Cuaca ekstrem dan krisis iklim berdampak terhadap frekuensi serta intensitas bencana hidrometeorologi. Tautan erat ini memperburuk siklus hidrologi. Koordinator Bidang Informasi Iklim Terapan di Direktorat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto ketika diwawancara jurnalis Prohealth.id, Ignatius Dwiana pada akhir Februari lalu.
Jebolan Sains Iklim Universitas Bern Swiss dan Risiko Air dan Iklim VU Amsterdam Belanda ini juga mengupas upaya mitigasi demi mengurangi risiko bencana di wilayah rentan seperti Jakarta yang semakin sering menghadapi ancaman banjir. Berikut isi wawancara tersebut.
Sebenarnya berapa besar cuaca ekstrem atau krisis iklim ini berkontribusi atau mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi?
Bencana hidrometeorologi itu ada beberapa. Ada bencana hidrometeorologi yang sifatnya basah dan ada yang bersifat kering. Yang basah itu misalnya kejadian banjir, longsor, atau dalam kondisi cuaca yang ekstrim seperti puting beliung.
Kalau puting beliung berarti kondisi angin yang berputar yang merusak pemukiman. Kalau banjir berarti luapan air di daratan yang bisa merendam area pemukiman maupun jalan kemudian itu dipicu hujan ekstrem.
Nah hujan ekstrem pengertiannya kalau di BMKG itu punya batasan minimal 150 mm per hari. Itu batasan ekstrim yang dipakai BMKG. Meskipun secara ilmiah itu tergantung kepada data historis dari curah hujan yang ada maka dikatakan ekstrim kalau termasuk lima data intensitas curah hujan paling tinggi di daerah tersebut.
Longsor juga dipicu oleh hujan ekstrim biasanya walaupun ada faktor lain selain hujan yang menentukan yaitu kemiringan kelerengan.
Puting beliung itu berarti kondisi cuaca yang tidak seperti biasanya yang hanya berawan atau hujan ringan, hujan lebat, tetapi disertai dengan pusaran angin.
Ada juga yang bencana hidrometeorologi kering. Itu contohnya kekeringan karena kemarau panjang atau juga kebakaran hutan dan lahan. Itu juga termasuk bencana hidrometeorologi.
Rob ini berarti sebenarnya agak berbeda. Itu genangan air di wilayah pesisir akibat luapan air laut yang masuk ke daratan.
Ini biasanya terjadi ketika pengaruh gravitasi bulan. Misalnya bulan mati atau bulan purnama itu di mana gravitasi bulan menarik permukaan air laut di sekitar pesisir itu lebih tinggi dari biasanya.
Kalau problem yang sangat sering di Jakarta sendiri itu sebenarnya banjir perkotaan.
Banjir perkotaan ini kalau kita lihat sejak tahun 60-an itu sudah ada datanya terkait banjir Jakarta hingga sekarang. Jumlah kejadian atau frekuensi kejadian banjir itu semakin sering terjadi.
Kemudian kalau wilayah rendamannya atau besarnya banjir Jakarta itu juga bervariasi. Tergantung kepada tahun-tahun di mana latar belakang iklimnya ketika itu atau latar belakang cuaca pemicu banjir.
Bagaimana Anda melihat pola bencana hidrometeorologi di Jakarta?
Banjir Jakarta paling besar yang terkenal sampai sekarang itu banjir tahun 2007, tahun 2015, dan tahun 2020.
Untuk banjir Jakarta tahun 2007 pusat hujannya paling tinggi itu terekam 340 mm per hari di wilayah Pondok Betung. Konsentrasi hujannya ketika itu terukur 340 mm per hari di Pondok Betung.
Nah, 1 Januari 2020 merupakan catatan banjir yang sebenarnya. Kalau dari sisi banjirnya masih kalah dengan 2007. Tetapi dari sisi curah hujannya paling tertinggi sepanjang sejarah pencatatan hujan dari zaman di Jakarta masih di bawah kolonialisme Belanda. Jadi BMKG punya catatan data hujan dari mulai 1866.
Kalau kemudian kita analisis hingga saat ini maka hujan yang terjadi dalam sehari itu paling tinggi di 1 Januari 2020 dan itu memicu banjir Jakarta besar. Nah itu hujannya adalah 377 mm per hari.
Kemarin ‘kan ya sempat banjir juga walaupun kecil. Nah itu paling sekitar 240-an. Tetapi yang paling tinggi adalah 377 mm per hari tercatat di Stasiun Hujan di Bandara Halim itu pada 2020.
Bagaimana dengan bencana banjir yang juga cukup besar tahun 2025 ini?
Ya, 2015 itu juga terjadi. Waktu itu di sini saya mau ke kantor tidak bisa karena di bawah flyover itu sudah kebanjiran semua. Tidak bisa ke kantor ketika itu. Harus putar-putar cari jalan lain. Itu catatan tertinggi kedua sebesar 367mm per hari. Jadi kalau kita runtutkan tahun 2007, 2015, dan 2020. Hujan pemicu banjirnya itu semakin meningkat terus intensitasnya.
Dari kajian perubahan iklim BMKG dengan model itu hingga 2100 ternyata kecenderungan hujan bertambah juga terekam dari model proyeksi iklim. Ini semacam bayangan bahwa risiko banjir Jakarta ke depannya akan semakin sering, akan semakin mengancam berdasarkan data tadi. Data-data yang ada secara historis dari 1866 hingga sekarang dengan tamabahan model proyeksi iklim sampai 2100.
Dari sekarang hingga 2100 dan data sejarah saja dari studi saya itu menemukan bahwa risiko itu daripada 100 tahun lalu mengalami peningkatan 2-3 kali lipat risiko banjirnya karena pemicu hujan ekstrem tadi.
Jadi cuaca ekstrem dengan krisis iklim itu berhubungan erat ya?
Benar.
Bagaimana dengan peningkatan suhu global? Apa itu turut mempengaruhi?
Dari data yang tadi 1886 hingga 2010 yang saya kaji itu ‘kan melibatkan data suhu juga.
Suhu di Jakarta itu secara rata-rata suhunya sudah meningkat 1,6 derajat Celcius dibandingkan 100 tahun lalu.
Kemudian 1,6 derajat Celcius itu kalau kita bandingkan dengan global. Itu tadi kalau data Jakarta tercapai dari data 1866 sampai 2010.
Global saat ini itu baru mencapai itu 1,54 derajat pada 2024 lalu. Artinya suhu kota seperti Jakarta itu jauh lebih cepat peningkatannya daripada suhu global. Kalau saya mencatat itu 1,4 kali lebih cepat atau lebih tinggi.
Nah kemudian ‘kan ini berkaitan dengan fisika atmosfer ya? Berkaitan dengan siklus hidrologi, siklus air di bumi dan di atmosfer.
Bisakah Anda menjelaskan perbedaan siklus hidrologi, siklus air di bumi dan di atmosfer?
Jadi kalau siklus air itu begini. Sebagian besar awan di langit itu itu berasal dari penguapan. Paling besar penguapan itu air laut kemudian penguapan dari badan-badan air seperti danau, sungai, dan penyimpanan air lainnya.
Ketika air menguap menimbulkan awan. Angin kemudian menggerakan awan tersebut. Bertumpuk-tumpuk awan itu kemudian sampai suatu kondisi di mana muncul titik-titik air akibat pengaruh gravitasi sehingga bisa turun. Sebelumnya ketika titik airnya masih kecil tidak terpengaruh ke gravitasi. Tetapi ketika radius titik airnya membesar di awan itu maka terpengaruh gravitasi sehingga turun sebagai hujan.
Nah, setiap kenaikan satu derajat suhu udara permukaan dari sisi fisika itu bisa meningkatkan 7 persen jumlah uap air yang dikandung udara. Itu secara fisika ya?
Setelah saya crosscheck dengan data Jakarta, dari penelitian ini saya bisa menyimpulkan ternyata kenaikan satu derajat itu tidak hanya meningkatkan 7 persen daya tangkap udara terhadap uap air di atmosfer. Ternyata untuk Jakarta itu 14 persen. Artinya dua kali lipat dari teori fisika. Itu menjelaskan kenapa terakhir ini intensitas hujannya semakin meningkat. Kemudian kesimpulannya, keadaan pemanasan global dan pemanasan lokal di Jakarta itu meningkatkan aktivitas siklus hidrologi tadi.
Jadi proses pembentukan hujan itu semakin intensif sehingga hujannya semakin ekstrim dan ini sebenarnya tidak hanya terjadi buktinya di Jakarta.
Di Jakarta ini ‘kan ada daerah yang sering langganan banjir, langganan rob. Berarti dengan situasi tersebut maka makin berisiko?
Bisa begitu. Risikonya meningkat. Bertambah tinggi risikonya. Gaya gravitasi bulan ketika bulan mati atau pun bulan purnama sangat mempengaruhi rob.
Level permukaan air laut meningkat ‘kan salah satu dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim, itu salah satu indikatornya adalah tinggi permukaan laut. Ketika tinggi permukaan laut meningkat maka semakin mudah wilayah pesisir akan terendam.
Kalau terjadi fenomena bulan mati dan bulan purnama maka rob mungkin akan terus meningkat ke depannya maka risiko semakin bertambah.
Bagaimana dengan implementasi solusi berbasis alam kaya infrastruktur hijau, penghijauan kota, restorasi, drainase dan pengelolaan air hujan? Apa itu dapat mengurangi risiko?
Kalau kita kembalikan ke konsep pemanasan global maupun lokal dengan perubahan iklim maka hal itu tentu sedikit banyak akan mempengaruhi.
Memang peningkatan ekstrimitas hujan atau siklus hidrologi itu karena pemanasan suhu udara permukaan, maka harus mencari cara supaya suhu udara permukaan tidak meningkat terus. Salah satunya adalah dengan penghijauan.
Karena setiap penghijauan secara langsung menjadikan udara di sekitarnya lebih sejuk. Karena tutupan daun-daunnya, vegetasinya, atau karena secara sirkulasi udara lokal nanti akan mempengaruhi penurunan suhu karena adanya pergerakan angin dan seterusnya. Maka ya kita berharap dalam jangka panjang dan dalam jangka skala yang lebih luas penghijauan itu bisa mengontrol kembali kejadian alam itu lebih alami.
Para ahli iklim menyimpulkan pemanasan global itu akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca itu dipicu banyak aktivitas manusia seperti transportasi, kendaraan bahan bakar fosil, pabrik, pengaspalan, pemukiman, atau semua diubah menjadi bangunan itu memengaruhi kesetimbangan radiasi permukaan. Artinya mengubah secara fisik permukaan bumi dengan penghijauan harapannya bisa mengembalikan lebih alami.
Nah misalnya pilihan yang bersifat berbasis alam. Misalnya dibandingkan membuat tanggul laut dengan beton atau batu begitu ya dengan penanaman mangrove itu ‘kan beda ya? Kalau beton ‘kan tidak ada unsur hijaunya, tidak memberikan rumah atau ruang bagi biota laut untuk nyaman di situ.
Tetapi kalau penanaman mangrove itu ‘kan sesuatu yang alami sifatnya selain berdampak pada atmosfer atau lingkungan sekitarnya juga berdampak juga ke biota air di di bawahnya.
Pilihan mitigasi maupun adaptasi yang sifatnya alam itulah yang sebenarnya secara komprehensif fisika lingkungan itu bisa memperbaiki keadaan.
Walaupun mungkin dalam mitigasi yang sifatnya teknis misalnya perbaikan supaya tidak gampang longsor maka pinggir sungai itu di beton ya itu tidak apa-apa juga. Artinya, secara langsung bisa terasa manfaatnya saat itu juga.
Bagaimana dengan penggunaan teknologi rekayasa atau modifikasi cuaca? Apa itu bisa mempengaruhi cuaca ekstrem atau krisis iklim?
Itu belum ada kajiannya. Modifikasi cuaca juga tidak bisa setiap hari. Hanya pada kondisi tertentu.
Jika kondisi kering berarti menambah jumlah hujan. Syarat terjadinya hujan itu kalau kelembaban minimal 60 persen atau 70 persen. Ketika itu terpenuhi maka untuk segera menjadikan hujan ditambahlah, disemai, bibit-bibit yang bisa menjadi partikel-partikel hidroskopis yang menjadi bibit awan. Disebarlah di situ garam. Bibit dari garam, magnesium, dan seterusnya itu bisa mempercepat pertumbuhan awan. Itu untuk kasus kondisi kering ketika terpenuhi syarat kelembabannya menjadi awan maka segera menjadikan awan terjadi hujan.
Nah pada kasus musim hujan yang diprediksikan akan terjadi hujan ekstrim maka ketika belum sampai pada proses itu ‘kan BMKG punya prediksinya awan akan ke mana dan kapan kira-kira menjadi hujan.
Sebelum sampai ke proses itu maka dicegat dulu, disebar hujan, sehingga ketika diprediksikan akan bertemu di mana kemudian terjadi konvergensi dan hujan ekstrim maka sudah turun hujan dulu. Tetapi tidak separah ketika sudah menjadi matang. Intinya untuk kasus hujan ekstrim maka istilahnya memprematurkan hujan itu sehingga hujan itu turun duluan.
Nah itu tidak bisa dilakukan setiap hari secara jangka panjang. Saya pikir ketika itu tidak berlangsung terus sepanjang musim ya tidak akan memengaruhi pola iklim dari suatu wilayah.
Ini ‘kan tidak alami ya? Campur tangan manusia banget. Karena terbatas pada periode tertentu. Tidak berlangsung sepanjang musim. Bahkan setiap minggu juga belum tentu.
Biayanya mahal juga ya?
Biayanya mahal juga. Karena harus menerbangkan pesawat, membawa barang-barang ke pesawat.
Lalu bagaimana mengintegrasikan pada kebijakan mitigasi, sistem peringatan dini, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana hidrometrologi dan sejauh mana upaya mitigasi perubahan iklim dapat mengurangi kerentanan terhadap bencana hidrometriologi di daerah yang mungkin sudah sering langganan banjir?
Iya. Sistem peringatan ini menjadi kunci tindakan mitigatif sebelum terjadinya bencana. Karena bencana itu ‘kan ada siklusnya ya? Pra, ketika kejadian, dan pasca maka pra ini yang penting yaitu kesiapsiagaan. Nah batas antara kondisi pra atau kesiapsiagaan dengan kejadian itu ada di peringatan dini.
Peringatan dini itu menjadi bagian panduan dari Badan Metrologi Dunia maka peringatan dini itu harus bisa memiliki tindak lanjut berupa tindakan dini. Jadi peringatan dini kepada masyarakat berupa tindakan dini.
Inilah kemudian tantangan BMKG agar peringatan dini cuaca ekstrem itu langsung secara informatif. Sehingga masyarakat mendapat panduan atau petunjuk untuk melakukan tindakan dini.
Oleh karena itulah BMKG sekarang mengembangkan prakiraan berbasis dampak kalau untuk cuaca ekstrem. Misalnya prakiraan cuaca dan apa dampak yang akan terjadi di suatu lokasi? Nah itu bisa 6 hari sebelumnya, tiga hari sebelumnya, seperti itu. Masyarakat sebenarnya tinggal rajin-rajin melihat informasi dari BMKG dan BPBD. Paling tidak ketika potensinya besok itu terjadi maka saya harus tahu berbuat apa? Nah mitigasinya di situ ya dari sisi kebencanaan hidrometeorologi.
Lalu hal-hal apa saja yang bisa juga dilakukan yang sifatnya mitigatif? Nah itu bagian daripada tanggung-jawab pemerintah ya?
Kalau wilayah itu langganan banjir maka keadaan sungai menjadi tempat air meluap ketika hujan itu intensitasnya tinggi dan level ketinggian air itu menyebabkan meluap. Maka harus ada kepastian bahwa tidak terjadi luapan air. Misalnya pendangkalan sungai atau rusaknya infrastruktur sungai dalam hal ini tepian sungai atau juga tindakan mitigatif yang lain.
Kemudian tindakan mitigatif yang lain ya tadi bahwa ternyata salah satu hal yang menjadikan Jakarta ini sangat rentan terhadap banjir akibat permukaan laut di utara Jakarta itu sudah lebih tinggi.
Permukaan tanah di beberapa bagian wilayah Jakarta itu mengalami amblas hingga empat meter menyebabkan lokasi-lokasi tersebut itu sudah berada di bawah permukaan laut.
Nah kalau sudah begitu maka Pemerintah Daerah punya pekerjaan bagaimana caranya agar air tetap bisa mengalir ke laut ‘kan? Berarti pompa harus ada.
Kepastian pengerukan di wilayah-wilayah Jakarta Utara sehingga daerah delta, daerah berkumpulnya air, tempat bertemunya sungai-sungai tetap bisa menampung air walaupun tidak bisa langsung masuk ke laut. Tetapi yang penting cukup tidak membanjiri.
Kemudian juga perlu sistem Namanya sistem penanganan secara holistik, integratif, dan komprehensif terkait dengan tadi antara laut dan daratan, banjir di laut dan banjir daratan. Nah barangkali perlu menghidupkan kembali yang sudah ada zaman kolonialisme Belanda dulu yaitu sistem polder.
Kemudian bagaimana pun Jakarta ini ‘kan dataran rendah ya? Dataran tingginya ada di wilayah Bogor, Sukabumi, Puncak, Jonggol ‘kan ya?
Itu ‘kan ada 13 sungai yang masuk ke Jakarta. Jadi 13 sungai ini bareng-bareng masuk Jakarta. Bagaimana caranya air yang turun dari wilayah-wilayah yang lebih tinggi dari Bogor, Puncak, Sukabumi, tadi itu tidak segera ke Jakarta?
Karena itu butuh lebih banyak kolam retensi atau waduk untuk mencegat air itu agar jangan semuanya masuk ke sungai di Jakarta. Tetapi dialirkan ke sana makanya perlu waduk atau danau buatan di wilayah hulu mulai dari Depok ke atas.
Sebenarnya penting melihat persoalan banjir di Jakarta itu tidak hanya di Jakarta. Tetapi juga harus melihat secara komprehensif antar wilayah, yaitu wilayah di hulu dan di hilir. ***
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post