Jakarta, Prohealth.id – Tarif cukai rokok diharapkan naik karena penerimaan negara juga bisa terungkit dari cukai tersebut.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) mengamati beberapa dampak jika peningkatan cukai rokok dibarengi kenaikan harga jual eceran minimum. Kebijakan yang membuat harga rokok mahal makin tidak terjangkau dibeli oleh masyarakat.
“Ini terutama oleh anak-anak dan masyarakat pra-sejahtera,” kata peneliti PKJS UI, Renny Nurhasana kepada Prohealth.id, Senin (16/8/2021).
Penyederhanaan strata tarif cukai hasil tembakau akan makin menekan konsumsi rokok. “Mereka yang biasanya merokok diharapkan akan mengurangi, bahkan berhenti,” ujarnya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi perokok usia lebih dari 15 tahun sebesar 33,8 persen. Perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun juga meningkat, pada 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen tahun 2018.
Merujuk data tersebut, Renny mengatakan kenaikan tarif cukai rokok sangat penting. “Sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, target pemerintah menurunkan prevalensi anak-anak perokok menjadi 8,7 persen,” katanya. Adapun sebelumnya, target tidak tercapai untuk menurunkan prevalensi anak-anak perokok sebesar 5,4 persen dalam RPJMN 2019.
Data studi yang dihimpun PKJS UI, menunjukkan struktur tarif cukai hasil tembakau yang berlapis-lapis (multilayer) kurang efektif mengurangi konsumsi tembakau. Bahkan bisa meningkatkan prevalensi perokok aktif. Berdasarkan penelitian itu, bahwa berbagai negara yang menerapkan tarif secara berlapis-lapis, penerapan harga rokok di pasaran cenderung lebih rendah.
“Dibandingkan dengan struktur tarif cukai hasil tembakau yang lebih sederhana,” kata Renny. Ia menambahkan, struktur tarif yang kompleks akan meningkatkan kecenderungan konsumen rokok untuk beralih merek yang harganya lebih murah.
“Kami minta jangan memudahkan jualan rokok dengan harga murah di Indonesia,” kata Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany. Dia menilai, jika negara ingin mengambil keuntungan dari perniagaan rokok, maka bisa mengirimkan barang dagangan tersebut ke luar negeri.
“Kalau mau rokok untuk diekspor silakan,” ujarnya.
Menurut dia, penting kenaikan tarif cukai supaya harga rokok makin mahal di Indonesia. “Itu sangat urgensi, mendesak, perlu dinaikkan lebih tinggi,” katanya.
Dia pun merujuk perbandingan produksi rokok sejak tahun 2007 hingga 2020. Pada 2007, produksi rokok sejumlah 231 miliar batang. Pada 2020, produksi rokok sekitar 300 miliar batang. Hasbullah mengatakan, data tersebut menimbulkan pertanyaan, tarif cukai mengalami kenaikan, tapi produksi juga ada peningkatan.
“Kenapa? Cukai belum berfungsi tujuannya mengendalikan konsumsi,” katanya. Sebab itulah, menurut dia, tarif cukai sampai sekarang tidak cukup tinggi.
KENAIKAN CUKAI PENGARUHI PENERIMAAN NEGARA KENAPA DITOLAK?
Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Imaninar mengakui cukai merupakan penyumbang terbesar ketiga terhadap penerimaan pajak negara. Kontribusi terbesar penerimaan cukai berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan rata-rata kontribusi sebesar 11 persen terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 meskipun laju pertumbuhan industri pengolahan tembakau mengalami keterpurukan, namun kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13 persen.
“Kenaikan kontribusi cukai tersebut tak lain akibat menurunnya penerimaan negara yang berasal dari pajak. Hal ini menunjukkan bahwa cukai – yang didominasi oleh CHT – menjadi penyelamat ekonomi nasional di masa pandemi,” ujar Imaninar melalui siaran pers.
Dia pun menyikapi rencana simplifikasi pada struktur CHT yang juga didorong sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan negara dari CHT. Imaninar mengusulkan simplifikasi CHT tidak terburu-buru dilakukan. Dia beralasan, saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya. Pemerintah hendaknya tidak menekan IHT dengan terus menaikkan tarif cukai.
Menurut Imaninar, konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif setiap tahun tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT, tetapi juga memicu maraknya peredaran rokok ilegal. Hal itu justru menjadi bumerang bagi penerimaan pemerintah.
Imaninar berpendapat, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai pemerintah perlu mempertimbangkan aspek lain, misalnya meningkatkan tax base atau barang barang lain yang kena cukai.
Di lain pihak Abdillah Ahsan selaku Direktur SDM Universitas Indonesia dan Peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI mengatakan industri rokok seharusnya tidak perlu dikasihani karena sebenarnya industri rokok tidak mengalami kerugian selama pandemi maupun saat tidak pandemi.
Terbukti dari informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat (AS) mengantongi pendapatan Rp47,2 triliun di semester I/2021. Nilainya naik 6,5 persen ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya.
Begitu juga dengan Perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9 persen menjadi Rp60,6 triliun. Kalau dibandingkan, pendapatan perusahaan rokok ini jauh dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari provinsi mana pun, termasuk Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki PAD Rp37,41 triliun.
“Tahun 2019 tidak ada kenaikan cukai tembakau. Alhasil prevalensi perokok naik sampai 7,3 persen. Makanya cukai ini terbukti adalah cara mengendalikan konsumsi rokok,” tuturnya.
Asal tahu saja, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.840,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Target tersebut meningkat 6,05 persen dibandingkan pada outlook APBN 2021 yang sebesar Rp 1.735,7 triliun.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post