Jakarta, Prohealth.id – Kenaikan tarif cukai dianggap paling efektif untuk mendukung strategi pengendalian tembakau.
“Cukai dikenakan bukan untuk meningkatkan penerimaan negara, tapi untuk mengurangi konsumsi rokok,” kata Abdillah Ahsan, selaku dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia saat seminar daring bertema Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi Indonesia, Kamis (12/8/2021).
Abdillah menjelaskan, cukai rokok bukan untuk meningkatkan penerimaan negara. “Kalau peningkatan tarif cukai, kemudian menghasilkan penerimaan negara itu adalah ekses,” ujarnya.
Meski tarif cukai selalu ada kenaikan, tapi prevalensi orang merokok masih stagnan. “Selama 11 tahun, stagnan 34 persen. Kita harus berkaca dari (persentase) ini,” katanya.
Dia pun merujuk data Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan prevalensi orang merokok sejak 2007 hingga 2018. Tahun 2020, berdasarkan data Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), konsumsi rokok per-hari rata-rata 12 batang. Kemudahan mendapat rokok pun mendorong bertumbuhnya prevalensi anak-anak perokok, karena harga eceran kisaran 1.500 per-batang, menurut data Yayasan Lentera Anak pada 2018.
Estro Darianto Sihaloho, peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjajaran merujuk data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Badan Pusat Statistik (BPS) yang menampilkan jumlah perokok Indonesia yang sangat besar.
“Jumlah perokok di Indonesia tahun 2019 sebesar 57.029.772 orang,” ungkap Estro.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman memandang soal konsumsi rokok tak bisa hanya dipandang dalam pasar domestik saja. “Namun sebetulnya yang sudah terjadi adalah hasil tembakau ini sudah ekspor cukup besar,” ujarnya.
Menurut dia, kebutuhan ekspor karena rokok produksi Indonesia disukai di luar negeri, salah satunya Jepang. Sedangkan perbincangan domestik soal rokok berkutat pembatasan konsumsi. “Ke depan didorong (konsumsinya) ke ekspor,” kata Atong.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post