Chief Correspondent Reuters untuk Thailand and Myanmar Devjyot Ghoshal mengungkapkan pengalaman peliputannya yang sangat krusial. Sebelum berbasis di Asia Tenggara, dia menjalani karier di India bersama Reuters selama empat tahun.
Devjot telah berhasil meliput sejumlah peristiwa penting. Seperti masa jabatan kedua Perdana Menteri Modi, reorganisasi Jammu dan Kashmir pada 2019, kerusuhan komunal di New Delhi, hingga krisis pandemi COVID-19.
Sedangkan situasi penuh tantangan ketika meliput Myanmar. Negara tersebut menjadi sangat tertutup pasca kudeta militer. Reuters, dengan reputasi kuat dalam peliputan di negara itu, terpaksa menjalankan peliputan sepenuhnya dari jarak jauh. Rawannya pelanggaran HAM di Myanmar membuat timnya bertekad untuk mencari cara menceritakan kisah secara akurat dan bermakna.
“Situasi ini semakin menegaskan betapa pentingnya peliputan hak asasi manusia yang menjadi fokus kami meskipun sulit mendapatkan informasi secara langsung,” ujar dia di webinar “Voices of Tomorrow: Human Rights Reporting” pada Sabtu, 30 Agustus 2025 lalu.
Selain peliknya situasi di Myanmar, Devjyot Ghoshal juga harus mampu menyampaikan kisah kemanusiaan yang berliku namun penting. Dia pernah mewawancarai seorang sandera asal Thailand yang baru bebas dari Jalur Gaza setelah 60 hari ditahan.
“Kisahnya sangat sulit diceritakan. Namun penting agar dunia mengetahui pengalaman para korban konflik tersebut.”
Objektivitas di Tengah Konflik
Devjyot Ghoshal selalu berpegang pada Reuters Trust Principles sebagai jurnalis. Ini sebuah pedoman yang dirancang sejak 1941 untuk menjaga independensi, integritas, dan kebebasan dari bias dalam peliputan. Prinsip ini sangat penting, terutama dalam kondisi peliputan yang kompleks dan sensitif.
Di samping itu menjaga integritas dan kebebasan dari bias adalah tugas fundamental jurnalis. Dalam situasi konflik, sangat mudah tergoda untuk berpihak.
“Namun saya selalu mengingat bahwa saya mengejar fakta dari berbagai sisi dan menyaring informasi agar hasil akhir seobjektif mungkin,” kata dia.
Aspek terpenting lainnya adalah pola interaksi dengan korban atau narasumber yang baru mengalami trauma. Empati selalu diutamakan dan batasan dihormati.
“Dalam wawancara sandera dari Gaza misalnya kami tidak memaksa dan selalu memberikan ruang untuk mereka menentukan kapan dan bagaimana mereka mau bercerita,” tuturnya.
Dia menambahkan, bahwa urnalis bukan hanya pengumpul fakta. Tetapi juga manusia yang berhadapan dengan manusia lain yang punya perasaan dan pengalaman hidup.
“Menghormati mereka berarti menjaga martabat dan keamanan mereka.”
Peran Jurnalisme Dalam Menegakkan HAM
Andreas Harsono membahas makna kebenaran fungsional dalam jurnalisme dan hak asasi manusia.
Untuk pegangan jurnalisme, dia mengatakan mengacu pada wartawan Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Seperti ditulis mereka dalam buku “The Elements of Journalism” dan “BLUR: How to Know What’s True in the Age of Information Overload”.
Jurnalis senior ini menyebutkan loyalitas utama media pada publik. Bukan pada perusahaan pengiklan. Namun sering terjadi konflik kepentingan misalnya pengiklan meminta liputan tertentu.
Oleh karena itu media harus menjaga “pagar api” agar kepentingan bisnis tidak memengaruhi liputan. Praktisi jurnalisme memiliki tanggung jawab sosial yang kadang melangkahi kepentingan tempat mereka bekerja.
Kemudian jurnalisme harus disiplin memverifikasi. Ini yang membedakannya dengan hiburan, propaganda, fiksi, dan infotainmen. Selain itu harus bersikap independen dan sikap ini harus dijunjung tinggi.
Terkait hak asasi manusia, dia menyebutkan topik ini sudah ratusan tahun diperdebatkan.
“Hak asasi manusia selalu ada batasnya kalau kita mengikuti debat soal hak asasi manusia minimal dalam 80 tahun terakhir. Karena debatnya itu sudah ratusan tahun,” jelas Andreas.
Namun, setiap negara yang masuk anggota PBB harus menyetujui Piagam PBB soal deklarasi hak asasi manusia. Hal tersebut sudah disepakati oleh ratusan negara anggota PBB.
“Dengan kata lain tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak menyetujui piagam hak asasi manusia universal.”
Namun masih ada di bawahnya itu konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian yang lebih kecil. Hal itu ditawarkan kepada negara bersangkutan untuk menyepakatinya.
Kalau pemerintahnya sepakat maka membawanya untuk dijadikan undang-undang dan diratifikasi parlemen. “Kalau di Indonesia diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”
Hukum-hukum yang ada lalu harus disesuaikan dengan perjanjian internasional. Indonesia sudah menandatangani tujuh perjanjian internasional. Tetapi undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerahnya masih bertentangan dengan ketujuh perjanjian ini dan itu harus disesuaikan.
Di antara produk hukum tersebut juga menyasar kerja-kerja jurnalistik dan mengancam kebebasan berekspresi.
Jika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1918 produk Belanda yang diterapkan di Indonesia memiliki 35 pasal soal pidana pencemaran nama baik maksimal penjara 7 tahun. Namun produk hukum terbaru menghadirkan 100 pasal lebih dengan hukuman maksimal seumur hidup termasuk makar.
Pendapat seseorang idealnya tidak dipidana. Tetapi perdebatan ini tak selesai dalam beberapa dasawarsa termasuk dalam KUHP 2023.
Dewan Pers memiliki MoU dengan Kapolri dan Jaksa Agung khusus delik pers diselesaikan lewat Dewan Pers lebih dulu. Tetapi tidak mencakup media sosial, blog, email, dan komunikasi pribadi.
“Bagi yang menulis, membuat video, dan seterusnya harus hati-hati. Karena di Indonesia, pasal-pasal karetnya makin banyak dibandingkan masa Hindia Belanda. Termasuk KUHP tahun 2023 yang akan mulai dijalankan 2 Januari 2026,” pungkas peneliti di Human Rights Watch (HRW) ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post