Surabaya, Prohealth.id – Sejak penetapan Hari Gizi Nasional pada 25 Januari 1960, pemerintah pertama kali membentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR) di era Presiden Soekarno.
Kala itu, tantangan gizi Indonesia tidak hanya soal stunting, tetapi kelaparan akibat transisi ekonomi pasca-kemerdekaan. Kini, 65 tahun berlalu, Hari Gizi Nasional hadir di tengah program Presiden Prabowo Subianto, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sejarah panjang Hari Gizi Nasional menjadi saksi perjuangan bangsa ini dalam meningkatkan kualitas hidup rakyatnya melalui pangan. Moordiati SS, M Hum, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) mengungkap bahwa Hari Gizi Nasional berakar pada misi untuk menciptakan generasi sehat yang mampu membangun bangsa.
“Masa itu, fokus utama adalah menggali potensi pangan lokal seperti singkong, jagung, dan sagu. Ini upaya untuk menekan ketergantungan pada impor sekaligus memberdayakan petani lokal,” jelasnya melalui siaran pers, Minggu (26/1/2025).
Dari Swasembada sampai Ketergantungan Impor
Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan, khususnya beras, yang menjadi kebanggaan nasional. Namun, era globalisasi dan urbanisasi membawa perubahan pola konsumsi masyarakat.
“Kita punya singkong, ubi, hingga tiwul yang kaya nutrisi, tapi masyarakat lebih bangga makan fast food,” ungkapnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah mencanangkan gerakan makan lokal mingguan, melibatkan semua lapisan masyarakat.
“Bayangkan, jika pada hari tertentu, semua pegawai negeri, siswa, dan pekerja swasta makan dari produk lokal. Itu tidak hanya meningkatkan gizi, tetapi juga perekonomian petani,” katanya.
Tebang Pilih dan Kesenjangan Sasaran
Kemudian program MBG lahir dengan ambisi mengentaskan gizi buruk dan ketergantungan makanan cepat saji. Namun, Moordiati mengingatkan bahwa program MBG belum sepenuhnya menjangkau kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Di desa nelayan pesisir Jawa Timur, misalnya, masyarakat cenderung memilih makanan cepat saji meski mereka tinggal di wilayah kaya ikan. “Warganya justru memilih makanan cepat saji seperti ayam goreng tepung. Artinya distribusi makanan bergizi tidak cukup jika masyarakat tidak teredukasi soal pola makan sehat,” ujarnya.
Belajar dari sejarah maka seharusnya Hari Gizi Nasional 2025 bukan hanya perayaan, melainkan momen refleksi. Dari masa lalu dapat belajar bahwa solusi gizi bukan sekadar kebijakan populis, tetapi perjuangan berkelanjutan.
Program MBG, jika melalui perancangan dan evaluasi yang baik, bisa menjadi langkah penting untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Namun, tanpa pendidikan gizi dan promosi pangan lokal, program ini hanya akan menjadi kenangan, seperti banyak kebijakan sebelumnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post