KBR, Bondowoso – Aroma tembakau menyeruak begitu saya masuk ke sebuah ruangan seluas 60 meter yang terletak di Desa Pakuniran, Bondowoso. Di dalamnya, suara khas alat linting rokok manual yang terbuat dari kayu, menggema diselingi obrolan para pekerjanya yang sesekali terkekeh. Meski begitu, mata mereka tak lepas dari alat linting rokok yang persis berada di hadapan mereka.
Sementara bangunan ini sendiri, beratap seng yang membuat hawa di dalam kian panas. Meski di sekeliling gedungnya terdapat jendela-jendela besar. Inilah pabrik rokok Gagak Hitam, sebuah perusahaan rokok lokal terbesar di eks-Karesidenan Besuki yang meliputi Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Lumajang.
Di sini, saya menemui Ani –bukan nama sebenarnya. Dara berusia 16 tahun ini adalah pekerja di pabrik rokok tersebut bersama ratusan pekerja lain. Saat saya menemaninya bekerja, Ani terlihat tak terganggu dengan aroma tembakau. Ia seperti sudah terbiasa menghirup baunya.
Dia lantas memamerkan keahliannya melinting tembakau. Di meja kerjanya, tumpukan tembakau sejajar dengan kertas sebagai pembungkus tergeletak bersama gunting dan lem kanji. Dengan lincah, tak sampai lima detik, satu batak rokok kretek berhasil ia tuntaskan. Pekerjaan ini, kata Ani, sudah ia lakoni dua tahun belakangan. Sampai jemari tangannya menghitam diasah tembakau.
Sekira pukul 11.00 WIB, suasana yang tadinya tenang tiba-tiba riuh. Rupanya, itu adalah waktu istirahat para pekerja. Waktu demikian biasanya dipakai untuk makan siang sembari meregangkan badan yang seharian terpaku pada posisi duduk.
Ani bersama pekerja lain keluar pabrik. Sementara saya menunggu kabar Ani untuk wawancara. Sebab selama di dalam pabrik, saya tak diperbolehkan merekam. Penjaga begitu ketat mengawasi.
Selengkapnya, baca: Industri Rokok Bertarung, Anak Mati di Tengah-tengah
Sumber: KBR
Penulis: Friska
Discussion about this post