Jakarta, Prohealth.id – Beban ekonomi yang tinggi akibat COVID-19 masih ditambah beban ekonomi dari jaminan kesehatan akibat penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Menurut Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, selain pandemi COVID-19, Indonesia masih belum keluar dari jerat pandemi asap rokok. Dia menilai ini adalah sebuah alarm agar pemerintah dan masyarakat harus berani mengikuti kebijakan yang merongrong kesehatan dan ekonomi.
“Pada pandemi asap rokok, efeknya perlahan tidak seperti pandemi COVID-19 yang cepat. Makanya banyak orang yang belum sadar dengan pandemi rokok,” kata Hasbullah, Senin (31/5/2021).
Dia menegaskan pada pandemi COVID-19 semua orang berkomitmen menyelesaikan masalah ini. Namun tidak dengan pengendalian pandemi rokok, karena ada sebagian pihak yang mendulang untung dari industri rokok. Ada sekitar Rp500 triliun belanja rokok untuk konsumsi dengan perkiraan 320 sampai 350 batang per tahun. Kondisi kian runyam karena Badan Pusat Statistik mengafirmasi tahun ini belanja rokok semakin tinggi melampaui belanja beras.
“Maka pandemi rokok jadi masalah kesehatan masyarakat yang jauh lebih berat dari COVID-19, dan angka kematiannya empat kali lebih banyak dari pandemi COVID-19,” pungkasnya.
Hasbullah mengimbau Presiden Joko Widodo untuk lebih tegas menekan beban ekonomi sebagai dampak dari masalah kesehatan ini dengan kebijakan yang tepat sasaran.
Sementara itu menurut Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia, Esti Nurjadin sekitar 15 persen angka kematian di dunia diakibatkan oleh rokok. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak dan angka kematian kardiovaskular tertinggi. Nikotin pun dapat meningkatkan tekanan darah, mempersempit pembuluh darah dan dinding pembuluh darah sehingga mempercepat penyakit kardiovaskular.
“Marketing yang tinggi dari industri rokok membuat angka kematian semakin tinggi khususnya di negara berkembang seperti Indonesia,” ujarnya.
Esti juga menegaskan pemerintah perlu mengambil sikap tegas terhadap kampanye rokok elektrik. Apalagi saat ini Indonesia punya masalah dengan gaya hidup tak sehat khususnya pada generasi muda. Dia menilai ada stigma keren dengan merokok. Padahal, kebiasaan ini akan membawa risiko masalah kesehatan jantung di masa depan.
“Kami mengajak pemerintah melakukan pendekatan kebijakan untuk mengurangi konsumsi rokok dengan monitor konsumsi rokok, melindungi orang dari asap rokok, memberikan bantuan untuk orang mau berhenti rokok, memberi peringatan bahaya rokok, menerapkan larangan iklan dan promosi maupun sponsorship rokok, serta menaikkan cukai rokok,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post