Jakarta, Prohealth.id — Koalisi Warga Untuk Hak Atas Kesehatan melayangkan somasi terbuka kepada tiga penerima mandat rakyat, yaitu Presiden RI Joko Widodo, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin atas kelangkaan dan mahalnya harga oksigen.
Direktur Eksekutif Enter Nusantara Elok Faiqotul Mutia selaku perwakilan koalisi mengatakan, somasi dilayangkan karena menilai pananganan pandemi Covid-19 menyisakan banyak persoalan.
“Banyak kesemrawutan. Salah satunya, banyaknya warga yang sedang mencari oksigen. Harganya bisa 200-300 persen dari harga normal,” ucap Mutia, Minggu (25/7/2021),
Mutia juga menegaskan jika somasi terhadap pemerintah dilakukan oleh 107 lembaga/organisasi masyarakat sipil yang berasal dari seluruh Indonesia, menyikapi kelangkaan tabung oksigen dan kelangkaan oksigen, serta naiknya harga tabung oksigen dan kelangkaan peralatan pendukung lainnya.
TIGA ALASAN SOMASI
Perwakilan LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim menegaskan jika krisis oksigen yang terjadi pada hari ini tidak bisa dilepaskan dari melonjaknya pasien Covid-19 yang memerlukan perawatan ekstra. Hal itu semakin runyam ketika fasilitas kesehatan kesulitan menampung pasien Covid-19.
“Akhirnya banyak pasien Covid-19 yang melakukan perawatan mandiri, tapi tidak tertolong dan akhirnya meninggal,” kata Afif.
Bahkan jika merujuk data LaporCovid19 per tanggal 25 Juli, Afif mengatakan jumlah korban meninggal sebanyak 2.641 jiwa saat melakukan isolasi mandiri. “Dan juga diluar fasilitas kesehatan,” katanya.
Kedua, menurut Afif, adanya kejadian tragis di hilir dalam konteks pelayanan kuratif yang seharusnya mengedepankan pengobatan untuk penyembuhan, kebutuhan obat-obatan dan ketersediaan oksigen selama 24 jam. Termasuk juga harga yang terjangkau dan terkendali merupakan elemen penting bagi pasien Covid-19.
“Sayangnya di beberapa tempat menginformasikan ke kami bahwa ditemukan keluhan terkait akses obat-obatan, keluhan terkait oksigen yang sulit didapat dan tabung oksigen yang harganya sangat tidak wajar,” kata Afif.
Dari temuan di hilir itu, jika ditarik ke hulu dalam hal ini pemerintah sebagai penanggungjawab kesehatan ternyata tidak menunjukkan perbaikan. Karena itu, Afif mengingatkan, jangan sampai kebijakan saat ini dilakukan tidak responsif dan tidak memiliki sense of crisis.
“Padahal dalam situasi krisis ini perlu dilakukan tindakan yang sangat agresif, terpadu dan berkesinambungan. Itu sebagai kunci dari penanganan krisis di masa pandemi,” ucapnya.
Afif juga mengimbau agar pemerintah fokus mengangani pandemi Covid-19, termasuk saat mengeluarkan kebijakan yang hendaknya tidak bertentangan.
“Misalnya kemarin kita dengar pemerintah dalam hal ini Presiden mengirimkan bantuan oksigen, tapi disatu sisi ada kebijakan impor. Nah ini mengundang kejanggalan, karena stok oksigen di dalam negeri dikirimkan bantuan, tapi di sisi yang lain kita impor,” kata Afif.
Terakhir, dalam konteks UU Kesehatan, Afif menilai pelayanan kesehatan harus mengedepankan sisi kuratif, termasuk tidak melupakan pendekatan preventif. “Nah diawal melonjaknya kasus Covid-19, ini tidak diantisipasi sejak dini. Secara timeline di awal-awal pemerintah terlihat ogah-ogahan bahkan denial terhadap pandemi,” katanya.
Termasuk juga, Afif mengeluhkan soal keputusan pemerintah yang tidak solid. “Misalnya persoalan karantina wilayah atau PSBB yang sampai saat ini tidak konsisten. Yang mana ujungnya adalah rakyat dibuat menderita,” ujarnya.
FAKTA LAPANGAN
Sementara itu, Irma Hidayana dari LaporCovid19 menilai kelangkaan oksigen sudah terjadi sejak bulan Juni, tepatnya pada medio hingga akhir Juni 20121. Saat itu mereka terlibat membantu warga untuk mencarikan rumah sakit, karena banyak diantara pasien yang kesulitan mengaksesnya, termasuk diantara mengalami kesulitan bernafas. “Jangankan tabung oksigen, Oxycan juga sulit mendapatkannya,” kata Irma.
Irma menuturkan, sejumlah petugas rumah sakit menyampaikan bahwa oksigen sudah habis. Ketika mengonfirmasi hal itu ke Dinas Kesehatan setempat, diketahui jika oksigen masih ada, namun ketersediaannya hanya cukup bagi pasien yang saat itu dirawat di rumah sakit. “Sehingga untuk menerima pasien baru, sulit untuk memberikan oksigen,” ujarnya.
Warga yang dibantu oleh LaporCovid19 kebanyakan dengan saturasi oksigen yang rendah dan membutuhkan perawatan segera. “Bukan hanya oksigen saja, tetapi juga perawatan yang intens dari rumah sakit, dimana hingga saat ini masih sulit sekali,” terang Irma.
Menurut Irma, krisis oksigen pertama kali dirilis oleh Kompas dengan pemberitaan terkait meninggalnya 65 pasien dalam jangka waktu 24 jam di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta. Kemudian informasi itu diklarifikasi oleh RS Sardjito dengan mengatakan korban meninggal hanya 30 orang.
“Tapi yang 30 orang ini nyawa semua, dan yang paling penting kita perhatikan adalah bagaimana kehadiran negara, bagaimana layanan kesehatan, layanan fasilitas kesehatan, bagaimana negara mengikuti amanah konstitusi untuk menyediakan akses terhadap layanan medis,” ungkap Irma.
Irma menambahkan, “termasuk akses terhadap oksigen disaat wabah varian Delta yang transmisinya sangat luar biasa di masyarakat. Akibatnya kebutuhan oksigen sangat diperlukan”.
Data LaporCovid19 menemukan, krisis oksigen telah terjadi di banyak rumah sakit di Indonesia. “Kami mencatat di Rembang, Badung dan beberapa rumah sakit di Jateng bahkan sampai di Papua, Kalimantan, beberapa lokasi juga mengalami kelangkaan oksigen,” ujarnya
“Ini tidak akan menjadi masalah apabila tidak mengakibatkan kematian kepada pasien yang membutuhkan oksigen,” kata Irma kemudian.
Hanya saja, para pasien yang meninggal karena akses terhadap oksigen dan akses terhadap bantuan medis diakibatkan oleh lambannya penanganan yang diberikan.
“Karena itu kami mendorong agar rumah sakit, terutama di epicenter pandemi seperti, di Jawa-Bali, kemudian di pulau-pulau lainnya untuk berani mengungkapkan ketika terjadi kelangkaan oksigen,” terang Irma.
Atau jika khawatir, Irma menawarkan untuk menghubungi kantor LBH di daerah masing-masing, termasuk 107 lembaga yang siap menggugat pemerintah terkait kelangkaan oksigen.
“Sebagai elemen masyarakat sipil, kami ingin membantu semua terutama rumah sakit sebagai garda terdepan dalam merawat pasien Covid-19 untuk bisa memberikan pelayanan yang maksimal. Dan otoritas dan kewenangan untuk memberikan pemenuhan oksigen ini ada di pemerintah,” katanya.
PELANGGARAN HAM
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan kelangkaan tabung oksigen tidak bisa dipisahkan dengan pemberitaan pada 10 Mei lalu yang menyebut sebanyak 3500 tabung oksigen dikirim ke India.
“Lalu pada 31 Mei 200 tabung kembali di impor,” kata Asfinawati.
Situasi itu, menurut Asfinawati sangat serius, karena ada Keppres yang menyatakan pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam, sebagaimana ketentuan di UU nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
“Penanggulangan bencana memberikan kewajiban kepada pemerintah tidak hanya ketika terjadi bencana tetapi juga sebelum terjadi bencana,” katanya.
Pasal 44 disebutkan, pemerintah wajib melakukan penanggulangan, meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi. Kesiapsiagaan itu dimaknai dengan sejumlah kegiatan, mulai dari penyusun data, penyiapan bahan dan peralatan, termasuk oksigen.
“Kita tahu bahwa pandemi Covid ini sudah ada di luar negeri dan terinformasikan di Indonesia pada akhir 2019,” terang Asfinawati.
Sehingga, menurut Asfinawati, ketika pemerintah menentukan darurat pada bulan Maret, sejatinya ada waktu sekitar 3 bulan untuk melakukan mitigasi dan BNPB bahkan telah menetapkan status darurat pada Februari 2019. “Ini serius sekali sebetulnya,” kata Asfinawati.
Karena itu, Asfinawati menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa somasi harus dilayangkan. “Jadi yang pertama itu, karena melalaikan kewajibannya melakukan penyediaan dan penyiapan sejak tanggap bencana,” katanya.
Kedua, menurut Asfinawati karena kegagalan memenuhi kebutuhan dasar pada saat tanggap darurat. “Sudah gagal melakukan persiapan, tapi kita lihat mengapa malah pada Mei mengirim tabung ke India,” ujarnya.
Selain itu, Asfinawati mengaitkannya dengan sikap denial pemerintah yang mengatakan naiknya angka Covid-19 bukan karena varian baru dari India, namun karena mudik lebaran dan lain-lain.
“Padahal kita tahu ada warga India yang masuk ke Indonesia. Artinya tidak dilakukan karantina perbatasan, padahal karantina perbatasan ada di dalam UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” ujarnya.
Asfinawati menambahkan, “jadi itu sudah berlapis-lapis. Dan masalah kelangkaan oksigen ini menunjukkan banyak sekali persoalan,” katanya.
Belum lagi, ketika tanggap darurat pemerintah seharusnya menyediakan layanan kesehatan. Dan karena ini adalah penyakit pernafasan, maka tabung oksigen sangat diperlukan. “Karena itu India meminta kepada kita. Jadi kita sebetulnya bisa belajar dari negara lain. Tapi kok tidak ada inisiatif sama sekali,” kata Asfinawati.
Asalan ketiga menurut Asfinawati terkait kegagalan mengendalikan harga. Pemerintah seharusnya mampu mengendalikan harga sesuai dengan UU nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.
“Harusnya itu menurut UU barang-barang penting ditentukan oleh Perpres, tapi itu kan tidak ada. Terakhir kami cek Perpres tahun 2015, dan saat itu belum ada Covid-19,” kata Asfinawati.
Kebijakan terbaru yang dipilih presiden, menurut Asfinawati malah mengusulkan Omnibus Law dimana pembahasannya cukup lama. “Pemerintah tidak meyiapkan langkah antisipasi terhadap pandemi, padahal pandemi sedang berlangsung,” ungkapnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan disebabkan oleh ketidakfokusan pemerintah menyelesaikan persoalan Covid. Padahal, menurut Asfinawati, ketika ada nyawa yang melayang di dalam konstruksi tindak pidana, harus ada pihak yang bertanggungjawab, tidak hanya karena melakukan, tapi juga karena kelalaiannya.
“Ini bukan soal unable dalam konteks hak azasi manusia, tetapi unwilling, karena jika dia fokus pada urusan-urusan Covid-19, maka seharusnya bisa,” katanya.
INSAN AKADEMIK HARUS INDEPENDEN
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun menjelaskan, salah satu prinsip dari kebebasan akademik adalah insan akademik harus bebas dari pembataasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik.
“Termasuk kemudian mentransformasi keilmuan kepada masyarakat terhadap situasi-situasi yang berkembang di dalam kesehatan, seperti terjadinya kelangkaan oksigen dan tabung oksigen,” kata Dhia.
Hal itu diperparah dengan kesulitan proses pemakaman, yang menurut Dhia sebagai arus informasi yang tidak berjalan baik ke masyarakat. Padahal Indonesia punya UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Pasal 14-16 memperlihatkan jika pemerintah punya tanggungjawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, mengawasi, hingga kemudian upaya kesehatan itu merata dan terjangkau oleh masyarakat,” terangnya.
Tak hanya itu, menurut Dhia ketersediaan fasilitas dan layanan kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah, yaitu mewujudkan segala ketersediaan tatanan fasilitas sampai pada derajat kesehatan setinggi-tingginya.
“Jadi prioritas kesehatan harus dirasakan oleh semua masyarakat yang terkena Covid-19 ini,” katanya.
Kemudian Dhia mengingatkan soal akses yang seharusnya dipermudah, termasuk dengan mengurangi antrean yang akan membahayakan. “Atau ketika ada proses pendonoran, donornya sudah ada tapi kemudian tidak bisa melakukan donor karena prosedur yang ada di lembaga pendonor juga tidak terbuka yang memudahkan orang untuk menjadi pendonor juga,” katanya.
Sehingga, menurut Dhia ada lingkaran-lingkaran yang terputus, antara masyarakat dengan kebutuhan terhadap penyelesaian Covid-19.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post