Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan kenaikan cukai rokok berpotensi tingkatkan 148,81 ribu lapangan kerja dan tingkatkan Rp7,92 triliun ke kantong penerimaan pajak.
Dalam riset terbaru Dampak Makroekonomi Cukai Rokok di Indonesia menyebut kenaikan cukai rokok akan mengurangi konsumsi rokok, meningkatkan pendapatan pajak, meningkatkan output, dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru.
Teguh Dartanto, selaku Kepala Kajian Kemiskinan, Perlindungan Sosial, dan Ekonomi Pembangunan FEB UI dan Principal Investigator riset ini menjelaskan, penelitian CISDI menggunakan tiga simulasi kenaikan cukai rokok pada sigaret kretek dan putih, dua produk rokok yang kerap dikonsumsi masyarakat.
Simulasi pertama adalah kenaikan cukai rokok pada 2020 sebesar 23,78 persen untuk sigaret kretek dan 27,15 persen untuk sigaret putih. Simulasi kedua dan ketiga adalah kenaikan cukai masing-masing 30 pesen dan 45 persen untuk sigaret kretek dan putih.
“Studi ini menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 30%-45% memiliki dampak positif pada output, lapangan kerja, serta pendapatan pajak,” jelasnya.
Sementara itu, Research Manager CISDI, Adrianna Bella, MHEcon., menyatakan, kenaikan cukai rokok tidak serta merta berdampak buruk bagi perekonomian, seperti yang selama ini kerap dikhawatirkan.
Jeffrey Drope, selaku Profesor Kebijakan dan Administrasi Kesehatan untuk School of Public Health UIC, menambahkan, kinerja kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia pada 2020 memperoleh skor 2,38 dari 5, sedikit lebih baik dari rata-rata global 2,28. Kenaikan cukai tahun 2020 berperan besar dalam menekan keterjangkauan rokok, meskipun pendapatan negara juga menurun karena dampak COVID-19. Struktur pajak rokok di Indonesia masih terlalu kompleks. Ruang untuk meningkatkan cukai hasil tembakau dan menyederhanakan struktur tarif cukai sangat terbuka di Indonesia.
“Upaya itu diyakini mampu menyelamatkan ribuan nyawa dan menghasilkan pemasukan yang berlimpah untuk program-program pemerintah.”
Sementara itu, Diah Saminarsih, M.Sc., Senior Advisor on Gender and Youth for the Director-General of WHO, berpendapat, dalam proses menaikkan cukai rokok memang selalu ada tegangan antara elemen politik dan value dalam pembuatan kebijakan. Di dalamnya termasuk bukti berbasis sains dan berbagai pertimbangan sekunder yang harus dipakai sebagai variabel pembuatan kebijakan.
“Namun tetap harus diingat bahwa keberpihakan pada kesehatan populasi sebagai human capital negara sangat penting sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan.”
Berdasarkan riset ini, CISDI merekomendasikan pemerintah untuk:
- Menaikkan cukai rokok
Peningkatan cukai rokok tidak hanya mampu menurunkan konsumsi rokok, tetapi juga memiliki dampak positif pada peningkatan output dan penciptaan lapangan kerja. Cukai rokok bisa menjadi pilihan utama menanggulangi tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
- Menyederhanakan golongan tarif cukai rokok
Tarif cukai rokok yang kompleks menyebabkan beragamnya harga rokok di pasaran yang menimbulkan potensi substitusi konsumsi dari rokok yang lebih mahal ke rokok yang lebih murah sehingga mengurangi efektivitas kebijakan pajak dalam menurunkan konsumsi rokok. Oleh karena itu, sejalan dengan peningkatan cukai, pemerintah perlu menyederhanakan golongan tarif cukai rokok untuk meningkatkan efektivitas kebijakan cukai dalam mengendalikan konsumsi rokok.
- Mengelola dampak pasca konsumsi rokok menurun
Pemerintah perlu membagi tugas untuk mengantisipasi dampak penurunan konsumsi rokok. Bappenas bersama Kementerian Koordinator diharapkan dapat mengkoordinasi kebijakan strategis Kementerian/Lembaga terkait:
- Kementerian Ketenagakerjaan dan Pertanian untuk memberi dukungan finansial dan pelatihan bagi tenaga kerja terdampak kenaikan cukai rokok
- Kementerian Sosial untuk meningkatkan program perlindungan sosial bagi tenaga kerja terdampak
- Kementerian Koperasi dan UKM untuk memfasilitasi akses kredit kepada tenaga kerja terdampak
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post