Jakarta, Prohealth.id – Serangkaian laporan baru yang diterbitkan hari ini – dikeluarkan oleh WWF dan dibantu penelitian oleh Eunomia – mengidentifikasi produk plastik yang paling merusak dan mencemari lingkungan dan mengusulkan langkah-langkah pengendalian global yang diperlukan untuk menghilangkan, mengurangi atau mengelola dan mengedarkan plastik ini dengan aman.
WWF menganjurkan agar langkah-langkah ini dimasukkan dalam teks perjanjian, yang akan diterbitkan menjelang putaran pembicaraan oleh PBB berikutnya pada Desember 2023.
Penelitian ini menyajikan solusi untuk mengatasi tantangan polusi plastik yang paling mendesak pada perjanjian global yang baru, dengan cara mengkategorikan produk plastik menjadi dua kelompok- yang dapat dikurangi atau dihilangkan secara signifikan dalam jangka pendek (Kelas I) dan yang saat ini tidak dapat dihilangkan secara layak atau dikurangi secara signifikan tetapi diperlukan langkah-langkah pengendalian secara global untuk mempromosikan daur ulang dan manajemen pembuangan yang bertanggung jawab (Kelas II).
Analisis ini membagi produk ke dalam kategori luas berdasarkan risiko polusi, yang diyakini WWF akan membantu regulasi yang lebih efektif di tingkat global, daripada membuat undang-undang untuk barang-barang plastik secara individual – yang dapat membuka potensi celah hukum.
Menyadari hubungan masyarakat dengan plastik yang sudah kompleks, saling berhubungan dan mendalam, analisis ini juga mempertimbangkan konsekuensi lingkungan, kesehatan dan sosial yang tidak diinginkan dari menghilangkan atau mengganti dengad jenis plastik tertentu.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (16/5/2023), Marco Lambertini, Utusan Khusus WWF menyatakan saat ini masyarakat terkunci dalam sistem dimana dunia sekarang memproduksi plastik dalam jumlah yang jauh melampaui apa yang dapat ditangani oleh negara manapun, yang mengakibatkan krisis polusi plastik yang memengaruhi lingkungan serta masyarakat.
Ia mengingatkan, jika kita tidak mengambil tindakan sekarang, situasinya akan menjadi lebih buruk. Pada 2040 nanti, produksi plastik global akan berlipat ganda, kebocoran plastik ke laut akan menjadi tiga kali lipat dan menjadikan total volume polusi plastik di lautan akan menjadi empat kali lipat.
“Kita tak bisa membiarkan ini terjadi. Polusi plastik adalah masalah global yang membutuhkan solusi global. Para negosiator harus memperhatikan panduan dalam laporan ini dan bekerja sama untuk membuat perjanjian dengan aturan global yang mengikat, komprehensif dan spesifik yang dapat mengubah arus menjadi krisis plastik,” sambungnya.
Sementara plastik murah dan serbaguna, dengan kegunaan yang tak terhitung jumlahnya di banyak industri, hampir setengah dari semua plastik digunakan untuk membuat produk berumur pendek atau sekali pakai yang dapat menghabiskan ratusan tahun terdegradasi – dan sebagian besar dikonsumsi di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas.
Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2015, 60 persen dari semua plastik yang pernah diproduksi telah mencapai akhir masa pakainya dan telah dibuang. Saat ini, secara global, kurang dari 10 persen produk plastik didaur ulang.
“Banyak negara sudah menerapkan langkah-langkah, mulai dari larangan barang-barang plastik seperti tas atau sedotan dan pengaduk, hingga microbeads dalam kosmetik atau makanan dan minuman sekali pakai,” kata Lambertini.
Lambertini mengaku dengan prihatin bahwa pemerintah di seluruh dunia membutuhkan pendekatan terkoordinasi yang dipimpin oleh aturan yang disepakati secara global yang dapat membuat perbedaan dalam skala besar dan menempatkan setiap negara dan perusahaan pada tingkat lapangan bermain yang sama. Ini tahun 2023. Ia menilai, tidak ada alasan logis untuk menyimpan banyak produk plastik sekali pakai yang beredar secara global ketika kita tahu bahwa mereka menyebabkan begitu banyak kerusakan; mencemari saluran air dan merusak lautan dan memasuki rantai makanan manusia. Ada begitu banyak teknologi di ujung jari industri untuk memberikan alternatif dan pengganti yang lebih berkelanjutan.
“Kami membutuhkan regulasi dan insentif untuk mendukung transisi ini dengan memicu inovasi dan meningkatkan perdagangan dalam alternatif yang berkelanjutan,” tuturnya.
Terlepas dari peraturan dan langkah-langkah sukarela di tingkat nasional, upaya belum cukup terbukti untuk menghentikan plastik bocor ke lingkungan di satu lokasi, dan berakhir ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya. Plastik sekali pakai, mikroplastik, dan peralatan memancing yang hilang atau dibuang – yang dikenal sebagai ‘peralatan hantu’– sekarang menjadi mayoritas polusi plastik di lautan.
Zaynab Sadan, Koordinator Kebijakan Plastik WWF untuk Afrika menjelaskan, banyak komunitas tidak memiliki infrastruktur untuk menangani rentetan sampah plastik yang membanjiri kehidupan mereka, juga tidak banyak pemerintah yang mampu membayar layanan pengumpulan. Jadi masyarakat dibiarkan mengelola limbah sendiri yang dapat menyebabkan impac negatif pada kesejahteraan mereka.
Ia menegaskan, menghilangkan plastik sekali pakai yang berisiko tinggi dan tidak perlu merupakan langkah pertama menuju penciptaan ekonomi yang lebih adil dan lebih sirkular, tetapi perjanjian tersebut harus memastikan pengakuan dan inklusi mereka yang mungkin terkena dampak larangan tersebut, seperti pekerja sampah informal. Zaynab mengingatkan perjanjian di Paris adalah kesempatan yang tidak dapat dilewatkan untuk mengedepankan langkah-langkah global yang akhirnya dapat menjauhkan kita dari pola pikir sekali pakai yang memicu krisis alam ganda dan iklim, dan menempatkan kita pada jalur alam-positif.
Setelah awal yang menjanjikan pada pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC) pertama tahun lalu, negosiator sekarang harus menyempurnakan rincian teks perjanjian untuk mengatasi polusi lastik secara paling efektif dan adil.
Dalam konteks Indonesia, saat ini WWF-Indonesia mendukung pemerintah Kota Bogor, Depok dan DKI Jakarta untuk menanggulangi sampah plastik.
“Kami bekerja dengan pemerintah Kota Bogor, Depok dan Provinsi DKI Jakarta dalam mengurangi kebocoran plastik sebanyak 30 persen ke alam”, ujar Aditya Bayunanda, CEO WWF-Indonesia.
Lebih lanjut Aditya mengutarakan bahwa dengan cara penguatan bank sampah, edukasi di sekolah dan juga penguatan kebijakan untuk sirkular ekonomi, bekerjasama dengan perusahaan yang memproduksi Fast Moving Consumer Good (FMCG) untuk penerapan Extended Producer Responsibility (EPR).
Dalam rangkaian pertemuan yang diinisiasi PBB untuk global treaty, akan ada pertemuan Internasional Forum of Mayor seluruh dunia untuk menghentikan polusi plastik.
Rencananya Wali Kota Bogor, Bima Arya akan hadir dalam pertemuan tersebut pada 24-27 Mei mendatang. Forum ini akan mempertemukan wali kota seluruh dunia, peneliti, LSM, organisasi antar pemerintah, filantropi, dan perusahaan yang berkomitmen untuk memerangi polusi plastik dan menemukan solusi untuk mengurangi dampak polusi plastik di planet ini dan akan dibawa hasilnya pada pertemuan PBB nantinya.
Discussion about this post