Jakarta, Prohealth.id — Women’s March Jakarta (WMJ) 2024 kembali hadir dengan seruan untuk menghentikan diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan ketidakadilan yang melumpuhkan berbagai sektor kehidupan.
Dengan mengusung tema “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki”, aksi ini menyoroti berbagai isu. Tak terkecuali kesehatan reproduksi, lingkungan, dan dampaknya terhadap perempuan serta kelompok rentan.
Tantangan Implementasi dan Akses Layanan
Kesehatan reproduksi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Dari kurangnya akses layanan di daerah terpencil hingga minimnya edukasi seksual karena dianggap tabu. Akibatnya, banyak remaja tidak tahu cara melindungi diri dari risiko seperti pernikahan dini, infeksi menular seksual, hingga kehamilan tidak terencana.
Padahal, kesehatan reproduksi bukan hanya soal fisik. Namun juga soal hak untuk mendapatkan informasi, layanan kesehatan, dan membuat keputusan yang aman bagi tubuh sendiri. Jika tidak mendapat perhatian, dampaknya bisa fatal, bukan hanya bagi individu, tetapi juga generasi mendatang.
Tuani dari LBH APIK Jakarta menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam mengatur kesehatan reproduksi. Khususnya terkait penanganan dan pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual.
“UU TPKS menjamin penanganan dan pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual, termasuk akses terhadap kontrasepsi darurat dan aborsi. Namun, aturan turunan mengenai layanan aborsi masih belum tersedia,” jelas Tuani.
Ketiadaan regulasi ini makin parah karena mendapat stigma dari tenaga kesehatan. Akibatnya, banyak korban kekerasan seksual yang terpaksa mencari layanan aborsi yang tidak aman. Tentu hal ini membahayakan kesehatan bahkan nyawa mereka.
Data dari Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menunjukkan bahwa hampir setengah dari kehamilan global atau sekitar 121 juta kehamilan merupakan kehamilan tidak diinginkan. Di Indonesia, angka ini mencapai 40 persen dari seluruh kehamilan. Pemerintah harus mengatasi situasi ini untuk mencegah berbagai dampak buruk pada ibu dan anak di kemudian hari.
Selain itu, diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV/AIDS juga menjadi perhatian. Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat kuat. Baik di masyarakat maupun di kalangan tenaga kesehatan. Stigma ini membuat banyak ODHA enggan memeriksakan diri atau mencari pengobatan karena rasa malu dan takut dikucilkan. Penelitian menunjukkan bahwa 49,7 persen masyarakat masih memiliki sikap negatif terhadap ODHA. Mereka kerap menghadapi diskriminasi dalam bentuk
“Banyak perempuan enggan mencari pengobatan karena stigma yang mereka hadapi,” ujar Hartini dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia.
Marjinalisasi Peran Anak Muda dalam Advokasi Hak dan Kesehatan Reproduksi
Di tengah perjuangan melawan diskriminasi dan memperjuangkan hak kelompok rentan, peran anak muda sering kali diabaikan atau diremehkan. Hal ini terungkap sesuai pernyataan Inayah dari Pamflet Generasi. Ia merujuk pada penelitian organisasi tersebut tahun 2022. Menurutnya, anak muda kerap mendapat stigma tidak kompeten ketika membahas isu Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di ruang publik. Khususnya dalam konteks advokasi dan kampanye.
“Inisiatif yang melibatkan anak muda sering kali hanya bersifat tokenistik. Sekadar memenuhi kuota, tanpa memberikan peran yang nyata atau strategis,” ujar Inayah.
Ia juga menyoroti, meskipun beberapa kampus mulai mempercayakan pengelolaan isu kekerasan seksual kepada mahasiswa, kepercayaan ini masih harus menghadapi diskriminasi dan ancaman. Termasuk dari pihak kampus itu sendiri.
Selain itu, akses informasi dan layanan HKSR masih menjadi tantangan besar. Utamanya, bagi anak muda yang tinggal di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Hambatan ini semakin menegaskan perlunya kebijakan yang inklusif dan komprehensif untuk mendukung peran anak muda dalam memperjuangkan hak-hak mereka secara efektif.
“Harapannya orang muda bisa berkolaborasi orang dewasa khusus untuk isu-isu kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi,” lanjut Inayah.
Melvin Ezekiel Simanjuntak, mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat UI angkatan 2021, mengungkapkan bahwa partisipasinya di WMJ 2024 memperkuat kesadarannya terhadap isu kesehatan reproduksi.
ia berefleksi masih banyak anggapan bahwa kesehatan reproduksi itu urusan pribadi. Untuk itu ia ingin mendorong kesadaran bahwa ini adalah isu kolektif yang menyangkut keadilan dan hak asasi manusia.
“Saya harap pemerintah lebih serius menangani ini. Karena stigma dan kebijakan yang tidak mendukung sangat membatasi akses perempuan, terutama korban kekerasan seksual,” ujar Melvin.
Seruan untuk Perubahan Sistemik
WMJ 2024 juga menyerukan perlunya regulasi yang lebih komprehensif. Contohnya RUU Penghapusan Diskriminasi, untuk melindungi korban dari ketidakadilan sistemik.
Ally Anzi selaku Koordinator WMJ 2024 menyatakan diskriminasi berbasis gender tidak hanya terjadi dalam kebijakan nasional. Ia menemukan bentuk diskriminasi marak melalui peraturan daerah berbasis moralitas.
“Ini yang memperparah marginalisasi perempuan dan ragam gender lainnya,” jelas Ally Anzi.
Melalui aksi ini, WMJ tidak hanya berupaya memperjuangkan keadilan, tetapi juga mengingatkan pentingnya kebijakan yang inklusif. Kebijakan yang berpihak pada korban untuk mewujudkan kesetaraan yang nyata.
Discussion about this post