Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan dalam merumuskan naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru penting untuk melibatkan masyarakat sipil, terutama kelompok paling terdampak. Hal ini mengingat CISDI menemukan beberapa persoalan dari proses riset mandiri dan referensi studi.
Pertama, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) anak dan remaja berisiko terabaikan. Dalam naskah terbaru, RKUHP akan memberlakukan ketentuan sanksi pidana terhadap pemberi informasi alat kontrasepsi pada anak yang merupakan salah satu metode edukasi dan promosi kesehatan seksual dan reproduksi, tepatnya pada pasal 412 dan 414.
“Memberlakukan pasal ini akan kontradiktif terhadap UU Kesehatan yang telah menjamin hak universal, termasuk hak anak–yang mencakup usia remaja sesuai UU Perlindungan Anak–untuk memperoleh informasi dan konseling terkait kesehatan seksual dan reproduksi,” ujar Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI dalam Live Twitter Space beberapa hari yang lalu.
Selain itu, revisi terbaru naskah RKUHP mengatur bahwa subjek yang diperbolehkan melakukan promosi kesehatan reproduksi terbatas pada petugas berwenang dan/atau relawan yang ditunjuk langsung pejabat berwenang. Olivia menilai poin tersebut berpotensi membatasi metode edukasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi pada anak dan remaja.
Riset Harianti (2021) menunjukkan edukasi teman sebaya dan komunitas terbukti lebih efektif membangun pemahaman kesehatan seksual dan reproduksi pada anak dan remaja. Sementara Mueller, Gavin & Kulkarni (2008) menyebut usia anak dan remaja merupakan periode penting untuk mendapat promosi kesehatan seksual dan reproduksi, dikarenakan tingginya risiko anak dan remaja terlibat dalam perilaku seks berisiko yang berpotensi mengarah pada kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual. Terbatasnya akses layanan kesehatan reproduksi dapat berkontribusi pada kenaikan kehamilan remaja dan kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, penyakit menular seksual, hingga HIV (UNFPA, UNESCO and WHO, 2015).
Kedua, tidak cukup bukti bahwa kriminalisasi perilaku seksual individu yang bersifat privat berkorelasi dengan menurunnya perilaku seks berisiko pada remaja, namun justru bisa memicu pernikahan dini. Studi Kumar (2014) terhadap tiga negara di Asia Selatan, yakni Bangladesh, Nepal, dan Pakistan, menunjukkan pemidanaan perilaku seksual berisiko justru mendorong keinginan orang tua untuk menikahkan anaknya sedini mungkin untuk menghindari stigma sosial dan ancaman pidana.
Hal tersebut selaras dengan temuan riset Stephanie Psaki et al (2021) melalui metode comparative case study di beberapa negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, ketakutan orang tua terhadap nama baik keluarga, keperawanan anak, dan kehamilan di luar nikah merupakan beberapa faktor pendorong utama maraknya perkawinan anak. Dalam konteks RKUHP, Pasal 415 dan 416 naskah terbaru RKUHP justru memasukkan ketentuan delik aduan orang tua yang berpotensi menambah kerentanan anak pada terjadinya pernikahan anak.
“Tanpa pasal tersebut saja, catatan Komnas Perempuan (2022) menyebut terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat pengajuan dispensasi perkawinan anak oleh orang tua yang dikabulkan pengadilan agama sepanjang 2019 ke 2020, dari 23.126 pengajuan pada 2019 meningkat menjadi 64.211 pengajuan pada 2020,” tutur Olivia.
Sebagai gambaran, data Susenas 2017 menunjukkan persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun dan usia hamil pertamanya sebelum usia 18 tahun ada sebanyak 63,08 persen. Artinya, hampir 2 dari 3 perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun hamil pertama kali juga di bawah usia 18 tahun.
Oleh karena itu, negara harusnya memperkuat edukasi promotif dan memastikan akses ke layanan kesehatan seksual reproduksi, alih-alih berfokus pada kriminalisasi yang dalam beberapa riset justru tidak berkorelasi dengan penurunan perilaku seks berisiko.
Minimnya perspektif kesehatan dan gender dalam RKUHP dikarenakan proses penyusunan RKUHP yang terburu-buru dan minim pelibatan kelompok yang paling terdampak secara bermakna. Apalagi keberadaan pasal-pasal yang berpotensi membatasi ruang partisipasi dan kebebasan berpendapat, seperti pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 351 dan 352 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum, hingga pasal 263 dan 264 tentang penyebaran berita bohong, dikhawatirkan akan semakin meminimalisir pelibatan publik yang bermakna, terutama dari masyarakat maupun kelompok rentan yang paling terdampak atas kehadiran RKUHP.
“Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, rancangan RKUHP berpotensi tidak memuat perspektif masyarakat sipil–termasuk kesehatan, dan gender–dan tidak merepresentasikan kebutuhan publik sebagai pihak yang terdampak atas kebijakan tersebut,” Olivia menutup.
Berdasarkan catatan ini, CISDI mendesak pemerintah untuk:
- Melibatkan masyarakat sipil, terutama kelompok rentan yang paling terdampak, secara bermakna dalam proses perancangan RKUHP, untuk memastikan masuknya perspektif hak kesehatan dan kesetaraan gender,
- Memasukkan perspektif kesehatan, gender, dan kelompok rentan dalam proses penyusunan RKUHP,
- Memastikan tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya, terutama dalam upaya memenuhi hak kesehatan reproduksi dan seksual, sebagaimana diamanatkan ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW),
- Menjamin akses terhadap pemenuhan hak universal layanan dan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, utamanya pada kelompok anak dan remaja, alih-alih mengancam promosi kesehatan seksual dan reproduksi serta perilaku seksual individu di luar nikah dengan pasal pidana.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post