Tahun 2024 menjadi momentum besar bagi Indonesia dengan berlangsungnya Pemilu dan Pilkada serentak. Meskipun pemilu adalah momen penting dalam demokrasi, banyak yang merasa pergantian kekuasaan justru tak membawa perubahan signifikan terhadap budaya politik yang diskriminatif dan eksploitatif. Hal ini, menurut Women’s March Jakarta (WMJ), harus segera selesai.
Dalam aksi besar pada 10 Desember 2024, WMJ menyuarakan tuntutan keras terhadap ketidakadilan di Indonesia. Salah satu seruan utama adalah untuk mengakhiri praktik diskriminasi, patriarki, serta kekerasan berbasis gender (KBG) yang kerap menimpa perempuan, anak, dan kelompok rentan.
Tuntutan WMJ 2024 bukan hanya tentang menghentikan kekerasan fisik, tetapi juga mengatasi kekerasan struktural yang ada dalam sistem hukum dan kebijakan negara. Dari femisida yang semakin meningkat hingga ketimpangan gender dalam sistem peradilan, aksi ini menjadi panggilan untuk perubahan yang lebih nyata dan lebih cepat.
Prohealth.id mencatat, salah satu peserta aksi menyerukan pemerintah harus bertindak untuk menciptakan ruang yang adil dan aman bagi semua perempuan dan kelompok marginal di Indonesia. Tuntutan jelas yaitu menghentikan diskriminasi, hentikan kekerasan, dan berikan hak mereka untuk hidup tanpa ketakutan.
Para peserta Women’s March 2024 juga menyoroti krisis yang terjadi di Papua dan dampaknya terhadap masyarakat adat. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali tidak hanya memicu krisis lingkungan, tetapi juga merusak kualitas hidup perempuan dan anak-anak. Sehingga mereka semakin rentan terhadap pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga.
Bukan hanya itu, kekerasan seksual terus menjadi ancaman serius. Khususnya karena tingginya angka femisida yang tercatat pada beberapa tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender, termasuk femisida, terus meningkat.
Pada tahun 2022, terdapat 307 kasus femisida. Sementara tahun 2023, Jakarta Feminist mencatat setidaknya 180 kasus. Situasi ini mencerminkan kegagalan sistem hukum dan politik dalam melindungi perempuan. Selain itu, eksploitasi sumber daya di Papua dan daerah lainnya juga memperparah dampak sosial dan lingkungan bagi masyarakat adat.
Urgensi Kedaruratan
Women’s March Jakarta (WMJ) adalah Lintas Feminis Jakarta sebagai perayaan perempuan sekaligus wujud solidaritas untuk hak perempuan dan gender minoritas lain. WMJ mendorong kesetaraan, kebebasan, dan perlindungan. Mulai 2017, WMJ menjadi agenda tahunan untuk menyuarakan hak dan kebebasan perempuan melalui aksi bersama
Tema tahun ini, “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki”, menggambarkan perlawanan terhadap budaya patriarki yang masih menjadi akar dari berbagai ketidakadilan, seperti kekerasan berbasis gender, diskriminasi, hingga eksploitasi lingkungan. Di tengah isu-isu besar seperti krisis iklim, eksploitasi di Papua, dan maraknya kasus femisida, WMJ 2024 menyerukan tindakan nyata untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi semua.
Ally Anzi dari Jakarta Feminist menyatakan pemilihan tema ini karena Lintas Feminis Jakarta berefleksi bahwa momentum Pemilu dan Pilkada 2024, seharusnya menjadi tonggak perubahan menuju keadilan sosial. Namun, kenyataannya, pergantian kekuasaan tidak mengubah budaya politik yang bermakna. Tahun politik sebatas menjadi pertunjukan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara.
“Dengan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, anak, dan kelompok rentan”, ucap Ally.
Tuntutan Utama Women’s March Jakarta 2024
WMJ 2024 menyuarakan sejumlah tuntutan yang menyoroti berbagai aspek diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan pada perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Para peserta aksi WWMJ menyuarakan dan menuntut pemerintah untuk mengambil langkah nyata dan tegas dalam menghadapi dua krisis besar ini. Suara-suara dari perempuan, masyarakat adat, dan kelompok muda menggema, menyerukan perubahan kebijakan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Salah satu peserta aksi, Intan Shabira (23), mahasiswa yang terlibat dalam WMJ, menekankan betapa mendesaknya pelibatan perempuan dalam kebijakan iklim.
“Pemerintah nggak bisa lagi menganggap remeh krisis iklim. Kami, perempuan, orang muda, masyarakat adat, semua terdampak langsung. Kebijakan iklim itu seharusnya melibatkan kami yang paling tahu dan merasakan dampaknya,” ujar Intan Shabira (23).
Dia menekankan pentingnya pelibatan perempuan dalam kebijakan iklim. Menurutnya, pengalaman perempuan dalam mengelola sumber daya alam sering diabaikan. Padahal mereka paling rentan terhadap dampak bencana.
“Misalnya saat banjir, yang paling sibuk mengurus keluarga siapa? Perempuan! Kalau kebijakan iklim dibuat tanpa melibatkan suara kami, dampaknya akan timpang.”
Pada sisi lain, tuntutan revisi UU HAM untuk memasukkan perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM (PPHAM) juga menjadi sorotan Zahra Zulfi (32) aktivis Amnesty Indonesia. Sebagai salah satu peserta aksi WMJ 2024, Zahra menegaskan perempuan yang berjuang untuk lingkungan dan HAM sering menjadi target kekerasan dan intimidasi.
“Seolah-olah apa yang kami lakukan itu ancaman. Padahal, kami hanya ingin melindungi hak hidup semua orang, termasuk generasi mendatang,” jelas Zahra.
Zahra juga menyoroti lambannya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ia menyebut pengakuan dan permintaan maaf itu penting, tetapi belumlah cukup.
“Kami butuh penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Hak-hak korban harus dipenuhi. Kalau ini tidak dilakukan, pelanggaran akan terus berulang.”
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post