Kamis (16/9/2021) menjadi hari bersejarah bagi kelompok masyarakat sipil Indonesia yang berhasil memenangkan gugatan kepada pemerintah yang dinilai tidak berhasil mengatasi pencemaran udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan pencemaran udara.
Sebelumnya, pada Juli 2019, 32 warga dengan kuasa hukum Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Turut tergugat dalam perkara tersebut adalah Gubernur Banten Wahidin Halim dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Para tergugat, kecuali Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam putusan pada Kamis (20/10/2022), Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan para tergugat telah lalai tidak menjalankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga kualitas udara di DKI Jakarta menjadi buruk. Akibatnya, timbul kerugian di pihak para penggugat dan masyarakat DKI Jakarta, antara lain penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara.
Tuntutan masyarakat atas udara bersih di Jakarta juga disalurkan melalui petisi daring yang dilakukan oleh komunitas Bicara Udara melalui platform change.org. Petisi tersebut diajukan kepada Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk segera mengesahkan Peraturan Gubernur tentang Udara Bersih. Hingga Kamis, (26/1/2023) pukul 09.30 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani 12.409 orang.
Dalam petisinya, Bicara Udara menyebut Jakarta selalu menempati peringkat lima besar kota terpolusi di dunia sejak Juni 2022 berdasarkan data IQ Air. Berdasarkan aplikasi Nafas, indikator kualitas udara juga berwarna merah, bahkan ada yang berwarna ungu yang menunjukan udara di Jakarta sangat tidak sehat.
Salah satu indikator kualitas udara adalah kadar PM2,5, yaitu zat partikulat dalam udara kotor yang berukuran lebih kecil dari2,5 mikron yang mudah masuk ke paru-paru dan aliran darah. Zat tersebut dapat menyebabkan penyakit paru, lambung, hipertensi, jantung, dan lain-lain; yang tidak hanya berdampak pada orang dewasa tetapi juga anak-anak hingga bayi di dalam kandungan.
Co-founder Bicara Udara Novita Natalia Kusumawardhani mengatakan isu pencemaran udara merupakan hal yang penting karena, mengutip penelitian dari Prof. Budi Haryanto dari Universitas Indonesia, 60 persen pencemaran udara berdampak pada kesehatan, 28 persen berdampak pada perubahan iklim, dan 12 persen berdampak pada hal-hal lainnya.
“Bahkan pencemaran udara berkontribusi besar terhadap kematian di dunia dan Indonesia. Pencemaran udara menempati peringkat ketiga di dunia sebagai penyebab kematian pada 2019, sedangkan di Indonesia menempati peringkat kelima,” katanya dalam Diskusi Publik Mengawal Pergub Udara Bersih Jakarta yang diadakan Change.org dan Bicara Udara secara daring, Rabu (25/1/2023).
Novita mengatakan pencemaran udara tidak hanya berdampak pada penyakit paru saja, tetapi juga berbagai penyakit kardiovaskular. Masyarakat yang tinggal di wilayah di perkotaan seperti Jakarta lebih berisiko terkena berbagai penyakit yang disebabkan pencemaran udara.
Pencemaran udara merupakan masalah hulu dari banyak masalah Kesehatan. Menurut Prof. Budi Haryanto, kata Novita, kenaikan 10 mikrogram PM2.5 di dalam udara terasosiasi dengan 5,7 persen kenaikan kasus pneumonia. Sedangkan kenaikan 10 mikrogram sulfur dioksida (SO2) terasosiasi dengan 6,7 persen kenaikan kasus pneumonia.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan Nafas Indonesia dan perusahaann telemedis besar pada 2022 menyatakan setiap kenaikan 10 mikrogram PM2,5 terasosiasi dengan 40 persen kenaikan konsultasi pasien di Jabodetabek. Pada Juni 2022, kenaikan PM2,5 drastis diikuti dengan lima kali lipat konsultasi kasus influenza dalam enam hingga 12 jam, tiga kali lipat konsultasi kasus rhinitis dalam 10 hingga 12 jam, tiga kali lipat konsultasi kasus asma dalam 12 jam, dan dua kali lipat konsultasi kasus bronchitis dalam 48 jam.
Pencemaran udara juga berdampak pada anggaran kesehatan negara. Dalam salah satu pemberitaan di media, Novita mengatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah menyebut memerlukan anggaran Rp60,8 triliun untuk mengatasi dampak kesehatan akibat pencemaran udara.
“Pencemaran udara juga menjadi isu penting bagi generasi milenial dan generasi Z. Hal itu terlihat dari peningkatan pencarian menggunakan kata kunci ‘polusi udara’ dan ‘penyakit polusi udara’ di mesin pencari Google. Pencemaran udara dianggap sebagai isu lingkungan yang harus diperbaiki,” tuturnya.
Peningkatan Pencemaran Udara
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusiono A. Supalal mengatakan peningkatan pencemaran udara memang selalu menjadi pemberitaan di media massa, termasuk saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi salah satu tergugat dalam gugatan warga negara ke pengadilan.
“Memang itu gambaran kualitas udara di Jakarta. Masih buruk. Peningkatan pencemaran udara di Jakarta terjadi pada bulan-bulan tertentu dan pada saat itu terjadi peningkatan pemberitaan tentang pencemaran udara. Itu adalah siklus tahunan,” kata Yusiono.
Yusiono mengatakan pencemaran udara di Jakarta biasanya meningkat pada saat musim kemarau. Udara yang kering menyebabkan perputaran udara dan debu, sehingga pencemaran udara juga meningkat. Hal itu juga terjadi di banyak negara tropis lainnya.
Berdasarkan data dari lima stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) di Jakarta, yaitu Stasiun Bundaran Hotel Indonesia, Stasiun Lubang Buaya, Stasiun Kelapa Gading, Stasiun Kebon Jeruk, dan Stasiun Jagakarsa; konsentrasi PM2,5 memang melebihi baku mutu tahunan. Namun, mengalami tren penurunan sepanjang 2019 hingga 2022
Indeks standar pencemar udara (ISPU) harian di Jakarta didominasi kategori “sedang”, tetapi jumlah hari dengan kategori “tidak sehat” masih di atas 100 hari dalam setiap tahun. Jumlah hari dengan kategori “tidak sehat” sempat mencapai 90 hari pada 2020, yang diduga karena pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemic Covid-19. Pada 2021 dan 2022, jumlah hari dengan kategori “tidak sehat” Kembali meningkat di atas 100, yaitu 139 hari dan 137 hari, setelah ada pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat.
Tentang sumber pencemar udara di Jakarta, Yusiono mengatakan didominasi oleh sektor industri dan sektor transportasi. Sektor industri mendominasi cemaran SO2, sedangkan sektor transportasi berkontribusi sebagai sumber pencemar berbagai nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), PM10, dan PM2,5.
“Sumber pencemar udara sudah diketahui. Artinya, sumber pencemar itu yang harus dikendalikan,” ujarnya.
Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyusun Strategi Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta 2023-2030. Terdapat tiga strategi, yaitu peningkatan tata Kelola pengendalian pencemaran udara, pengurangan emisi pencemar udara dari sumber bergerak, dan pengurangan emisi pencemar udara dari sumber tidak bergerak. Ketiga strategi tersebut dijabarkan ke dalam 16 program dan 70 rencana aksi.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dr. Gilbert Simanjuntak mengatakan harus ada kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang nyata untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta. Menurut politisi PDI Perjuangan itu, salah sumber pencemaran udara di Jakarta yang paling banyak adalah kemacetan karena jumlah kendaraan yang berlebihan di jalanan ibukota.
“Itu terbukti saat pandemi, ketika kegiatan masyarakat dibatasi, kemacetan di Jakarta berkurang dan kualitas udara di Jakarta lebih baik. Saat itu banyak foto yang beredar menunjukan udara Jakarta yang bersih,” katanya.
Karena itu, Gilbert mengatakan Jakarta akan bebas dari pencemaran udara bila kendaraan bermotor dibatasi. Namun, dia tidak setuju dengan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan menerapkan jalan berbayar di sejumlah jalan protokol ibukota.
“Mengapa tidak memperkuat transportasi umum terlebih dahulu? Perkuat dulu transportasi umum, baru kemudian terapkan jalan berbayar. Banyak kota besar di dunia yang membatalkan rencana jalan berbayar dan memilih memperkuat transportasi umum, salah satunya Beijing,” tuturnya.
Gilbert mengatakan rencana membatasi jumlah kendaraan dengan menerapkan jalan berbayar merupakan kebijakan yang tidak prorakyat dan tetap menguntungkan pengusaha. Dia lebih menyarankan pembatasan kendaraan dengan membatasi kepemilikan kendaraan bermotor bagi masyarakat dengan menerapkan pajak yang tinggi.
Menurut Gilbert, pajak kendaraan di Indonesia terlalu rendah sehingga masyarakat berlomba-lomba membeli kendaraan bermotor. Sementara itu, volume jalan di Jakarta relatif tetap, bahkan berkurang karena dan kebijakan pelebaran trotoar dan pembuatan jalur sepeda dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Sejak 2019 saya sudah menyuarakan agar anggaran DKI Jakarta diarahkan untuk sektor yang diperlukan untuk mengatasi pencemaran udara dan prorakyat. Pelebaran trotoar dan pembuatan jalur sepeda malah mempersempit jalan, kemacetan jadi bertambah,” ujarnya.
Gilbert menyambut baik keterlibatan generasi muda dalam menyuarakan isu lingkungan dan pencemaran udara. Petisi yang diajukan harus membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersungguh-sungguh dalam menangani pencemaran udara di ibukota. Perlu kebijakan yang prorakyat untuk menangani pencemaran udara, bukan malah menjadikan rakyat sebagai korban yang hanya menguntungkan bagi sektor usaha.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post