Jakarta, Prohealth.id- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun. Di mana sekitar 96 juta kasus menunjukkan manifestasi secara klinis yang mengakibatkan penyakit parah, bahkan kematian.
Dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan eksplorasi teknologi mutakhir dan pendekatan inovatif untuk memerangi penularan demam berdarah. Di antaranya sterile insect technique (SIT) atau teknik serangga mandul (TSM) sebagai salah satu upaya pengendalian vektor.
Selain TSM, berbagai strategi dan teknologi inovatif lainnya telah muncul, termasuk pengendalian nyamuk berbasis Wolbachia, gene drive, insektisida baru, metode perangkap dan sterilisasi nyamuk vektor, serta intervensi berbasis masyarakat yang memanfaatkan teknologi digital.
Pernyataan tersebut disampaikan Indi Dharmayanti Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat membuka Webinar Nasional Penyakit Tular Vektor dan Zooonosis dengan tema “Perkembangan Terkini Pengendalian Vektor Dengue di Indonesia” pada Rabu, 8 Mei 2024.
“Pendekatan ini bertujuan tidak hanya untuk mengurangi populasi nyamuk tetapi juga untuk menargetkan perilaku spesifik atau mekanisme biologis yang penting untuk penularan demam berdarah. Sehingga menawarkan pendekatan terpadu untuk pengendalian vector,” kata Indi.
Sementara itu, Wahyu Pudji Nugraheni Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Organisasi Riset Kesehatan BRIN mengatakan, melalui webinar ini diharapkan dapat memunculkan ide-ide penelitian. Inovasi dan kerja sama yang dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam pengendalian penyakit.
“Lebih jauh diharapkan webinar ini mampu memperkaya khasanah khususnya akademik yang berkontribusi positif bagi pembangunan kesehatan masyarakat dan sebagai sivitas akademi BRIN. Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab kita, untuk memajukan ilmu pengetahuan khususnya pembangunan manusia di bidang kesehatan,” ujar Pudji.
Yahiddin Selian dari Direktorat Surveillans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes RI sekaligus Ketua Tim Kerja Pengendalian Vektor, menyampaikan terkait Situasi Terkini Dengue dan Metode Pengendalian Vektor yang telah diaplikasikan di Indonesia.
Yahiddin menyampaikan jika pada 2023 ada 80 negara yang melaporkan lebih dari 5 juta kasus dengue dengan 5000 kematian akibat dengue, dan 80 persennya ada di wilayah Amerika. Peningkatan risiko penularan dengue ini dipengaruhi oleh fenomena El-Nino pada 2023 dan perubahan iklim.
“Untuk Indonesia sendiri kasus demam berdarah ini sudah ada sejak 1968 yang saat itu hanya ada 2 kasus. Namun semakin tahun kasus ini semakin tinggi dan ada beberapa daerah yang tidak endemis pun terjangkit. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena mobilitas, dan yang paling intinya adalah keberadaan vektor di wilayah tersebut,” kata Yahiddin.
Yahiddin juga mengatakan jika strategi pengendalian vektor DBD yang dapat dilakukan antara lain dengan surveilans habitat, surveilans kepadatan vektor, konfirmasi vektor, monitoring resistensi dan efikasi. Selain itu dilakukan juga pengendalian secara fisik, biologi, kimia, dan pengendalian secara terpadu.
“Pengembangan penelitian dan inovasi pun dilakukan yaitu dengan teknologi nyamuk berwolbachia, dan penelitian tentang transovarian. Peran serta masyarakat dalam gerakan satu rumah satu jumantik dan kampung bebas jentik pun, merupakan strategi pengendalian yang diharapkan dapat mengurangi vektor DBD,” katanya.
Pengendalian vektor secara fisik dilakukan dengan cara menggunakan atau menghilangkan material fisik untuk menurunkan populasi Vektor. Pengendalian vektor ini dilakukan dengan 3 M (menguras, menutup dan mengubur), pemasangan perangkap (ovitrap), penggunaan raket elektrik, penggunaan kawat kasa, kelambu, pengelolaan lingkungan (modifikasi dan manipulasi).
Kemudian pengendalian secara biologi dilakukan dengan memanfaatkan organisme yang bersifat predator dan organisme yang menghasilkan toksin yaitu dengan ikanisasi, jentik toksor, dan bakteri Wolbachia.
“Untuk pengendalian vektor terpadu dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor. Hal ini dilakukan berdasarkan asas keamanan, rasionalitas, dan efektifitas, serta mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya,” paparnya.
Intan Ahmad dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB mengatakan, jika berbagai upaya pengendalian sudah dilakukan pemerintah, swasta, masyarakat sejak 1970. Sayangnya, populasi nyamuk tetap tinggi dan dengue tetap menjadi masalah yang serius.
“Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengendalian vektor dengue, di antaranya terkait kondisi geografis dan iklim yang lembab dan banyak hujan, kepadatan permukiman dan urbanisasi. Kepedulian dan partisipasi masyarakat yang masih rendah, resistensi terhadap insektisida, infrastruktur pelayanan kesehatan yang masih kurang. Upaya terintegrasi dan berkelanjutan yang masih belum maksimal, pendekatan baru dengan Wolbachia masih terjadi resistensi dan penolakan oleh sebagian masyarakat,” kata Ahmad.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post