Jakarta, Prohealth.id – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) daerah di seluruh Indonesia menyatakan desakan kepada Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengesahkan revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif guna melindungi masyarakat konsumen Indonesia.
Sebagai lembaga yang peduli pada perlindungan konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) daerah di seluruh Indonesia pada tanggal 4 Juli 2021 telah menyampaikan surat desakan kepada Presiden RI Joko Widodo untuk segera merevisi PP 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Tulus Abadi, Ketua YLKI menegaskan, urgensi untuk merevisi PP 109/2012 tersebut didorong keprihatinan tentang perlunya perbaikan baik dari sisi substansi maupun implementasinya.
“Ada sejumlah poin dalam PP 109/2012 yang sudah tidak mengakomodir dinamika permasalahan produk tembakau/rokok yang berkembang saat ini,” kata Tulus,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima Prohealth, Rabu (7/7/2021).
Tulus menyebutkan ada empat permasalahan yang perlu segera mendapat perbaikan dan hanya bisa diselesaikan lewat revisi PP 109/2012.
Pertama, persoalan rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan telah menjadi fenomena di kalangan remaja dan anak muda. Saat ini industri rokok multi nasional getol mengampanyekan rokok elektronik sebagai rokok yang aman, lebih aman dari pada rokok konvensional. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat prevalensi rokok elektronik terus meningkat dimana saat ini mencapai 10,1 persen. Adapun yang menjadi kekhawatiran, permasalahan rokok elektronik ini belum diatur di regulasi manapun, sehingga sangat memungkinkan untuk diatur dalam PP 109 Tahun 2012.
Kedua, persoalan iklan rokok di ranah media digital yang sangat marak. Walaupun konten dari iklan tersebut tidak menampilkan rokok atau bungkus rokok atau orang merokok, tetapi dari sisi waktu tayangnya tidak ada pembatasan. Sehingga anak dan remaja sebagai konsumen utama media digital akan sangat mudah untuk terpapar iklan rokok digital tersebut. Persoalan iklan rokok di media digital sangat memungkinkan untuk diatur dalam PP 109/2012
Ketiga, PP 109/2012 hanya mengatur besar peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (PHW) sebesar 40 persen pada bungkus, bagian belakang dan bagian depan. Namun fakta di lapangan PHW banyak tertutup oleh pita cukai, sehingga pesan bahaya rokok kepada konsumen tidak tercapai. Selain itu, besaran PHW di Indonesia terlalu kecil dibanding standar internasional, yang rata rata sudah mencapai 80-90 persen (plain packaging) dari bungkus rokok.
Keempat, PP 109/2012 memandatkan bahwa pemerintah daerah wajib membuat regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok atau KTR, tetapi faktanya sampai saat ini baru 52 persen Pemerintah Daerah mempunyai regulasi tentang KTR. Belum lagi soal kepatuhan yang rendah, yang disebabkan konstruksi hukum yang lemah, karena level peraturan baru sebatas Peraturan Bupati atau peraturan Walikota. Persoalan KTR ini perlu diperkuat dalam PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat adiktif.
Tulus menegaskan, berdasarkan empat poin permasalahan diatas, YLKI Bersama LPKSM mendesak pemerintah untuk segera merevisi PP 109 Tahun 2012 untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kepentingan masyarakat konsumen Indonesia.
“Hal ini selaras dengan rencana pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, di mana disebutkan itikad Pemerintah untuk menaikkan cukai tembakau dan rokok, serta menyelenggarakan berbagai program guna menurunkan prevalensi merokok di kalangan remaja dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen,” pungkas Tulus.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post