Jakarta, Prohealth.id – Penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) belum sepenuhnya dipatuhi pengelola desa wisata di Bali. Selain itu mayoritas pengelola desa wisata tidak memasang tanda KTR di areal desa wisata.
Temuan ini terungkap dalam diskusi Lintas Sektor Terkait Penerapan Kawasan Tanpa Rokok di Kawasan Desa Wisata Dalam Mewujudkan Wisata Ramah Disabilitas yang diselenggarakan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) di Jakarta, Jumat (8/12/2023).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Bali Internasional (UNBI) bahwa tingkat kepatuhan penerapan KTR di desa wisata di Bali sangat rendah. Padahal Bali telah memiliki regulasi KTR yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2011. Ini membuktikan bahwa regulasi KTR belum menyentuh hingga desa wisata sehingga diperlukan regulasi yang lebih tegas dan sosialisasi yang masif terhadap pelaku pariwisata di Bali khususnya pengelola desa wisata.
Peneliti UNBI Made Adhyatma PN Kusuma mengatakan evaluasi penerapan KTR di Bali sangat diperlukan mengingat Bali sudah lama memiliki Perda KTR dan menjadi destinasi wisata utama turis lokal maupun mancanegara. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa mayoritas wisatawan mendukung adanya kebijakan KTR di desa wisata dan adanya KTR di desa wisata tidak akan mempengaruhi kunjungannya. Bahkan mayoritas pengelola desa wisata setuju penerapan KTR karena mengetahui bahaya merokok bagi kesehatan.
“Oleh karena itu, penting dilakukan komunikasi lintas sektor utamanya bidang kesehatan dan kepariwisataan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap KTR. Upaya pemasangan tanda KTR juga harus dilakukan sebagai bentuk himbauan bagi wisatawan untuk tidak merokok,” tegas Adhyatma.
Ketua TCSC IAKMI Sumarjati Arjoso mengatakan penyandang disablitas menjadi salah satu pihak yang sangat dirugikan apabila tidak ada KTR di kawasan wisata. Pasalnya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan masyarakat umum untuk mendapatkan udara yang bersih dan aman serta terhindar dari paparan asap rokok saat berwisata.
Sumarjati mengingatkan pengembangan pariwisata jangan hanya fokus pada destinasinya tetapi harus memperhatikan wisatawan yang berkunjung terutama penyandang disabilitas. Dengan demikian, pengelola kawasan wisata harus memiliki fasilitas sarana dan prasarana yang ramah bagi penyandang disabilitas serta memberikan prioritas bagi penyandang disabilitas untuk bekerja dalam sektor kepariwisataan.
Sementara itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berjanji memasukkan kepatuhan KTR sebagai salah satu kriteria penilaian dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) yang setiap tahun diselenggarakan. Selain itu, KTR akan diusulkan melalui sertifikasi CHSE yang diberikan kepada pelaku usaha pariwisata mengingat selama ini CHSE belum memasukkan kepatuhan KTR.
“Jika KTR menjadi salah satu kriteria penilaian pada ADWI dan CHSE diyakini dapat meningkatkan penerapan KTR pada Desa Wisata. Kami coba diusulkan indikator KTR menjadi salah satu kriteria penilaian ADWI 2024,” ungkap Mega Indah Sri Purwanti, Analis Kebijakan Ahli Muda, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Mega memastikan Kemenparekraf terus mendorong pelaku pariwisata untuk mengembangkan destinasi wisata yang ramah bagi penyandang disabilitas dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas baik sarana maupun prasarananya. Tujuannya agar penyandang disabilitas merasa aman, nyaman, dan selamat sangat berwisata. Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang dijamin hak-haknya dalam kebudayaan dan pariwisata, aksesibilitas, dan pelayanan publik.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post