Jakarta, Prohealth.id – Kesehatan mental dan jiwa dari aktivis sangat penting terutama untuk menjaga vitalitas tubuh dan meningkatkan produktivitas kerja.
Menurut Benny Prawira Siauw, Founder dari IntoTheLight, ada tantangan internal dan eksternal yang dihadapi aktivis sehingga mudah mempengaruhi kesehatan mentalnya.
Tantangan internal antara lain; kesulitan ambil Batasan antara aktivisme dan waktu pribadi, terutama jika aktivisme didorong motivasi pengalaman pribadi. Kedua, adalah terbiasa mendengar kabar buruk. Ketiga, berhadapan dan merespon perdebatan isu di media sosial. Selain itu, aktivis kerap mengalami stres sebagai bagian kelompok marjinal.
Adapun tantangan eksternal yang menyebabkan masalah kesehatan mental meliputi; masalah dana untuk pelaksanaan program. Masalah budaya yang glorifikasi keberanian untuk berkorban dan selflessness. Kedua, budaya dedikasi berlebihan dan pengorbanan. Ketiga, kesulitan mengatur waktu manajerial terutama di masa krisis.
Apa saja masalah kesehatan yang akhirnya menimpa aktivis? Dalam peluncuran dokumen Panduan Perlindungan dan Kesehatan Mental Aktivis Pengendalian Tembakau (PPKM), Benny menjabarkan setidaknya ada empat masalah kesehatan mental aktivis. Sebut saja; ketidakseimbangan work-life balance, strategi coping yang maladiptif, gangguan tidur insomnia, depresi, cemas, dan PTSD, mengalami compassion fatigue yakni burnout dan secondary trauma.
Untuk mengatasi hal itu, Benny menganjurkan metode welas asih. Metode ini adalah cara penyadaran diri aktivis agar tidak hanya memberikan rasa kasih bagi sesama dalam pekerjaan, tetapi juga rasa kasih terhadap dirinya sendiri.
Lebih lanjut, Benny menerangkan, eelas asih tidak sekadar lemah lembut dan menenangkan, tetapi dia juga tangguh dan berani untuk mengubah.
“Welas asih kepada sosok yang lain dapat melindungi dari stress. Namun, jika tidak diiringi praktik rawat diri dan diseimbangi dengan aliran welas asih lainnya, akan jadi bermasalah,” tegasnya, Jumat (15/10/2021) lalu.
Welas asih tidak sekadar alami empathic distress tapi harus mampu berdampingan dengan perasaan tidak nyaman, untuk hadir meredakan penderitaan orang lain.
Benny menjabarkan, perlu ada upaya penjagaan kesehatan jiwa aktivis khususnya pengendalian tembakau melalui peningkatan penerimaan welas asih dari orang lain. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan adalah; memiliki lingkungan yang suportif dan menerima dirinya, memiliki rekan kerja yang tidak terus mengkritisi secara destruktif, serta mengurangi stres dan meningkatkan kebahagiaan.
Lantas, bagaimana cara meningkatkan welas asih bagi aktivis? Benny menuturkan, penting agar aktivis tidak lupa fokus ke diri di saat memikirkan kondisi kepentingan lebih banyak orang. Selain itu, penting agar berani membuka kerentanan diri dan berdamai dengan kenyataan bahwa ia pun juga butuh dibantu.
“Aktivis juga perlu meningkatkan resiliensi, citra diri, dan optimisme serta mengurangi cemas, depresi, kelelahan dan stres,” ujarnya.
Guna mewujudkan welas asih yang berkesinambungan dan keamanan mental aktivis, Benny mengingatkan agar para aktivis pengendalian tembakau rajin melakukan aktivitas fisik. Lalu melakukan safe relating. “Maksudnya adalah stay in touch with supportive people, stay away from toxic people,” kata Benny.
Penting pula aktivis mengatur makan dan tidur dengan baik, membiasakan diri dengan self compassion dan mindfulness. “Aktivis harus belajar memisahkan pembicaraan pribadi dan aktivisme dengan rekan kerja,” tegasnya.
Daniel Beltsazar dari Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) menyatakan, ada banyak kerentanan yang dialami aktivis pengendalian tembakau terutama di ranah digital. Sebut saja misalnya; peretasan, ancaman keamanan fisik, kasus hukum, perundungan, teror, hingga diskriminasi terhadap rekan disabilitas.
Oleh karena itu, dokumen PPKM yang dirumuskan oleh IYCTC mencantumkan pentingnya memberikan informasi bantuan hukum, jika para aktivis mengalami ancaman hingga kekerasan. Upaya ini penting untuk menjamin keselamatan aktivis sekaligus memberikan sarana rehabilitasi jika mengalami masalah kesehatan mental.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post