Tanpa krisis iklim, beban kesehatan mental, terutama di negara-negara ini, sudah berat. Kebanyakan orang dengan gangguan jiwa tidak menerima perawatan apa pun. WHO mencatat kurang dari 20 persen menerima layanan kesehatan mental yang memadai. Jumlah pekerja kesehatan mental rata-rata 13 untuk setiap 100 ribu orang.
Sekitar satu miliar orang hidup dengan gangguan mental di dunia. Butuh 1 triliun dolar per tahun untuk mengobati gangguan mental yang umum, namun hanya 2 persen anggaran negara untuk alokasi kesehatan mental.
“Dampak perubahan iklim semakin menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, dan sangat sedikit dukungan kesehatan mental khusus yang tersedia untuk orang-orang dan komunitas yang berurusan dengan bahaya terkait iklim dan risiko jangka panjang,” kata Maria Neira, Direktur Departemen Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim dan Kesehatan untuk WHO.
Namun, WHO sudah memperjelas kaitan perubahan iklim dengan beban kesehatan mental yang besar secara global. Sayangnya, dari 95 negara yang disurvei tahun lalu, hanya sembilan yang memasukkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam rencana kesehatan dan perubahan iklim nasional mereka.
Hubungan perubahan iklim dan kesehatan mental
Risiko serius dari perubahan iklim bagi kesehatan mental manusia sudah termasuk dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan PBB yang memberikan informasi ilmiah terkait iklim kepada negara-negara, bulan Februari lalu.
Laporan tersebut mengungkapkan dengan “keyakinan sangat tinggi” bahwa perubahan iklim yang meningkat akan berdampak terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial, dari tekanan emosional hingga kecemasan, depresi, kesedihan, dan perilaku bunuh diri. Suhu yang meningkat dan cuaca ekstrem akan memicu kecemasan, stres, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD). Lebih lanjut, laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kelompok anak-anak, remaja, orang tua, dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan mendasar sangat rentan terhadap risiko kesehatan mental yang terkait dengan perubahan iklim.
Laporan IPCC ini juga sejalan dengan studi yang dilakukan oleh WHO, yang menyebutkan paparan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim dapat menyebabkan tekanan kepada kesehatan mental.
Beberapa kemungkinan tekanan tersebut seperti reaksi stres, ketegangan hubungan sosial, kondisi kesehatan mental (contohnya, kecemasan, depresi, hingga stres), ketidakberdayaan, ketakutan dan kesedihan, perilaku bunuh diri, ketergantungan alkohol dan narkoba, hingga muncul konsep-konsep baru, seperti ecological grief, eco-anxiety, dan solastalgia.
Risalah tersebut menyebutkan setiap orang bisa saja mengalami tumpang tindih kondisi yang menghasilkan masalah kesehatan mental. Sebagai contoh, seseorang bisa tinggal di daerah dengan air yang sudah terkontaminasi dan mengalami kerawanan pangan, sekaligus bisa menjadi tempat di mana nyamuk tinggi berkembang biak dan menimbulkan kerentanan terhadap penyakit, seperti demam berdarah. Belum cukup kerentanan, mereka harus dihadapkan pada risiko krisis iklim lainnya, seperti kekeringan atau banjir ekstrem. Bertubi-tubi menghadapi tekanan akan berdampak buruk kepada kesehatan mental dan kesejahteraan mereka pada jangka panjang.
“Kasus kekeringan berkepanjangan menunjukkan contoh yang jelas tentang dampak perubahan iklim terhadap faktor-faktor penentu ini. Kekeringan secara signifikan mengganggu produksi pertanian dan menyebabkan hilangnya mata pencaharian, menyebabkan banyak masyarakat dalam kemiskinan, faktor yang jelas terkait dengan banyak gangguan mental umum,” jelas WHO dalam risalah tersebut.
“Kekeringan juga dapat menyebabkan kelangkaan air dan kerawanan pangan, yang keduanya dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan meningkatkan risiko kondisi kesehatan mental, yang terakhir dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan, masalah kesehatan mental, dan masalah neurologis yang dapat terjadi akibat malnutrisi,” lanjutnya.
Wonder Myambo dari Chimanimani, Zimbabwe, memberikan kesaksian atas merosotnya kesehatan mental dirinya pasca Badai Idai yang melanda negara tersebut pada bulan Maret 2019 silam.
Sebelumnya, daerah Chimanimani merupakan kawasan pertanian subur yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat setempat. Namun, Wonder mengatakan Badai Idai telah menghancurkan rumahnya dan kerabatnya yang lain. Ia kehilangan 7 kambing dan 20 ayam yang merupakan sumber pendapatan dan makanan keluarganya. Ia pun jatuh dalam kemiskinan. “Saya stres untuk waktu yang lama, saya kehilangan beberapa kerabat saya dan saya kesulitan untuk melupakan kejadian (badai) itu,” kata Wonder.
Tantangan Wonder semakin berlipat ganda karena masalah terkait dampak perubahan iklim, seperti tanah longsor, degradasi tanah, erosi tanah, hingga pendangkalan sungai kerap terjadi setelah badai selesai.
Perubahan iklim juga dapat meningkatkan konflik dan menimbulkan migrasi paksa bagi sebagian orang. WHO menyebutkan satu dari lima orang yang terpapar konflik mengalami kondisi kesehatan mental. Sementara itu, migrasi merupakan salah satu faktor risiko untuk masalah kesehatan mental dan psikososial, meski perlu penelitian lebih lanjut.
Prioritaskan kesehatan mental
WHO menyatakan ada kesenjangan dalam memahami dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial. Hal ini terlihat dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, namun rendah emisi gas rumah kaca.
Sebagai contoh, masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam, akan secara signifikan terganggu oleh perubahan iklim. Mereka mungkin lebih terpengaruh oleh hilangnya hutan atau satwa liar. Lebih lanjut, anak-anak dan remaja juga dapat mengalami reaksi yang kuat dalam menanggapi skala krisis dan kurangnya tindakan yang diambil.
Namun, pengetahuan saat ini cukup untuk bertindak.
“Dampak perubahan iklim memperparah situasi yang sudah sangat menantang untuk kesehatan mental dan layanan kesehatan mental secara global. Ada hampir satu miliar orang yang hidup dengan kondisi kesehatan mental, namun di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, tiga dari empat tidak memiliki akses ke layanan yang dibutuhkan,” kata DévoraKestel, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat, WHO.
“Dengan meningkatkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam pengurangan risiko bencana dan aksi iklim, negara-negara dapat berbuat lebih banyak untuk membantu melindungi mereka yang paling berisiko,” tambahnya.
WHO menyatakan bahwa Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial (MHPSS) telah digunakan dalam Pengaturan Darurat dari Pedoman Komite Antar Lembaga untuk MHPSS. Pengaturan ini menggambarkan “semua jenis dukungan lokal atau luar yang bertujuan untuk melindungi atau meningkatkan kesejahteraan psikososial dan/atau mencegah atau mengobati gangguan jiwa”.
Secara global, istilah MHPSS bertujuan menyatukan berbagai aktor yang menanggapi keadaan darurat dan menggarisbawahi perlunya pendekatan yang beragam dan saling melengkapi dalam memberikan dukungan yang tepat.
“Negara-negara Anggota WHO telah memperjelas bahwa kesehatan mental adalah prioritas bagi mereka. Kami bekerja sama dengan negara-negara untuk melindungi kesehatan fisik dan mental masyarakat dari ancaman iklim,” kata Diarmid Campbell-Lendrum, ketua iklim di WHO, dan penulis utama IPCC.
Dengan risalah ini, WHO meminta pemerintah untuk mengintegrasikan pertimbangan iklim dengan program kesehatan mental, menggabungkan dukungan kesehatan mental dengan aksi iklim, dan membangun komitmen global mereka.
Selain itu, negara-negara juga harus mengembangkan pendekatan berbasis masyarakat untuk mengurangi kerentanan, dan menutup kesenjangan pendanaan besar yang saat ini ada untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial.
Setidaknya ada dua negara yang sudah melakukan Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial, yaitu Filipina dan India.
Risalah kebijakan ini dikeluarkan oleh WHO pada hari terakhir KTT Stockholm, yang memperingati 50 tahun Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia, konferensi dunia pertama yang menjadikan lingkungan sebagai isu utama.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post