Jakarta, Prohealth.id – Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC), Universitas Muhammadiyah Magelang mengkaji Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), bahwa belum sepenuhnya diterima manfaatnya oleh petani.
Menurut peneliti MTCC Universitas Muhammadiyah Magelang, Rochiyati Murni saat seminar daring bertema Penghidupan Petani Tembakau dan Kebijakan Pendukung di tengah Pusaran Kebijakan Cukai, pada Jumat, (26/11/2021) lalu, untuk asuransi harga tembakau itu masih susah, sehingga alokasi DBHCHT itu tak bisa dimanfaatkan. “Harga tembakau itu dikuasai kartel,” kata Rochiyati.
Saat berjualan tembakau, petani kerap terbebani berbagai macam pungutan. Ketika mewawancarai petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, Rochiyati menemukan, bahwa pajak penjualan dibebankan pada petani. Biaya transportasi saat mengantar tembakau ke industri rokok juga ditanggung petani. Ini belum lagi adanya peran penilai mutu tembakau (grader) yang menguasai penentuan harga.
“Satu keranjang (tembakau) yang disetorkan ke pabrik kalau diuangkan hanya (mendapat) 50 persen dari harga sebenarnya,” ujarnya.
Rochiyati mengatakan, harga tembakau berdasarkan kualitas ditentukan berdasarkan mutu (grade). Setiap daun tembakau yang dipetik saat panen memiliki mutu yang berbeda-beda. Semakin jauh jarak daun dari tanah, maka mutunya lebih tinggi. Penentuan mutu daun tembakau dimulai dari yang paling dekat dengan tanah yang termasuk dalam kategori grade A. “Grade yang berbeda ini menentukan harga,” ujarnya.
Warna daun tembakau biasanya hijau yang harganya paling murah. Ketika warna daun berubah, maka mutunya pun berbeda. Setelah berwarna hijau, warna daun di atasnya kuning, kemudian kuning kemerahan, dan merah.
Tanaman tembakau budi daya petani Desa Tlahap, Temanggung bisa mencapai mutu tertinggi kategori E. “Grade F dan G sangat jarang,” ucapnya. Kategori mutu F dan G, salah satunya di Temanggung bisa ditemukan di Desa Kemloko. “Ini (Desa Kemloko) yang sangat terkenal sebagai penghasil tembakau srinthil,” kata Rochiyati.
Petani Desa Tlahap, Tuhar mengatakan tanaman tembakau memang budi daya yang sifatnya turun-temurun. Hal yang sulit untuk memutuskan beralih tanaman. Namun, pertimbangan nilai ekonomi membuat para petani mencari solusi tak hanya menanam tembakau. “Tembakau mungkin sampai hari ini kurang menguntungkan,” katanya.
Masalah itu membuat Tuhar melakukan penganekaragaman tanaman, tak hanya tembakau, tapi juga kopi arabika. “Itu salah satu inovasinya,” ujarnya. Dia menjelaskan, saat mencoba sistem tumpang sari itu bukan hal mudah untuk para petani yang terbiasa turun-temurun menanam tembakau.
“Petani tembakau tidak bisa menjual rokok,” katanya.
Tapi, biji kopi bisa langsung dijual. Hal itulah yang menjadi pertimbangan untuk menambah nilai ekonomi. Tuhar menjelaskan, dulu sebelum penganekaragaman itu rata-rata 18 ribu tanaman tembakau per hektare. Ketika tumpang sari dengan kopi, maka dikurangi 4.000 tanaman tembakau. Dari 14 ribu tanaman tembakau itu mendapat berat keseluruhan 7 ton. “Satu tanaman tembakau hanya dapat setengah kilogram daun basah, hanya 13 lembar,” ujarnya.
Tuhar menjelaskan, bertanam kopi bisa mengantisipasi kalau harga tembakau kian rendah. “Musim yang bagus saja kadang harga tembakau juga jelek, untuk mengatasi hal semacam itu pengembangan kopi arabika,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan:
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post