Efisiensi anggaran di Kementerian Kesehatan sempat menghebohkan publik, khususnya pencari beasiswa kedokteran di Indonesia. Prohealth.id mencatat, viral pada pertengahan Februari 2025 lalu melalui X tentang penutupan program beasiswa kedokteran spesialis.
Surat berkop Kemenkes itu bernomor DP/.01.01/F.III/340/2025, dengan hal ‘Surat Pemberitahuan’ tertanggal 18 Februari 2025. Direktur Penyediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah yang meneken surat tersebut. Berikut isi badan surat yang viral tersebut:
Menindaklanjuti Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bersama ini kami sampaikan bahwa Rekrutmen Program Beasiswa Pendidikan Dokter, Dokter Gigi dan Dokter Spesialis-Subspesialis Kementerian Kesehatan Tahun 2025 untuk sementara waktu dihentikan hingga adanya kebijakan lebih lanjut. Untuk peserta aktif penerima beasiswa, pembayaran komponen beasiswa akan tetap dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Surat ini mendapat banyak penolakan. Alhasil, tak sampai sehari, Kementerian Kesehatan melakukan klarifikasi membatalkan surat itu. Melalui akun X resmi @KemenkesRI pada 19 Februari jam 19.17 WIB Kementerian Kesehatan melakukan klarifikasi dan menganulir surat tersebut.
“#Healthies, program beasiswa PPDS tetap berjalan seperti biasa dan tidak ada perubahan. Kami juga tetap memberikan dukungan penuh kepada seluruh peserta aktif penerima beasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan.”
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, efisiensi anggaran tidak akan mengurangi hak dan komitmen beasiswa kedokteran spesialis. Oleh karenanya, pemerintah menjamin anggaran beasiswa tetap terpenuhi sekalipun ada efisiensi.
Keputusan ini tak lepas dari kenyataan bahwa saat ini, Indonesia hanya mampu mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis per tahun. Angka ini masih jauh dari kebutuhan ideal yang mencapai 32.000 dokter spesialis per tahun. Akibatnya, layanan kesehatan, terutama dalam menangani penyakit katastropik seperti stroke, jantung, kanker, dan gagal ginjal, masih belum merata. Pemerintah pun menargetkan dalam beberapa tahun ke depan, seluruh rumah sakit di Indonesia, termasuk di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, memiliki tenaga dokter spesialis yang cukup.
Dalam acara Orientasi Pusat Peserta Didik PPDS Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU), Budi Gunadi menekankan bahwa kebijakan seleksi peserta PPDS dari daerah ini bertujuan agar mereka dapat kembali mengabdi di tempat asalnya setelah menyelesaikan pendidikan. Dengan begitu, masyarakat di berbagai wilayah tidak perlu lagi pergi mencari rujukan ke kota besar hanya untuk mendapatkan layanan dokter spesialis.
Sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan, pemerintah juga membangun 66 rumah sakit baru di berbagai kabupaten/kota dengan fasilitas kesehatan yang lebih modern. Namun, pembangunan infrastruktur ini tidak akan berdampak besar tanpa ketersediaan tenaga medis yang memadai. Menkes menegaskan bahwa masalah utama bukan hanya kekurangan dokter spesialis, tetapi juga distribusi yang tidak merata. Oleh karena itu, sistem pendidikan dokter spesialis kini lebih fokus dan berpihak pada kebutuhan daerah dengan mempercepat penempatan dokter spesialis di wilayah-wilayah yang masih kekurangan.
Selain percepatan jumlah dokter spesialis, pemerintah juga berkomitmen untuk memastikan lingkungan pendidikan yang lebih profesional dan berbasis kompetensi. Pendidikan dokter spesialis di Indonesia akan semakin mengadopsi standar internasional. Nantinya, calon dokter spesialis akan mendapatkan pendampingan langsung dari konsulen tanpa harus terbebani biaya pendidikan yang tinggi. Dengan sistem ini, harapannya semakin banyak dokter muda dari daerah yang dapat melanjutkan pendidikan spesialis tanpa terkendala biaya. Sehingga mereka dapat kembali berkontribusi bagi masyarakat di wilayahnya.
Hal ini senada dengan penyampaian Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago bahwa efisiensi anggaran tidak akan berdampak pada akses pelayanan kesehatan primer.
“Bahkan dalam rangka promotif preventif, Kemenkes masih memberikan program check-up kesehatan gratis bagi rakyat yang berulang tahun dengan batas waktu 30 hari untuk bisa daftar,” ujar Irma melalui pesan singkat kepada Prohealth.id.
Irma menjamin, efisiensi anggaran tak menganggu juga biaya pendidikan kedokteran. Pengenaan efisiensi hanya untuk pengeluaran operasional seperti biaya rapat dan dinas.
“Jadi yang direvisi (anggaran) hanya ATK, dan program-program seremonial.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post