Jakarta, Prohealth.id – Pada 9 hari pertama bulan Juli 2021 sampai 14.00 WIB, LaporCovid-19 mencatat setidaknya 86 tenaga kesehatan yang berpulang akibat Covid-19.
Berdasarkan total jumlah kematian tenaga kesehatan yang tercatat oleh LaporCovid-19 per 9 Juli sampai 14.00 WIB ada 1.183 tenaga kesehatan. Dalam konferensi pers bersama dengan organisasi profesi, LaporCovid-19 menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap nakes diperlukan, karena sudah banyak yang terpapar Covid-19. Hal ini dapat diimplementasikan dengan zonasi fasilitas kesehatan, sistem shift, pasokan APD, suplemen dan vitamin kepada tenaga kesehatan.
Dalam konferensi pers tersebut, dr. Adib Khumaidi, Sp.OT, Ketua Tim Mitigasi Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), mengatakan bahwa per 8 Juli 2021 terdapat 458 dokter yang meninggal akibat Covid-19.
“Di bulan Juni 2021 kenaikan kematian dokter meningkat 7 kali lipat di dibandingkan bulan Mei 2021, dengan di bulan Juli saja sudah tercatat 35 dokter meninggal.”
Selain itu dr. Adib Khumaidi, Sp.OT juga menjelaskan bahwa banyak dokter yang terpapar di tengah ledakan kasus.
“Banyak nakes yang terpapar dan ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah, terutama di wilayah Jawa Timur. 124 dokter yang sakit di Surabaya, beberapa kritis dan bahkan meninggal. Di Yogyakarta, 167 dokter terpapar, dengan beberapa juga meninggal. Hal ini mempengaruhi layanan kesehatan yang dapat diberikan kepada warga di lapangan,” terangnya.
Melihat kondisi ini, dr. Adib Khumaidi mengatakan bahwa kondisi ini adalah functional collapse. Pasalnya, kebutuhan masyarakat sangat tinggi alias flow pasien yang terus mengalir, namun banyak dokter yang sudah sakit, sehingga jika tidak ada intervensi di hulu, maka akan terus memberikan risiko
kepada nakes. Demi perlindungan dan keamanan di fasilitas kesehatan, diperlukan zonasi di fasilitas kesehatan dan triase pre-RS.
“Harus ada fasilitas khusus Covid-19 saja, selain itu harus ada upaya pemberdayaan nakes dengan sistem shifts dan memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan masyarakat,” sambungnya.
Mengenai vaksinasi kepada dokter namun kematian masih tinggi, dr. Adib menjelaskan bahwa pada 86 dokter yang meninggal dari Februari hingga 24 Juni 2021, dengan mereka yang menerima vaksin lengkap 17 orang, vaksin 1 dosis 4 orang.
“Ada sekitar 41 persen yang belum divaksin, dengan alasan faktor komorbid atau sedang sakit, namun kami masih telusuri” tuturnya.
Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dr. Emi Nurjasmi, M.Kes mengatakan bahwa total bidan meninggal sejumlah 208, dan 39 bidan meninggal per 8 Juli 2021.
“Permasalahan untuk bidan adalah ketika ibu hamil positif tidak dapat dirujuk RS, maka pasien harus ditangani oleh bidan, padahal risiko sudah tinggi terutama karena fasilitas untuk Covid-19 belum memadai khususnya untuk klinik mandiri. Bahkan karena banyaknya pasien, bidang yang sedang isolasi mandiri juga harus masuk.” tutur dr. Emi/
Tak hanya itu, dr. Emi Nurjasmi menyatakan kematian nakes mungkin juga dikontribusikan oleh banyaknya bidan yang dilibatkan sebagai vaksinator tanpa APD yang lengkap. Keterpaparan yang meningkat juga menyumbang pada kematian di kalangan bidan.
“Padahal seluruh bidan sudah divaksin,” pungkasnya.
Harif Fadhilah, S.Kp, SH, M.Kep, MH, selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengatakan bahwa tekanan yang dipikul oleh perawat sangat besar.
“Dengan kasus yang meningkat, dan jumlah perawat yang berkurang, maka beban fisik dan mental juga bertambah. Dalam satu minggu, perawat bahkan mengalami mengalami kekerasan fisik saat pelayanannya,” tegasnya.
Harif juga menyoroti beban ganda yang dipikul oleh perawat di puskesmas. Dia memerinci, para perawat harus melakukan vaksinasi, dengan target vaksinasi yang tinggi, belum lagi tugas-tugas lainnya.
Harif juga fokus pada perlindungan yang sangat rendah bagi perawat, seperti permasalahan pada insentif dan juga fasilitas kesehatan bagi perawat yang terpapar.
“Perlindungan bagi perawat perlu dijamin sedemikian rupa. Vaccination booster mungkin juga perlu diusulkan, tentunya setelah mendapat persetujuan ilmiah dan kajian studi,” tuturnya.
Selaras dengan Harif Fadhillah, S.Kp. SH, M.Kep, MH, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih, S.Kp., M.Kes, perwakilan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PPNI Jawa Timur, memohon perlindungan bagi nakes.
“Perawat 24 jam bersama pasien, sehingga diperlukan tenaga tambahan. Karena, kami bisa melihat antrian di IGD hingga 40-50 pasien”. Hal ini dikarenakan Jawa Timur menyumbang kematian perawat tertinggI. Dari 373 perawat gugur, 140 nya adalah dari perawat dari Jawa Timur, dengan 22 kematian pada bulan Juli 2021,” tuturnya.
Namun, Dr. A.V. Sri Suhardiningsih juga menyoroti sulitnya mendapatkan tenaga tambahan. Pasalnya insentif yang sulit dicairkan membuat relawan enggan menjadi tenaga tambahan.
Dr. A.V. juga mencatat bahwa penambahan relawan tidak cukup apabila penanganan pada hulu tidak berjalan, sehingga pelaksanaan PPKM darurat harus dilakukan ketat, termasuk pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat oleh warga.
Menutup konferensi pers, dr. Aldila S. Al Arfah, dari Muhammadiyah Covid-19 Command Centre, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki manajemen komunikasi publik dan transparansi komunikasi.
“Komunikasi yang ditujukan bukan untuk menenangkan, namun untuk menstimulus sense of crisis agar fokus kita pada Covid-19. Kami berharap kehadiran pemimpin untuk bertanggung jawab dalam hal komunikasi sehingga transparansi keadaan pandemic Covid-19 tercapai,” ujar dr. Aldila.
Hal berikutnya, dr. Aldila juga menyoroti soal insentif agar segera dicairkan. Dia menyebut, jika ada masalah kesulitan finansial, perlu diadakan regulasi ulang. Selain itu, dr. Aldila juga menyarankan agar Mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa – Bali juga perlu dilaksanakan agar nakes tidak kelelahan.
“Mengatur supply serta harga gas oksigen dan obat juga menjadi masalah yang perlu harus diatasi. Pemerintah perlu hadir untuk memastikan ketersediaan stok ini,” sambungnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post