Selama upaya penanganan pandemi Covid-19, Indonesia menerapkan kebijakan gas dan rem untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan dan perekonomian.
Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan, per 27 Desember 2022 kasus harian Covid-19 di Indonesia sebesar 1,7 kasus per 1 juta penduduk. Selain itu, positivity rate Covid-19 mingguan berada di angka 3,3 persen, bed occupancy rate (BOR) 4,79 persen, dan angka kematian sebesar 2,39 persen.
Langkah pencabutan PPKM ini bisa menjadi bumerang bagi sektor kesehatan pada tahun 2023, jika pemerintah tidak menyiapkan upaya mitigasi yang baik. Apalagi beberapa negara diketahui masih menghadapi ancaman lonjakan kasus Covid-19 seperti Cina, Jepang, Brazil, Amerika, dan Korea Selatan. Ke depannya pemerintah harus tetap fokus untuk meningkatkan jumlah vaksin booster dan testing sehingga bisa meminimalisir potensi lonjakan kasus akibat masuknya varian baru ke Indonesia.
Tidak berlakunya PPKM pada tahun 2023 secara otomatis berdampak pada alokasi anggaran penanganan Covid-19. Pada tahun 2022 lalu, Kementerian Kesehatan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp79 triliun. Dana terbesar tersalur bagi peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) yakni Rp32 triliun bagi 95,2 juta jiwa dan penggantian klaim pelayanan pasien Covid-19 Rp24,5 triliun.
Sedangkan, APBN Kementerian Kesehatan tahun 2023 mencapai Rp85,5 triliun. Di dalamnya termasuk anggaran untuk pembayaran iuran JKN bagi 96,8 juta jiwa peserta PBI sebesar Rp46,5 triliun. Anggaran Kemenkes ini terbagi menjadi enam prioritas dan tidak lagi memasukkan penanganan pandemi Covid sebagai salah satu prioritas. Kementerian pimpinan Budi Gunadi ini fokus ke transformasi kesehatan seperti revitalisasi puskesmas dan posyandu serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia tenaga kesehatan.
Setelah tidak lagi membebani Kemenkes untuk pengutamaan penanganan Covid-19, Jokowi memberikan pekerjaan rumah tambahan untuk meningkatkan kualitas kesehatan publik pada tahun shio Kelinci Air ini.
Pemerintah berencana melarang penjualan rokok secara batangan mulai tahun 2023. Rencana tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 23 Desember 2022.
Dalam Keppres itu disebutkan, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Jokowi menegaskan, larangan penjualan rokok batangan dilakukan semata-mata untuk menjaga kesehatan masyarakat. Namun Kementerian Kesehatan sebagai pemrakarsa perubahan peraturan ini tampaknya punya target yang lebih jauh: menekan angka penjualan rokok terhadap kelompok anak dan remaja (usia 10-18 tahun) yang belakangan ini terus meningkat. Keterjangkauan rokok terhadap anak dan remaja juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Keppres 25/2022 tak hanya mengatur soal pelarangan penjualan rokok secara eceran. Pemerintah juga mengatur ihwal penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau. Berikutnya ada aturan tentang rokok elektronik, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi.
Penerbitan Keppres ini sebagai angin segar bagi upaya memperbaiki kualitas kesehatan publik. Tapi perlu keseriusan dari pemerintah untuk melakukan mitigasi dari upaya intervensi dan perilaku culas dari industri rokok beserta para jongosnya di eksekutif maupun legislatif yang berpotensi menjegal revisi PP 109/2012.
Sejarah pernah mencatat upaya manipulatif ketika ayat yang mengatur tembakau hilang dari Undang-undang tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR bersama pemerintah pada 2009. Ayat dalam pasal 113 yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib sebelum undang-undang ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam lembar negara di Sekretariat Negara.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post