Jakarta, Prohealth.id – Kejadian menggemparkan seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) melakukan hingga 21 kali operasi caesar hanya dalam 10 jam. Hal ini memicu kekhawatiran publik terkait beban kerja tenaga medis sekaligus keselamatan pasien.
Menanggapi isu ini, dr Yunita Aryani, dosen Fakultas Kedokteran IPB University, menjelaskan regulasi, etika profesi, serta mekanisme pengawasan yang berlaku di Indonesia.
Ia menegaskan, hingga saat ini belum ada aturan nasional yang secara spesifik membatasi jumlah maksimal operasi caesar yang boleh dilakukan seorang dokter dalam satu sif.
“Pada dasarnya semua dokter memiliki hak dan kewajiban yang sama berdasarkan etika profesi dan regulasi. Dokter berhak menentukan jumlah tindakan medis yang dilakukan, selama tidak ada tekanan dari pihak luar,” jelasnya melalui siaran pers, Jumat (3/10/2025).
Namun dokter juga berhak menolak permintaan pasien jika bertentangan dengan etika, hukum, atau keyakinan pribadi. Tentunya selama penolakan itu tidak membahayakan nyawa pasien.
Meskipun belum ada angka baku secara nasional, setiap rumah sakit wajib memiliki standar operasional prosedur (SOP) internal. Tujuannya, untuk mengatur beban kerja tenaga medis. Sebagai contoh, pedoman pelayanan bedah dan anestesi menetapkan agar beban kerja disesuaikan dengan kemampuan tenaga medis. Tentunya dengan standar ketat mulai dari praoperasi, pascaoperasi, hingga monitoring berkelanjutan.
“Standar akreditasi rumah sakit juga mewajibkan sistem pelayanan berfokus pada pasien. Termasuk pengaturan jadwal operasi, rotasi tenaga medis, hingga mekanisme pelepasan staf bila diperlukan,” tambah dr Yunita.
Selain itu, rumah sakit wajib menjaga kelengkapan dokumentasi medis dengan mekanisme yang jelas. Mulai dari rekam medis yang mencakup informed consent, diagnosis, rencana tindakan, anestesi hingga catatan pascaoperasi. Lalu checklist pra operasi yang berisi verifikasi kesiapan alat, obat, dan staf; peran komite medis. Jangan lupa keselamatan pasien yang mengawasi mutu layanan dan audit internal; hingga dukungan akreditasi eksternal serta penerapan SIMRS melalui digitalisasi rekam medis agar data lebih aman dan transparan.
Apabila muncul dugaan pelanggaran terhadap standar medis atau keselamatan pasien, regulator seperti Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan berwenang melakukan investigasi. Proses ini biasanya mencakup inspeksi lapangan, audit, serta klarifikasi dokumen medis.
“Dalam kasus yang menjadi sorotan publik, penyelidikan biasanya melibatkan tim investigasi internal dan eksternal, serta pernyataan resmi rumah sakit yang transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Saat ini, dugaan praktik 21 kali operasi caesar dalam 10 jam masih dalam tahap penelusuran otoritas kesehatan dan regulator terkait. Publik diimbau menunggu hasil investigasi resmi untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran standar medis maupun etika profesi.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post