Jakarta, Prohealth.id – Indonesia sempat hanya berfokus pada kelompok populasi kunci di dalam penanganan HIV karena tren penularan yang terpusat pada kelompok tersebut dalam waktu yang lama. Kemudian muncul pemikiran pentingnya segera melakukan perlindungan pada perempuan dan anak. Demikian keterangan ini disampaikan Divisi Penularan HIV dari Ibu ke Anak Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Hartini.
HIV ada di Indonesia sejak 1987. Banyak perubahan, perkembangan teknologi, pengobatan dan pemutakhiran informasi bertautan dengan HIV. Baik dalam hal pencegahan, pemeriksaan, penanganan, perawatan, hingga dukungan yang berkelanjutan.
“Kemajuan dalam mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak secara berkala dimulai pada 2001 di Nigeria. Sedangkan Indonesia baru memulainya pada 2006,” ucapnya pada konferensi pers Jakarta pada Kamis, 23 November 2023 lalu.
Sebagian besar dorongan ini lahir karena adanya peningkatan akses layanan yang berkaitan dengan PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) dan peningkatan angka perempuan dengan HIV yang mengalami kehamilan serta banyaknya angka kelahiran anak yang hidup dengan HIV.
“Perempuan menanggung beban HIV dan AIDS yang menjadi penyebab utama kematian perempuan usia reproduktif berdasarkan estimasi global yang dikeluarkan UNAIDS. Perempuan hamil yang terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar mengalami komplikasi kehamilan seperti komplikasi karena infeksi, infeksi penyerta termasuk TBC, pneumonia, dan meningitis karena sistem kekebalan tubuh yang lemah,” ujarnya.
Berdasarkan data kaskade tes dan pengobatan HIV Indonesia yang dilaporkan ke UNAIDS hingga akhir 2022 hanya 179,659 dari estimasi 540 ribu (33 persen) ODHIV yang tercatat sedang menjalani terapi pengobatan ARV.
Hal ini tidak hanya menyebabkan retensi pengobatan menjadi tantangan besar namun memperbesar pula resiko terjadinya penularan baik dari sesama orang dewasa ataupun dari ibu kepada anak yang akan dilahirkannya.
Data UNAIDS pada 2022 menunjukkan secara nasional hanya 18 persen dari seluruh ibu hamil dengan HIV yang menerima obat antiretroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke anak.
Cakupannya di Jakarta bahkan lebih rendah lagi yakni 15 persen. Data ini menunjukkan gap yang sangat besar dari target 95 persen yang tercantum dalam Global AIDS Strategi. Gap ini menyoroti perlunya komitmen yang lebih besar untuk memastikan bawah pengobatan menjangkau setiap individu yang membutuhkan termasuk ibu hamil.
Data kumulatif dari Kementerian Kesehatan hingga September 2022 menunjukan perbedaan signifikan angka kasus HIV pada laki-laki 290,262 sebesar 63,7 persen dan perempuan 168,599 yaitu 36,3 persen. Tetapi hal ini tidak membuat resiko pada perempuan menjadi menurun.
Faktanya, perempuan memang lebih rentan tertular HIV baik secara faktor biologis dan faktor sosial. Perempuan akan semakin rentan mendapatkan HIV serta menularkan HIV kepada anak yang dilahirkannya jika tidak mendapatkan perhatian penuh dalam melihat situasi ini.
Penularan HIV secara vertikal pada anak dapat terjadi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui ketika seorang ibu yang berisiko tertular HIV belum atau tidak didukung untuk tetap negatif HIV. Atau jika perempuan hamil positif HIV kesulitan untuk tetap mengakses perawatan dan pengobatan yang efektif.
Dengan demikian sangat penting untuk fokus pada persoalan perempuan dan anak secara holistik. Mulai dari upaya pencegahannya, memaksimalkan pemeriksaan pada ibu hamil, melakukan pengobatan pada mereka yang terdeteksi positif, melakukan deteksi dini pada bayi yang lahir dari ibu HIV serta dukungan non medis lainnya yang juga sangat berpengaruh pada kehidupan sosial dan kesejahteraan perempuan dan anak.
Semangat melahirkan komitmen dan kolaborasi untuk mendorong perlindungan perempuan dan anak dari penularan HIV dan mendorong percepatan tercapainya triple eliminasi sehingga simposium eliminasi penularan dari ibu ke anak (EMTCT) diadakan.
Simposium ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia mulai 27-28 November 2023 di Jakarta dan dapat memperkuat eksplorasi, kolaborasi, serta komitmen antara Kementerian Kesehatan, organisasi profesi, para peneliti, serta komunitas.
“Diharapkan simposium ini dapat memperkuat upaya peningkatan program EMTCT di Indonesia dalam eliminasi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B,” pungkas Hartini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post