CISDI: Perlu Komitmen Politik Kuat Turunkan Angka Diabetes di Indonesia
Jakarta, Prohealth– Sebuah fakta mengejutkan, sekitar 19,5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes, angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta pada tahun 2045 mendatang. Angka ini akan terus meningkat jika pemerintah tidak ambil bagian dalam mencegah naiknya angka penderita diabetes dengan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), langkah krusial dalam upaya menekan angka kematian akibat diabetes tipe 2 di Indonesia.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono menjelaskan bahwa Indonesia telah masuk ke dalam lima besar prevalensi diabetes tertinggi di dunia. Dengan sekitar 19,5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes, angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta pada tahun 2045 mendatang.
“Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh konsumsi minuman manis dalam kemasan yang telah terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit,” katanya dalam Diseminasi Riset Dampak Cukai MBDK terhadap Beban Diabetes Tipe 2 di Indonesia, Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Selain itu, kata Dante, riset Global Burden of Disease pada 2019 menunjukkan bahwa gaya hidup dan pola makanan buruk, termasuk konsumsi berlebihan MBDK, menyumbang pada setengah dari faktor risiko penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
“Melihat kontribusi tersebut, serta pertimbangan biaya kesehatan yang tinggi, langkah serius diperlukan. Implementasi cukai MBDK menjadi salah satu strategi efektif dalam mengurangi risiko penyakit tidak menular dan beban biaya kesehatan,” kata Dante.
Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan implementasi cukai minuman berperisa dapat memberikan dampak ganda yang positif. Selain manfaat ekonomi, penerapan cukai MBDK juga dapat mengurangi beban kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.
“Apabila cukai diterapkan mulai 2024, jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan turun setiap tahunnya dan dapat mencegah potensi 455.310 kasus kematian kumulatif akibat penyakit tersebut dalam satu dasawarsa ke depan,” ungkap Peneliti Utama CISDI Soewarta Kosen.
Kosen memaparkan, Bukti-bukti penelitian mengungkapkan hubungan yang kuat antara konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) secara berlebihan dengan penyakit tidak menular (PTM), terutama diabetes tipe 2. “Selama dua dekade terakhir, konsumsi MBDK di Indonesia telah melonjak hingga 15 kali lipat,” ungkapnya.
“Temuan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa 61% penduduk Indonesia mengonsumsi MBDK setidaknya sekali sehari. Pada tahun 2019, tujuh dari sepuluh kematian di Indonesia disebabkan oleh PTM, dengan diabetes menempati peringkat ketiga dalam daftar tersebut. Selama periode tahun 2013-2018, prevalensi diabetes tipe 2 di kalangan individu berusia 15 tahun ke atas telah meningkat dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen,” kata Kosen.
Cukai MBDK, kata Kosen, meningkatkan harga penjualan sebesar 20 persen (rata-rata) terhadap angka insidensi dan kematian diabetes tipe 2 pada kalangan dewasa (usia 20 tahun) telah disusun untuk periode 2024-2033, dengan asumsi pemberlakuan cukai pada tahun 2024.
Selanjutnya, evaluasi pengurangan kerugian Disability-Adjusted Life Years (DALYs) dan penghematan beban ekonomi akibat diabetes tipe 2 dilakukan dengan membandingkan proyeksi hasil skenario pemberlakuan cukai dengan proyeksi status quo (tanpa pemberlakuan cukai).
Berdasarkan perhitungan CISDI, lanjut Kosen, dengan hilangnya kedua beban tersebut, Indonesia mampu menghemat biaya langsung atau biaya pengobatan akibat diabetes melitus tipe 2 sebesar Rp 24,9 triliun dan biaya tidak langsung atau kerugian akibat hilangnya produktivitas ekonomi karena diabetes sebesar Rp 15,7 triliun. “Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun dari penerapan cukai MBDK yang dapat menaikkan harga jual produk MBDK di pasar paling tidak sebesar 20 persen,” kata Kosen.
Bahkan sesungguhnya, menurut Kosen, apabila cukai MBDK diterapkan, dampak positif di sektor kesehatan dan ekonomi dapat jauh lebih luas mengingat studi ini terbatas hanya menganalisa beban penyakit diabetes melitus tipe 2 akibat keterbatasan data. “Banyak penyakit tidak menular (PTM) lain yang dapat timbul akibat konsumsi MBDK berlebihan,” ucap dia.
Associate Peneliti Ekonomi Kesehatan CISDI Muhammad Zulfiqar Firdaus menambahkan bahwa berdasarkan pemodelan ekonomi, tanpa cukai, jumlah kematian kumulatif akibat diabetes melitus tipe 2 diperkirakan akan meningkat setiap tahun hingga 2033. “Sebaliknya, dengan penerapan cukai, potensi angka kematian tersebut dapat ditekan hingga sepertiganya,”ujarnya.
Pemodelan ekonomi juga menunjukkan bahwa dengan cukai MBDK, Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun. Dana ini dapat dialokasikan untuk membiayai program kesehatan masyarakat dan mendukung upaya pencegahan penyakit tidak menular. Dari hasil riset dan pemodelan ekonomi yang dilakukan oleh CISDI, rekomendasi kebijakan cukai MBDK menjadi penting untuk diterapkan segera. “Hal ini sejalan dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus tipe 2,” ujarnya.
Beberapa rekomendasi CISDI untuk Penurunan angka obesitas dan diabetes yang efektif di Indonesia membutuhkan aksi nyata dan komitmen politik yang kuat: “Komitmen ini harus diwujudkan dengan mengimplementasi serangkaian kebijakan komprehensif yang bersifat wajib, seperti cukai MBDK, pelabelan gizi depan kemasan, pembatasan iklan, dan kebijakan-kebijakan lain yang memprioritaskan kesehatan masyarakat dan investasi jangka panjang sumber daya manusia. Beberapa tahun mendatang akan menjadi periode penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang kuat untuk mencapai target Indonesia Emas 2045 ”.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post