua ribu.
Saat ini memang SIPD masih dibangun, sabar, tahun depan kita lihat semua pemda. Jadi, kita bisa lihat daerah yang pendidikannya rendah malah buat guru honorer, bukan beli buku. Kita lihat daerah lain, mobil dinasnya double garden, mewah, mobil trail, padahal medan perjalanan cuma dari rumah dinas ke kantor. Mobil dinas cuma Rp600 juta anggarannya, tetapi pemda ada yang pakai rubicon untuk mobil dinas. Jadi saya bingung mau offroad tiap hari apa? Ya, mungkin offroad di jalanan yang berlubang-lubang.
Apa dasar hukum yang menjadi dasar program dari Stranas PK?
Kita Janji sama UN diratifikasi. Ada UU 2006, ada perpres diperbaharui yaitu Perpres 54 tahun 2018. Sesuai aturan, ranah Stranas PK bergerak dalam perpres cuma tiga: izin, keuangan negara, dan reformasi birokrasi. Lembaganya ada 5, dibawahnya ada esselon 1, anggaran khusus dari Bappenas sekitar Rp15 miliar per tahun. Dia [Bappenas] jalan 2 tahun sekali, ada beberapa bagian di koordinasi. Kita ada 15 rencana aksi, kita tidak membuat program baru. Kita kumpulkan yang mau pakai NIK, kasih rencana 3 bulan kerjakan.
Apa saja kementerian dan lembaga yang menjadi mitra atas program yang diselenggarakan oleh Stranas PK?
Ada 5 yakni; KPK, Mendagri, KSP, Menpan, dan Bappenas. Para kepala lembaga harus lapor, termasuk kemajuan di masing, targetnya masing, harus 30 persen menurut KPK.
Boleh dibagikan Pak, apa saja temuan Stranas PK ketika mengecek SIPD?
Namanya SIPD, namanya birokrasi, nanti kita cari namanya apa yang enak. Ini kita temukan. Pemda silahkan tandain, kalau anda beli ini, masuk golongan kemiskinan ekstrem. Ada akun 3 ribuan ini, diberi tanda oleh Kemendagri masuk kemiskinan ekstrem, masuk stunting. Ditandain Mendagri, ditandain secara tematik. Jadi kita bisa tagging soal isunya.
Misalnya, ada kemiskinan ekstrem, ini kan problem. Kita ngomong 2024 kemiskinan ekstrim harus berhenti, bagaimana caranya menghilangkan kemiskinan? Kan simple, jangan sampai ada yang miskin ekstrem dia jadi mati. Dia tidak mungkin lompat sekaligus. Ternyata yang aneh, miskin ekstrem dikasih bansos langsung, selamatkan perutnya, jadi jangan cerita olah raga biar sehat. Lalu kita lihat anggaran kabupaten, dia anggarain tidak, buat air bersih, sarana jalan, ini membuat miskin berbiaya mahal, sering sakit, uang buat berobat, termasuk beli rokok dan pulsa.
Apa yang dilakukan kalau sudah ketahuan seperti itu?
Kan di SIPD terlihat, ketemu kabupaten seperti itu kami beri somasi. Kalau kita tagging kemiskinan ekstrem datanya terkumpul, ini terlihat salah menganggarkan. Kalau kita tagging infrastruktur, kayak model di Lampung, itu sudah pasti kena. Ngomong pembangunan jalan tidak dibangun, kalau buat kita bikin acara perayaan, ini-itu, rehab rumah bupati, SIPD bisa kelihatan. Sudah tahu misalnya di data demografi penduduknya berpendidikan rendah, kalau skornya rendah kita lihat bagaimana pemda menuntaskan isu itu. Kalau sudah tahu edukasi rendah, apa yang dianggarkan? Bukannya sarana jelek yang dibayar guru honorer buat keluarganya.
Buat lokakarya, yang dibutuhkan obat di puskesmas, kalau ada warga TBC yang diharapkan oleh Kemendagri mereka jadi koordinator untuk pemda. Daerah ini butuh ini, dikoordinir, dilihat satu-satu, digitalisasi adalah obat, pimpinan daerah kalau disuruh koordinasi ke kota paling seneng sekalian jalan-jalan. SIPD yang bisa updating data daerah, tidak hanya ada di dinas sosial, bukan buat pemerintah. Kita ingin masyarakat tahu, terutama universitas, media, sama LSM supaya ada yang mengontrol.
Contoh lain, kami mau pengadaan jembatan kok malah ada gapura? Ada di perencanaan, gapura itu tidak perlu. Kadang jadi icon daerah, di bunderan, alun alun. Awalnya tidak ada yang bisa protes, tetapi dengan SIPD bisa kelihatan.
Apa saja potensi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam memantau anggaran pengentasan kemiskinan dan stunting?
Nah, berapa besar kerugian anggaran tidak tepat sasaran? Kerugian terbesar adalah missed alokasi, Indonesia balik ke tahun 70-an, kita balik lagi. Negara lain sudah sampai di bulan, kita masih ngurusin koreng, ngurus TBC. Mungkin yang generasi emas ada di kota besar saja, tapi saudara kita di pulau terluar, sumber airnya saja masih jauh.
Dampaknya lebih besar kalau alokasinya benar, kita bisa naik bareng-bareng nih Indonesia emas tahun 2045. Tetapi yang paling pasti, kalau ada 500-an Pemda tidak perlu membuat aplikasi sendiri, tidak perlu server, bayangkan satu pemda punya 5 aplikasi berapa miliar, berapa kalau dikumpulkan seluruh daerah?
Tekonologi sudah efisiensikan anggaran, artinya anggaran, buat bangun gapura, perjalanan dinas tidak penting, rakor, dia akan fokus ke pelayanan publik, pelayanan kesehatan yang dampaknya jauh lebih dahsyat. Mengalokasikan lebih benar jauh dampaknya ketimbang penghematan. Kalau butuh terminal, bangun terminal ketimbang gapura.
Sejak soft launching SIPD pada Desember 2022 lalu, seperti apa progres menuju persiapan SIPD? Berapa dan apa saja kebutuhan untuk pengembangan SIPD tingkat lanjut, mengingat SIPD adalah arahan presiden sendiri melalui Perpres?
Berita buruknya, dari Stranas PK merasa, kalau roadmapnya diikuti, negara sudah kebutu kelar, barang belum jadi mungkin 2 tahun lagi. Maka kita putuskan untuk diakselerasi tetapi butuh sekitar Rp250 miliar. Kita dibantu Universitas Indonesia untuk melihat. Di kemendagri kita support, lihat petanya, diputuskan diakselerasi dan diestimasi, server ada di Kominfo, kita datang ke Kemenkeu, kita tidak bisa dianggarkan segera, kalau boleh anggaran darurat saja tetapi Kemenkeu bilang iya-iya nyatanya tidak ada.
Lalu kita undang PJ Gubernur DKI Heru Budi, sebab DKI sistemnya paling maju, tapi buat DKI doang yang kita mau nasional. Lalu Pak Heru setuju untuk ikut mendukung di samping Pemba Jawa Barat, kalau dia sendiri kurang cepat, kini Stranas PK didukung Kemendagri. Di dalam Mendagri sendiri dikoordinir sama Sekjen Kemendagri, Dirjen Keuangan Daerah, Pembangunan Daeran untuk Perencanaan Daerah sama Pusdatin.
Apa harapan Bapak untuk proses launching SIPD yang sebentar lagi akan digelar?
Ya kita harap begitu launching tahun ini sebagai aplikasi umum, dia jalan dengan baik. Sesuai perencanaan nanti per 1 Januri 2024, seluruh APBD daerah kelihatan di SIPD, baru nanti pelaksanaannya mereka bayar segala macam, bagi mereka punya sistem sendiri Siskudes, akan dikoneksikan dengan SIPD, karena dari Stranas PK melarang untuk semua daerah bikin aplikasi.
Ada barang gratis dari BPKP, sederhana, satu kabupaten kira-kira ada minimum 100 desa, ada aja orang iseng sistem kita buat bagus, sudah kita larang, 2016 kita buat edaran seluruh desa dilarang bikin Siskudes, ke SIPD, masyarakat bisa lihat setiap proses, namun masalahnya sekarang adalah ketersediaan uang pengembangannya.
Jadi per 1 Januari APBD terlihat semua, tidak ada peluang uang ketok dari perjalanan APBD. Ibarat naik bus dari terminal ke terminal, tidak ada yang bisa turun di tengah jalan. Titipan-titipan juga tidak bisa, karena ini digital dan elektronik semua.
Apa harapan Bapak dengan SIPD?
Hal terpenting adalah masyarakat juga tahu apa yang sedang dianggarkan, terdeteksi jika salah kebutuhan kita ini, atau jangan bangun yang lain. karena ini tentang isu anggaran, pengelolaan, databasenya gila-gilaan, ada kerahasiaan, security, infrastruktur yang baik karena tidak mungkin monitoring hanya lewat layar besar. Ke depan, kalau ada yang salah, alarm langsung menyala, seperti di film-film di Netflix. Ini harus dijamin ada karena perintahnya langsung dari presiden sudah ada perpresnya.
Pewawancara: D.P Sari & Ignatius Dwiana
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post