Jakarta – Setahun masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto kerap menegaskan ambisinya menjadikan Indonesia sebagai pemimpin transisi energi di Asia Tenggara. Di berbagai forum internasional seperti G20 dan COP, ia berbicara tentang “keadilan iklim” dan “pembangunan hijau”.
Namun, di lapangan, asap dari cerobong PLTU masih membubung di banyak kota, sementara proyek-proyek hilirisasi dan kawasan industri baru terus bergantung pada batu bara.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Center of Economic and Law Studies (CELIOS) , dan Trend Asia, “Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia,” yang diluncurkan pada Selasa, 4 November lalu.

Laporan ini mengungkapkan setidaknya 156.000 kematian dini, Rp1.813 triliun kerugian ekonomi, dan 1,45 juta tenaga kerja terancam kehilangan pekerjaan akibat PLTU.
“Janji 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun itu ambisius, tapi tanpa langkah konkret untuk mematikan PLTU, semua hanya retorika,” ujar Novita Indri Pratiwi, Pengampanye Energi dari Trend Asia. “Setiap tahun yang terlewat berarti ribuan nyawa melayang dan kerugian ekonomi bertambah.”
Analis CREA, Katherine Hasan, menyatakan bahwa ketergantungan Indonesia pada PLTU batubara tidak hanya merusak kesehatan publik, tapi juga membebani perekonomian jangka panjang serta melemahkan komitmen iklim nasional.
Pemeringkatan Daftar Toxic Twenty menilai PLTU batubara paling berbahaya di Indonesia berdasarkan tiga parameter berbobot sama dari total 38 PLTU milik PLN dan IPP.
Pertama, beban pencemaran udara yang dihitung dari dampak kesehatan dan kerugian ekonomi akibat polusi udara per satuan listrik yang dihasilkan.
Kedua, emisi karbon tahunan yang mencerminkan kontribusi terhadap perubahan iklim, dihitung dari kapasitas, efisiensi, dan jenis batubara yang digunakan.
Ketiga, usia operasi pembangkit yang menunjukkan akumulasi emisi sejak beroperasi. Nilai dari ketiga parameter tersebut dijumlahkan untuk menentukan peringkat dua puluh besar PLTU paling berisiko bagi lingkungan dan kesehatan.
Dampak Kesehatan dari PLTU
Berdasarkan laporan Toxic Twenty, emisi dari 20 PLTU di Indonesia berpotensi menyebabkan 156.000 kematian dini kumulatif akibat paparan partikel halus (PM2.5), sulfur dioksida (SO₂), dan nitrogen dioksida (NOx). Zat-zat itu bisa menembus hingga ke aliran darah, memicu penyakit jantung, paru-paru, hingga komplikasi kehamilan. Dampak kesehatan yang bisa terjadi antara lain kelahiran prematur, asma anak, stroke, dan disabilitas akibat penyakit kronis.
“Partikel halus PM2.5 bisa bertahan di udara hingga dua minggu dan terbawa angin sejauh ratusan kilometer,” ujar Novita. “Polusi yang dihasilkan di Cilacap bisa dihirup di Yogyakarta. Ini bukan persoalan lokal, tapi lintas wilayah.”
Contohnya yang dialami oleh Darna, warga Nagan Raya, Aceh, yang harus pindah akibat udara tempat tinggalnya sudah tak layak hirup. “Anak-anak sering batuk, kulit gatal, dan hasil pertanian menurun,” kata Darna.
Selain itu, emisi PLTU batubara akan meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah dan prematur, yang dapat mempengaruhi kesehatan jangka panjang. Antara 2026 hingga 2050, polusi dari 20 PLTU ini diperkirakan menyebabkan 63.000 kelahiran bayi berat badan rendah dan 42.000 kelahiran prematur.
Polusi udara juga memicu 141.000 kunjungan gawat darurat akibat asma, 84.000 kasus baru asma anak, serta menambah beban biaya dan hilangnya produktivitas orang tua. Selain gangguan pernapasan, emisi beracun ini berkontribusi pada penyakit kronis seperti PPOK, stroke, dan diabetes, dengan total hampir 200.000 tahun hidup disertai disabilitas (YLD).

Kerugian ekonomi yang tidak terlihat
Dampak PLTU juga berpengaruh kepada ekonomi rakyat yang tinggal di dekat PLTU. Menurut riset Toxic Twenty, 1,45 juta tenaga kerja diprediksi kehilangan mata pencaharian akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan 20 PLTU tersebut.
Dedy Susanto, nelayan asal Pangkalan Susu, Sumatra Utara, menyatakan bahwa mereka sudah tidak bisa melaut lagi karena sudah tercemar. “Air bahang dari PLTU membunuh ikan-ikan. Sekarang saya kerja serabutan jadi buruh bangunan. Kami ingin PLTU ditutup karena itu membunuh masyarakat,” tegas Dedy.
Ahmad Yani dari desa Mekarsari, Indramayu menceritakan pengalaman hidup berdampingan dengan PLTU membuatnya kehilangan penghasilan. “Dulu di sekitar rumah banyak pohon kelapa, sekarang sudah tidak ada yang tumbuh,” katanya. Udara makin berat dihirup, dan lahan pertanian yang dulu mudah diolah kini sulit menghasilkan.
Sementara, Novi, warga Winong, Cilacap, mengatakan warga akhirnya menjual rumah mereka kepada pihak PLTU karena tidak punya pilihan lain. “Kalau dulu kami masih bisa melaut, sekarang TPI ditutup, pantai terkikis abrasi, dan rumah banyak yang tenggelam,” ujar Novi menambahkan banyak warga terserang batuk dan sesak napas.
Berdasarkan Toxic Twenty, kerugian kumulatif akibat hilangnya produktivitas dan biaya kesehatan diperkirakan mencapai 109 miliar dolar (sekitar Rp1.813 triliun) sepanjang 2026–2050.
“Mayoritas adalah pekerja di sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan,” ujar Atina Rizqiana, peneliti CELIOS. “Sektor-sektor yang selama ini menopang ekonomi masyarakat di pesisir dan pedesaan justru paling terdampak.”
Kerugian ekonomi per tahun diperkirakan mencapai Rp52,4 triliun dalam output nasional dan Rp48,4 triliun dari pendapatan masyarakat. Selain itu, negara berpotensi kehilangan Rp1,25 triliun dari penerimaan pajak setiap tahunnya.
Tutup segera PLTU berbahaya
Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan terkait transisi energi, yaitu Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 hingga Peraturan Menteri ESDM tentang Peta Jalan Transisi Energi. Namun, menurut para peneliti, kebijakan tersebut masih lemah dan tidak memaksa. Pemensiunan dini PLTU masih bersifat opsional, bergantung pada ketersediaan dana, bukan pada tanggung jawab iklim dan kesehatan.
“Pemensiunan dini PLTU masih bersifat opsional, bergantung pada ketersediaan pendanaan, bukan tanggung jawab iklim,” kata Katherine Hasan dari CREA. “Ini bukan hanya soal teknologi atau dana, tapi kemauan politik.”
Ia menegaskan selama pemerintah terus menunda pemensiunan PLTU, artinya negara juga sedang menunda penyelamatan ratusan ribu nyawa. “PLTU bukan hanya masalah energi, tapi ancaman terhadap kesehatan publik dan keadilan sosial,” ujarnya.
Atina Rizqiana dari CELIOS mengamini risiko ini. “Negara kita punya banyak PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia, dan ini masalah kita semua. Kalau pemerintah bisa tegas menetapkan jadwal pensiun, banyak nyawa bisa diselamatkan.”
“Kalau pemerintah melihat pemensiunan PLTU sebagai beban fiskal, itu pandangan yang keliru,” tambah Atina. “Justru dengan menutup PLTU, negara menghemat kerugian jangka panjang dan membuka peluang ekonomi hijau yang lebih sehat.”
Menurut Novita dari Trend Asia, pemensiunan PLTU seharusnya tidak dilihat sebagai kerugian fiskal. “Justru ini langkah untuk menyelamatkan ekonomi negara, karena setiap tahun kita kehilangan triliunan rupiah akibat dampak kesehatan dan produktivitas yang anjlok,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ia menilai masih minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan peta jalan. “Transisi energi yang adil tak bisa dijalankan tanpa keterlibatan masyarakat. Selama keputusan diambil di balik meja, warga yang hidup di sekitar PLTU akan terus menjadi korban tanpa suara,” jelasnya.
Editor : Fidelis Satriastanti

Discussion about this post