Pemerintah Indonesia berhasil menyabet apresiasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) terkait penanganan pandemi Covid-19. Hal ini dikarenakan pencapaian vaksinasi dosis pertama dan dosis kedua yang sudah melampaui 60 persen. Meski demikian, prestasi ini terancam tidak berkelanjutan mengingat vaksinasi booster ketiga belum mencapai 50 persen dari target. Tak heran jika Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengatakan bahwa vaksinasi booster ‘kurang laku’ bagi masyarakat Indonesia. Padahal, subvarian Covid-19 yaitu BA.4 dan BA.5 tengah mengintai masyarakat.
Selain pencapain vaksinasi booster, catatan kritis yang tersisa dari pengendalian pandemi Covid-19 adalah ketimpangan keterbukaan informasi dan data untuk kelompok rentan. Sejumlah kelompok rentan seperti penyandang penyakit penyerta (komorbid), penyakit autoimun, penyandang HIV-AIDS, dan penyandang disabilitas kerap diabaikan atau kurang mendapat sosialisasi khususnya tentang vaksinasi.
Untuk mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi, Kementerian Kesehatan RI mencoba mewujudkan Transformasi Digital Kesehatan 2024 melalui platform Indonesia Health Services (IHS). Dalam platform ini, pemerintah mengadopsi model infrastruktur platform-as-a-service (PAAS) yang menghubungkan seluruh ekosistem pelaku industri kesehatan untuk menciptakan satu data kesehatan nasional yang dapat diandalkan dalam merumuskan kebijakan kesehatan nasional.
Rencananya platform IHS ini akan diujicobakan (Beta Testing) 2022 bagi pelaku di bidang kesehatan, mulai dari fasilitas layanan kesehatan hingga pelaku industri di bidang kesehatan. Nantinya, layanan yang akan diuji coba yaitu; layanan resume rekam medis, layanan Covid-19, dan layanan laboratorium.
Guna menjelaskan dinamika tersebut, tim Prohealth.id yaitu Karina Lin dan Gloria Fransisca melakukan wawancara eksklusif dengan Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman yang juga peneliti bidang Global Health Security. Berikut cuplikan wawancara tersebut.
Berbicara tentang penanganan pandemi Covid-19 khususnya bagi kelompok rentan seperti autoimun, pemerintah menanyakan informasi yang detail kepada pasien. Menurut Anda, seperti apa cara komunikasi dengan kelompok rentan seperti penyandang autoimun terkait vaksinasi?
Sebetulnya cara komunikasinya kalau bisa lebih spesifik [kepada kelompok tertentu] memang lebih baik. Tetapi, yang harus disadari adalah banyak kelompok yang masuk kategori berisiko tinggi atau berisiko saja yang akhirnya tidak bisa memiliki privilege masing-masing.
Kalau demikian, lantas seperti apa metode yang ideal melakukan sosialisasi pada penyandang autoimun?
Idealnya secara umum harus tepat sasaran, karena public health intervention itu melihat mana kelompok yang paling besar dalam sebaran penyakit. Mana kelompok yang paling besar kontribusinya meningkatkan keparahan dan kematian. Atau kalau sakit, public health itu harus bisa memilah kelompok yang masuk sebagai kelompok rentan. Dan autoimun masuk dalam kelompok berisiko [rentan] itu. Nah, ini tentunya mereka harus dimasukkan dalam prioritas perlindungan.
Seperti apa proses untuk sosialisasi itu? Apakah dilakukan secara langsung, atau tidak langsung, dan siapa saja yang dilibatkan?
Nah, perlindungan itu sebetulnya dalam otomatis artinya langsung divaksinasi, perlindungan yang harus direct [langsung] dan indirect [tidak langsung]. Lalu komunikasi juga kalau ada vaksin yang harus direkomendasikan melalui ahli autoimun misalnya, itu bagus. Kalau pasien yang bersangkutan dalam kondisi yang belum bisa divaksinasi, maka oleh ahli yang memahami autoimun menyarankan pemerintah dan masyarakat yang wajib memberikan proteksi atau indirect protection misalnya; keluarga dan lingkungan. Mereka dibangun kesadaran harus divaksinasi dengan booster. Perilaku orang sekitar pasien autoimun ini yang harus diberikan perlindungan dulu.
Jadi proses intervensinya itu tidak bisa disamakan untuk semua pasien autoimun ya?
Iya, bahwa misalnya vaksinasi Covid-19 tidak bisa langsung kita generalisasi harus mendapatkan vaksin. Karena memang ada perbedaan bahkan diantara para penderita autoimun itu sendiri.
Artinya, kalau lingkungan sekitar pasien autoimun itu juga tak mau divaksinasi ada potensi klaster baru yang mengancam si pasien?
Betul. Maka itu penting ada mapping dalam menyusun strategi kebijakan untuk public health.
Ada sebuah temuan sebagai contoh, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta adalah yang pertama kali menyelenggarakan vaksinasi untuk autoimun pada pertengahan 2021 dengan jenis vaksin Moderna. Kebijakan yang sifatnya komunal seperti ini apakah juga cocok bagi kelompok rentan?
Iya, saya juga mengetahui informasi itu sekitar Juli sampai Agustus 2021 bahwa DKI Jakarta salah satu yang mengawali pemberian vaksinasi Covid-19 untuk penyandang autoimun. Memang yang juga direkomendasikan jenis Moderna. Ini dilakukan dengan menghitung risiko paling kecil efek sampingnya adalah dari Moderna. Artinya, inisiatif pemerintah daerah sudah ada.
Bagaimana dengan temuan masih banyak juga penyandang autoimun yang tidak mendapat informasi tersebut?
Nah, berarti misalnya ada pasien autoimun yang belum mendapat informasinya, ini perlu ada penguatan. Misalnya, komunikasikan dilakukan lebih sering, komunikasi dilakukan melalui program kesehatan yang spesifik pada pasien, atau dengan melibatkan jaringan orang dengan autoimun. Disini menurut saya perlu kerja kedua pihak. Kelompok penyandang autoimun kan tentu punya grup, melalui grup itu juga perlu lebih proaktif saling mengingatkan. Bagus juga kalau bisa punya data soal efeknya. Jadi saling membantu dan mengingatkan.
Menyambung soal peran komunitas penyandang autoimun. Nah, apa peran atau sikap konkret para penyandang autoimun untuk membantu komunikasi risiko soal Covid-19 ini?
Peran anggota komunitas bisa mempersuasi kelompok autoimun. Misalnya, ada 100 orang penderita autoimun yang berbeda-beda, cek jika tidak ada keluhan apapun setelah vaksin. Proses inilah yang disampaikan ulang untuk mempersuasi kelompok yang masih ragu untuk vaksinasi. Jadi para penyandang autoimun ini dilibatkan untuk mempengaruhi teman-temannya juga.
Jadi selain proses mapping, lalu sosialisasi di dalamnya ada unsur edukasi untuk sesama pasien, ya?
Betul.
Ada kasus lain yang juga unik dialami penyandang autoimun di Jakarta. Ketika ingin mengakses vaksinasi, ternyata dia sudah teridentifikasi menerima vaksin sehingga sempat ditolak untuk vaksin. Nyatanya, dia sama sekali belum mengakses vaksinasi. Mengapa hal-hal sejenis bisa terjadi?
Kita harus peduli pada penderita autoimun yang kerap terlupakan. Tapi kasus yang tadi disebutkan sebetulnya tidak hanya terjadi di kalangan penyandang autoimun. Hal serupa dialami juga oleh penyandang tuberkulosis, penyandang HIV. Ini ada masalah yang sifatnya sistematis.
Apa penyebab dari kejadian seperti ini? Apakah sumber daya manusia di bidang kesehatan kurang profesional?
Kita harus obyektif bahwa memang sistem dan SDM kita saat ini ada yang bagus, ada yang juga belum bagus. Berkaca dari kasus itu perlu melakukan cek, berapa banyak penyandang autoimun, lalu siapa, dimana, dan berapa yang belum divaksin? Dari situ kita cari lagi KIPI bagi yang sudah divaksin, serta cek perubahan status dalam akun PeduliLindungi. Sudah sesuai, atau belum? Dari situ kita bisa belajar dan ada pembelajaran, evaluasi atas sistem.
Berkaca dari pengalaman dokter, seperti apa penanganan kesehatan untuk kelompok rentan selama ini di Indonesia?
Saya lama di program HIV-AIDS yang mana ini kelompok rentan. Saya belajar sosialisasi dan komunikasi masalah kesehatan ini sampai ke pedalaman Papua. Disitulah saya mulai paham pentingnya akurasi data lokal dari kelompok rentan. Karena kalau tidak ada data, proses penanganan jadi imajiner saja. Perlu dilakukan mapping tadi agar tepat sasaran. Jadi hasilnya bukan sekadar angka, nama, tapi ada data kualitatif disitu. Data kuantitatif juga ada, berupa demografi pasien, misalnya. Sementara data kualitatif kita bisa menyaksikan bagaimana kualitas dari program yang sudah dijalankan? Kita pun melakukan evaluasi. Misalnya kalau kasus autoimun, mulai dari mengukur tahu atau tidak tahu vaksinasi. Jika tahu ada vaksinasi autoimun, maka dia tahu darimana? Apakah semua mendapat informasi dari sumber yang sama? Artinya, kalau semua kelompok rentan mendapat informasi yang sama dari sumber yang sama, strategi komunikasi sudah efektif. Kalau ada yang missed, dan sering kami temukan, perlu konfirmasi dengan dinas kesehatan, misalnya.
Apakah kita bisa menyimpulkan ada masalah kesenjangan kompetensi untuk melakukan pendataan, atau mapping, untuk menyusun strategi komunikasi ke kelompok rentan?
Iya, betul. Masalahnya adalah menguasai magnitude besaran dari kasus menular saja kerap tidak teratasi. Kondisi ini juga tak setara dengan kualitas SDM kita. Kompetensi SDM di kota besar selevel Jabodetabek saja masih keteteran, bukan hanya autoimun. Kelompok rentan dengan HIV juga termarjinalkan selama pandemi. Pengobatan yang tuberkulosis banyak yang drop. Ada masalah kompetensi disini yang bukan hanya dalam konteks vaksinasi Covid-19 saja, tetapi layanan kesehatan secara umum yang terganggu.
Apa usulan Anda untuk mengatasi kesenjangan kompetensi mapping dan strategi komunikasi risiko kepada kelompok rentan?
Saya memberi saran, Covid-19 bisa menjadi pembelajaran, studi kasus, untuk kitab isa melihat bagaimana kemampuan mapping, dan kemampuan melaksanakan program, mengukur kualitas juga. Jadi studi kasus ini menjadi banyak yang bisa menjadi rujukan. Harus selalu diingat kelompok rentan itu sangat banyak, beberapa diantaranya; tuna rungu, tuna renta, dan kelompok lain yang harus dikejar apalagi jika masuk risiko tinggi tertular.
Apakah artinya dari kondisi ketebatasan kemampuan mapping, Indonesia mengalami defisit data terkait kelompok rentan?
Betul, mapping itu bukan hanya memetakan. Ingat, ada analisa kuantitatif dan kualitatif. Ini menjadi bekal untuk menentukan apakah sudah bagus kebijakan dan komunikasi yang dilakukan. Melalui mapping itu kita bisa menentukan bagus atau tidak, perbaikan seperti apa. Sehingga mapping bisa memberi manfaat untuk mendekati kelompok yang spesifik atau berisiko.
Sebelum ada Covid-19, Indonesia dan dunia sempat menghadapi wabah SARS dan flu burung. Bagaimana Anda melihat cara Indonesia dan dunia menangani?
Secara prinsip ada proses deteksi dini merespon strategi wabah dalam melakukan komunikasi risiko. Ini tujuannya mengelola wabah tidak makin besar dan semua prinsipnya sama mengacu dari besaran atau magnitude. Krisis itu selalu tiba-tiba, mendadak. Sementara pandemi Covid-19 sudah berskala besar dalam waktu cepat dan membuat semua tidak siap, berbeda dengan SARS dan flu burung. Namun, negara yang punya daya tahan dalam sistem kesehatan tentu lebih kuat. Makanya harus merujuk pada mekanisme health coverage, dan ini juga masih menjadi PR di banyak negara.
Apa perbedaan dalam proses penanganan Covid-19 dengan dua penyakit ini, yaitu SARS dan flu burung?
Covid-19 ini didominasi oleh sebaran kasus yang banyak tidak bergejala, atau gejala ringan-sedang. Sehingga, orang karena merasa tidak bergejala pergi kesana-sini dan menularkan ke orang lain. Bedanya, pasien SARS yang pertama dia sudah langsung bergejala parah, dan belum sempat kemana-mana untuk menularkan. Bahkan ada yang sudah meninggal, mirip seperti penyakit Ebola. Akhirnya SARS jadi lebih cepat dikendalikan karena banyak pasien yang terinfeksi langsung terdeteksi karena gejalanya parah. Begitu pula kasus flu burung, keparahan terbilang tinggi karena banyak unggas mati, disusul kematian pasien yang terinfeksi. Jadi, kalau ada wabah yang gejalanya sangat parah, umumnya lebih cepat teratasi.
Seperti apa kualitas awal untuk bisa membangun sistem kesehatan masyarakat yang kuat dan memiliki basis kompetensi serta data yang kuat?
Harus selalu ada evaluasi, dan tentunya ada faktor leadership [kepemimpinan] dalam menyusun strategi komunikasi risiko kepada masyarakat dan kelompok rentan.
Berbicara soal evaluasi sistem kesehatan, seperti apa Anda menilai inovasi pemerintah mengembangkan Indonesia Health Service?
Oleh karena itu, sebelum ada inovasi apapun penting melakukan pemetaan kebutuhan dan evaluasi. Misal, platform kesehatan itu pengembangan dari PeduliLindungi, maka harus ada evaluasi terhadap PeduliLindungi. Perlu disampaikan ke publik, mana kerja platform yang bagus, mana yang lemah, mana yang tidak bermanfaat, dan mana yang perlu diadakan. Dengan evaluasi pengembangan platform juga menjadi lebih jelas justifikasi dan alasan platform ini harus ada.
Masih tentang inovasi platform kesehatan tadi, selain evaluasi, bagaimana Anda melihat tentang perlindungan data pribadi masyarakat? Hal ini mengingat selama pandemi pernah terjadi kebocoran data di PeduliLindungi juga di BPJS Kesehatan?
Terkait hal ini kita memang belum punya regulasi seperti Singapura, atau negara-negara maju terkait consent ketika data pribadi kita perlu diserahkan kepada negara. Jika aturan perlindungan data pribadi ini belum ada, dan masalah kebocoran data belum diselesaikan, ini namanya menyimpan bom waktu. Apalagi banyak masyarakat belum melek hukum, dan itu yang harus ditata bersama.
Selain masalah kekosongan regulasi data pribadi, adakah regulasi lain yang menurut Anda belum tepat atau jelas bagi masyarakat terkait kesehatan publik?
Ada, misalnya UU Kekarantinaan. Soal wabah yang jelasnya seperti ap aitu belum ada. Maka itu sebelum ada platform ada banyak isu regulasi dan perkembangan baru. Regulasi ini penting agar ada panduan agar masyarakat tidak mengambil sikap sendiri ketika tidak ada aturan dari pemerintah menyoal penyakit atau wabah.
Seperti apa usulan Anda pada Indonesia Health Service?
Ambil contoh deteksi kasus monkey pox [cacar monyet], platform harus bisa memasukkan panduan mencegah dan merespon. Platform juga harus jadi alat mengumpulkan data, informasi, dan jadi bahan pemerintah mengambil keputusan. Mungkin sudah ada di PeduliLindungi tetapi masih pasif, dan PeduliLindungi kesannya masih satu arah dengan masyarakat. Misal, hanya informasi lokasi vaksinasi. Perlu dipikirkan tools agar masyarakat bisa berkontribusi dan proaktif. Dari situ pemerintah punya data analisa, berupa pergerakan dan histori pasien.
Tentu jangan dilupakan akses jaringan internet yang harus dipastikan terkoneksi merata di seluruh Indonesia. Percuma juga membuat platform tetapi lokasi atau tempat tinggal masyarakat tersebut belum ada jaringan internet.
Pewawancara: Karina Lin & Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post