Angka kematian akibat HIV/AIDS bukanlah angka yang dimanipulasi. Dikutip dari Statista dan UNAIDS tahun 2020, lebih dari 10 juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA), tidak mendapatkan akses untuk pengobatan.
Akibatnya, infeksi baru HIV/AIDS tidak berkurang signifikan. Data pun menunjukkan, masih ada beberapa wilayah yang mencatat angka tinggi kasus HIV/AIDS, misalnya di Afrika.
Data lain dari Statista mencatat, berdasarkan temuan Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) dan The European Centre for Disease Prevention and Control, ada 10 negara yang berkontribusi menambah angka kasus di level global. Negara-negara itu adalah; Afrika Selatan, Mozambique, Nigeria, Tanzania dan Uganda. Negara-negara ini menyumbang 1/3 dari 1,5 juta infeksi baru selama masa pandemi.
Meskipun angka infeksi baru menurun 2,9 juta pada tahun 2000 menjadi 1,5 pada tahun 2021, jumlah penyandang HIV/AIDS justru naik 26 juta menjadi lebih dari 38 juta lebih dari dua decade ini. Menurut UNAIDS, kenaikan ini bukan disebabkan oleh kasus baru melainkan karena lemahnya perawatan dan penanganan bagi pasien dengan HIV/AIDS.
Stigma dan salah kaprah HIV/AIDS di Indonesia
“Imun pasien HIV/AIDS itu rendah, membuat mereka cepat tertular Covid-19,” ungkap Dr. dr. Evy Yunihastuti, SpPD, Ketua II Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia, pada 30 November 2022 melalui zoom meeting.
Dia menerangkan, gejala pasien HIV/AIDS memang memiliki kesamaan dengan Covid-19 antara lain; mengalami flu, demam, sariawan, dan tiba-tiba saja bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan. Namun perlu dicatat, gejala ini adalah gejala infeksi HIV 1-2 minggu sejak virus masuk ke tubuh.
Apa bedanya dengan gejala lanjutan bukan karena HIV?
“Biasanya, kalau kemasukan [virus] 5-7 tahun baru kekebalan tubuh turun dan terkena berbagai infeksi oportunistik. Gejala oportunistik ini bisa sampai ke otak,” tutur dr. Evy.
Dia menganjurkan pentingnya kelompok rentan HIV/AIDS untuk melakukan tes 1-2 bulan. Tes serologi diutamakan dan tidak perlu menunggu gejala khusus untuk melakukan tes.
Selama masa pandemi, ada banyak penyebab kerentanan pasien HIV/AIDS terhadap Covid-19. Misalnya saja, kata dr. Evy, infeksi oportunistik jamur yang memicu pasien bergejala Covid-19 padahal sebenarnya mengalami HIV/AIDS. Sebaliknya, pasien yang mengalami HIV/AIDS sekaligus Covid-19 cenderung lebih susah untuk sembuh dan kerap mengalami gejala jangka panjang.
“Semua karena kekebalan tubuh yang turun dan terkena berbagai infeksi sekaligus,” tuturnya.
Saat upaya pencegahan HIV/AIDS di dunia menurun akibat pandemi, masyarakat di Indonesia justru belum semua yang memahami cara penularan HIV/AIDS. Tak heran jika masih cukup kuat persepsi bahwa AIDS menular saat berenang, bahkan melalui kloset di toilet.
“Virus [HIV/AIDS] itu ada di cairman mani, vagina, ASI [air susu ibu], tidak ada di pipis atau urine. Apalagi di kolam renang. Sebab virus HIV ini tidak mudah hidup di luar tubuh manusia. Virus ini butuh sel darah manusia atau limfosit. Virus hanya bisa bertahan 4 jam saja di luar tubuh manusia,” tutur dr. Evy.
Oleh karena itu, HIV/AIDS banyak menular melalui hubungan seksual. Dia pun menambahkan, tak semua seks itu berisiko. Pasalnya, ada beberapa prinsip seks yang menularkan HIV/AIDS yakni seks reseptif atau yang menerima berisiko daripada yang insertif. Kedua, hubungan seks melalui anus juga lebih besar potensi menularkan HIV/AIDS ketimbang melalui vagina.
Lebih lanjut, dr. Evy juga mengingatkan tes HIV itu bebas biaya (free) di berbagai puskesmas dan rumah sakit. Perlu diingat juga bagi kelompok berisiko HIV/AIDS, bahwa obat HIV/AIDS ini tidak bisa dibeli sembarangan dan tidak disediakan di berbagai apotik.
Mencegah HIV/AIDS pada anak
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan eradikasi AIDS pada anak di tahun 2030. Hal ini mengingat 52 persen anak di dunia hidup dalam perawatan HIV/AIDS.
Angka ini memang memprihatinkan mengingat 76 persen orang dewasa dengan HIV/AIDS masih bisa menerima pengobatan antiretroviral, sesuai data dari UNAIDS Global AIDS Update 2022. Terdorong dari kondisi tersebut, UNAIDS, UNICEF, dan WHO pun membentuk aliansi satuan kerja menurunkan kesenjangan kesehatan untuk merespon kasus AIDS pada anak. Caranya, dengan meningkatkan pengobatan dan menghentikan penularan HIV/AIDS pada anak. Satuan kerja ini diumumkan di Kanada, dalam forum International AIDS Conference, Agustus 2022 lalu.
Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima menyatakan, kesenjangan yang besar antara kasus anak dan dewasa terinfeksi HIV/AIDS merupakan tantangan dunia dalam menyudahi masalah kesehatan ini.
“Melalui kolaborasi ini, kami bekerja sama untuk mewujudkan aksi bersama. Kami memberikan obat-obatan yang lebih baik, menuntut komitmen politik yang kuat, dan mendorong komunitas aktivis kesehatan untuk mencegah AIDS pada anak,” ungkapnya.
Setidaknya ada 4 pilar aksi bersama. Pertama, menekan kasus penularan HIV/AIDS pada anak dan ibu yang berasal dari jamin dan ASI melalui pengobatan intensif.
Kedua, melakukan upaya preventif mendeteksi infeksi baru HIV pada ibu hamil dan menyusui.
Ketiga, meningkatkan aksesibilitas tes HIV/AIDs, meningkatkan perawatan dan pengobatan pasien dengan komprehensif khususnya bagi anak yang terekspos HIV/AIDS.
Keempat, memperkuat hak kesehatan, kesetaraan gender, dan struktus sosial untuk memudahkan layanan kesehatan.
Menanggapi hal itu, dr. Evy mengingatkan khususnya bagi masyarakat Indonesia, penyandang HIV/AIDS bisa punya anak dengan syarat untuk menikah dan memutuskan punya anak harus menurunkan jumlah virus dalam tubuh.
“Jumlah virus HIV ini bisa dikontrol dulu, agar bayi tidak terkena HIV,” tegas dr. Evy.
Selain itu, agar penularan pada anak tidak semakin banyak, dia menegaskan agar masyarakat berpartisipasi tidak menyuburkan stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Diskriminais dengan stigma ini juga tidak boleh dilakukan oleh tenaga medis kepada ODHA.
“Stigma ini membuat pasien juga tak nyaman berobat. Atau, kalau mau berobat pergi ke tempat yang jauh-jauh supaya kalau tes tidak malu. Banyak masyarakat anggap ini [HIV/AIDS] menakutkan. Jadi cukup sudah membuat persepsi yang tidak baik,” tegas dr. Evy.
Dia menambahkan, Indonesia punya PR besar mengatasi HIV/AIDS pada anak karena banyak ibu hamil dan calon ibu hamil yang belum tes HIV/AIDS. Sementara di negara-negara lain, sebut saja; Malaysia, Thailand, tidak ada anak terkena HIV/AIDS dari ibu, karena para ibu hamil dan menyusui sudah melalui tes.
“Harus sejak dini cegah penularan pada janin. HIV pada anak susah sembuh memakan waktu lama. Berbeda dengan dewasa, terkena HIV/AIDS lebih cepat pulihnya.”
Berkaca dari kompleksitas tersebut, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, selaku Direktur Jenderal WHO menambahkan, peringatan World AIDS Day atau Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2022 harus menjadi momentum untuk kembali fokus pada komitmen menuntaskan AIDS dan menjadi prioritas kesehatan masyarakat pada 2030.
Dia menegaskan 38 juta orang di dunia menderita HIV/AIDS, ada 5,9 juta orang tidak mendapatkan perawatan. Bahkan diprediksi 4 juta orang dengan HIV/AIDS di dunia tidak berhasil terdiagnosa. Sementara, hanya 76 persen orang dewasa dengan HIV/AIDS yang mendapatkan pengobatan antiretroviral. Tedros juga menambahkan, 70 persen infeksi baru HIV/AIDS banyak dialami kelompok masyarakat marjinal dan mengalami kriminalisasi.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post