Kurang dari 5 tahun terakhir, Indonesia mencatatkan prestasi yang membanggakan dalam bidang olah raga. Prestasi tersebut makin menggelora sejak Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 lalu. Tak heran, jika sportivitas menjadi simbol dari setiap pertandingan olah raga, dan Indonesia dipandang layak mendapat predikat sebagai negara yang sportif dan berkomitmen pada pertandingan olah raga yang adil.
Sayangnya, rentetan prestasi olah raga yang sempat menggembirakan hati rakyat berubah menjadi duka semalam tatkala pecahnya kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Pada 1 Oktober 2022 lalu, terjadi kerusuhan dalam laga antara Arema FC dan Persebaya dalam ajang BRI Liga 1 2022. Pertandingan ini selesai dalam waktu sekitar dua jam.
Sejak awal panitia memang sempat mengkhawatirkan akan pertandingan ini dan meminta kepada Liga (LIB) agar pertandingan dapat diselenggarakan sore hari untuk meminimalisir resiko adanya kerusuhan atau protes salah satu suporter. Sayangnya pihak Liga menolak permintaan tersebut dan tetap menyelenggarakan pertandingan pada malam hari.
Benar saja, tragedi yang menelan ratusan nyawa berawal dari invasi pendukung Arema FC ke lapangan untuk memprotes pemain serta official team yang kalah 2-3 dari tim Persebaya. Anehnya untuk meredam kemarahan, suporter dipukul mundur keluar lapangan, salah satunya dengan menembakkan gas air mata. Padahal, pertandingan terlihat masih berjalan lancar hingga selesai, kemudian kerusuhan terjadi setelah suporter memasuki lapangan dan malah ditindak oleh aparat.
Siapa yang tidak mengetahui gas air mata? Zat ini paling berbahaya dan kerap digunakan untuk meredam paksa aksi demonstrasi. Penggunaan gas air mata dalam suasana keramaian di Stadion Kanjuruhan jelas menimbulkan kecemasan dan membuat penonton panik karena kehabisan nafas, dan sisanya meninggal karena terinjak-injak akibat berdesak-desakan ingin keluar dari suasana stadion yang chaos. Akhirnya tragedi Kanjuruhan menjadi sejarah kelam dalam perjalanan sepakbola Indonesia karena menelan ratusan nyawa lintas usia, dari anak-anak hingga dewasa.
Baca Juga: Perempuan Tidak Boleh Sakit
Bahaya gas air mata dalam perspektif kesehatan
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Prof. Tjandra Yoga Aditama melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id menjelaskan ada beberapa bahan kimia yang digunakan pada gas air mata. Pertama, dapat saja dalam bentuk chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR).
Kedua, secara umum dapat menimbulkan dampak pada kulit, mata dan paru serta saluran napas.
Ketiga, gejala akutnya di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi, dan sesak napas. Kondisi inilah yang memicu para penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan mengalami kesulitan bernafas. Sehingga tak mengherankan jika pada keadaan tertentu dapat terjadi gawat napas atau respiratory distress.
Prof Tjandra yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan masih terkait dampak gas air mata pada paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) jika terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas alias respiratory failure.
Baca Juga: Belajar Jadi ‘Laki’ dengan ‘Stop Merokok’ ala Indro Warkop
Keempat, selain di saluran napas maka gejala lain adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Lalu dapat juga berupa pandangan kabur dan kesulitan menelan. Juga dapat terjadi semacam luka bakar kimiawi dan reaksi alergi.
Kelima, walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup.
Pemakaian gas air mata dan potensi pelanggaran HAM
Angka korban yang sudah lebih dari 150 orang ini pun mendapat gugatan dari masyarakat sipil untuk mendorong advokasi hak asasi manusia. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuntut negara harus bertanggung jawab atas kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
“Kami menyampaikan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan yang terjadi setelah selesainya laga pertandingan sepakbola Arema vs Persebaya pada tanggal 1 Oktober 2022. Kami mendapat laporan perkembangan bahwa sampai dengan Pukul 07.30 WIB, telah ada 153 korban jiwa dari kejadian ini,” terang Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI.
Dalam video yang beredar, YLBHI, bersama tim LBH seluruh Indonesia melihat ada kekerasan yang dilakukan aparat dengan memukul dan menendang suporter yang ada di lapangan. Ketika situasi suporter makin banyak ke lapangan, justru kemudian aparat melakukan penembakan gas air mata ke tribun yang masih banyak dipenuhi penonton.
“Kami menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.”
Persis seperti penjelasan Prof. Tjandra, penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur pengendalian massa mengakibatkan suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan saling bertabrakan. Hal tersebut diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari hal tersebut yang membuat seluruh pihak yang berkepentingan harus melakukan upaya penyelidikan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap pertandingan ini.
Baca Juga: Anak Jalanan Korban Rokok di Metropolitan
“Padahal jelas penggunaan gas air mata tersebut dilarang oleh FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion,” tegas Isnur.
YLBHI dan segenap tim LBH seluruh Indonesia menilai bahwa tindakan aparat dalam kejadian tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan.
Pertama, Perkapolri No.16 Tahun 2006 Tentang Pedoman pengendalian massa.
Kedua, Perkapolri No.01 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Ketiga, Perkapolri No.08 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.
Keempat, Perkapolri No.08 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-hara.
Kelima, Perkapolri No.02 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Huru-hara.
Atas pertimbangan tersebut, LBH seluruh Indonesia menilai bahwa penanganan aparat dalam mengendalikan masa berpotensi terhadap dugaan Pelanggaran HAM dengan meninggalnya lebih dari 150 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka.
Maka dari itu YLBHI dan LBH seluruh Indonesia menyatakan beberapa desakan dan sikap.
Pertama, dengan tegas mengecam Tindak represif aparat terhadap penanganan suporter dengan tidak mengindahkan berbagai peraturan, terkhusus Implementasi prinsip HAM Polri.
Kedua, YLBHI dan LBH seluruh Indonesia mendesak negara untuk segera melakukan penyelidikan terhadap tragedi ini yang mengakibatkan Jatuhnya 153 korban jiwa dan korban luka dengan membentuk tim penyelidik independen.
Ketiga, mendesak Kompolnas dan Komnas HAM untuk memeriksa dugaan Pelanggaran HAM, dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota kepolisian yang bertugas.
Keempat, mendesak Propam Polri dan POM TNI untuk segera memeriksa dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota TNI-Polri yang bertugas pada saat peristiwa tersebut.
Kelima, mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi secara tegas atas tragedi yang terjadi yang memakan korban jiwa baik dari masa suporter maupun kepolisian.
Keenam, mendesak negara, pemerintah pusat dan daerah terkait untuk bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan, Malang.
Selanjutnya: Strategi Kepemimpinan dan Teknologi Solusi Peningkatan Kesehatan Masyarakat
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post