Jakarta, Prohealth.id – Bertepatan dengan peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional (PRT) pada 15 Februari 2023 hak-hak kesehatan PRT harus diperhatikan dan perlu ada instrumen hukum menjamin hak PRT terselenggara dengan baik.
Lita Anggraini selaku Koordinator Nasional JALA PRT menjelaskan, selama melakukan advokasi atas kasus-kasus kekerasan pada PRT, Lita banyak menemukan masalah kesehatan yang dialami PRT. Dia menyatakan bahwa rata-rata penyakit yang dialami PRT adalah masuk angin, namun ternyata mengalami sakit jantung.
“Rata-rata ini saya sering hadapi PRT yang meninggal masuk angin, sebenarnya itu masalah jantung. Itu sering. Jadi tiba-tiba meninggal karena masuk angin. Itu akibat kelelahan,” ujar Lita menjawab pertanyaan Prohealth.id dalam kegiatan Workshop Isu PRT yang diselenggarakan oleh Konde.co pada Kamis, 9 Februari 2023.
Lita juga mengatakan rata-rata PRT pada usia 50 tahun mengeluhkan masalah varises pada otot. Belum lagi, PRT berusia lansia mengalami masa degeneratif. “PRT karena ergonomik bekerja membawa beban misalnya karung beras. Jadi sering misalnya membungkuk, dan keseharian adalah masuk angin, sakit, kelelahan,” sambung Lita.
Beberapa masalah kesehatan lain yang dialami hipertensi, malnutrisi, sakit maag, diare, serta sakit akibat kecelakaan kerja. Misalnya; jatuh dari tangga, jatuh dari motor, atau terluka peralatan rumah tangga. Lalu kasus PRT yang terkontaminasi bahan-bahan kimia dan melukai tubuhnya menjadi panas, dan kulit-kulit pun terkelupas.
“Ada kasus PRT membersihkan lampu hias dengan menggunakan tangga, itu bukan kerja PRT sebenarnya karena itu harusnya dikerjakan orang maintenance,” kata Lita.
Kasus lain yang memprihatikan lain kata Lita akibat kecelakaan kerja digigit oleh anjing peliharaan yang banyak, apalagi kalau anjing milik majikan itu hamil. “Kami sering menangani kasus seperti itu, dan kami minta majikan untuk bertanggung jawab,” tuturnya.
Khusus bagi PRT perempuan, Lita juga mengadvokasi sejumlah masalah kesehatan reproduksi antara lain; kesehatan reproduksi sosial, tidak bisa mengurus kontrasepsi, dan lainnya. Banyak juga PRT perempuan yang sakit kista dan tidak bisa mengakses jaminan kesehatan karena belum bisa membayar BPJS Kesehatan. “PRT ini harus jadi peserta mandiri, tapi kan uang mereka tidak cukup” sambung Lita.
Kilas balik advokasi
Tanggal 15 Februari 2023, merupakan 22 tahun mengenang tragedi PRT Sunarsih yang kelaparan dan disiksa dari pemberi kerja hingga meninggal. Kejadian ini terjadi di Surabaya, pada Februari 2001.
Data penyakit PRT yang disebutkan Lita memang bukan informasi baru. Selama 22 tahun terakhir, terus bermunculan ribuan wajah-wajah korban seperti Sunarsih yang lain, Sutini, yang bahkan disekap dan disiksa 6 tahun.
Lalu Ani yang disekap dan disiksa 9 tahun, Nurlela yang disekap dan disiksa 5 tahun, Eni, Elok, Toipah, Rohimah, Khotimah, Rizki, dan Sunarsih-Sunarsih yang lain, yang merasa kelaparan dan kesakitan hingga berakibat pada berkurang atau tidak berfungsinya organ serta kehilangan nyawa.
Lita mengungkapkan untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan tersebut dan pelanggaran hak asasi manusia, sudah 19 tahun JALA PRT dan berbagai organisasi masyarakat sipil mengajukan dan memperjuangkan RUU PPRT ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“RUU PPRT sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir sudah disepakati oleh pleno baleg DPR RI pada 1 Juli 2020 untuk diserahkan ke Bamus DPR agar diagendakan di Rapat Paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif,” tutur Lita.
Pada Agustus 2022, Pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) juga sudah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT. Pada 18 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah berkomitmen atas perlindungan PRT dan secara resmi memberikan pernyataan secara tegas untuk mempercepat pengesahan RUU PPRT.
“Kami PRT dan masyarakat sipil sangat mengapresiasi dan berterima kasih sebesar-besarnya atas komitmen Presiden RI Joko Widodo untuk perwujudan UU PPRT sebagaimana hal tersebut tercantum dalam Nawacita,” sambungnya.
Namun hal yang membuat NALA prihatin, justru respon dari DPR dalam berbagai media yang menyatakan bahwa tidak perlu buru-buru dan masih perlu kajian adalah pernyataan yang membuat anggota JALA PRT prihatin.
Selama 2,5 tahun RUU PPRT ditahan di Bamus DPR dan Ketua DPR untuk ditetapkan dalam Rapat Paripurna sebagai RUU Inisiatif, namun belum juga dibawa ke rapat paripurna. Sementara Pemerintah sudah menyatakan kesungguhan komitmennya dan membahas bersama DPR.
Apabila ada alasan perbedaan dari DPR, maka sesungguhnya DPR bisa membahasnya bersama Pemerintah untuk mewujudkan jalan bersama.
“Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menunda dan menunda, memposisikan 4 sampai dengan 5 juta PRT mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan dan “dianggap wajar mengalami kekerasan-perbudakan,” tegas Lita.
Desakan melalui aksi puasa
Data JALA PRT di tahun 2023, bahwa 2.641 kasus, 79 persen mereka tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan karena akses komunikasi yang ditutup hingga mulai meningkat intensitas kekerasan dan berujung pada situasi korban yang fatal.
Eva Kusuma Sundari selaku Koordinator Koalisi Sipil untuk UU PPRT mengatakan 1 hari penundaaan pengesahan RUU PPRT sama dengan membiarkan puluhan PRT korban berjatuhan dan hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan.
“Apakah hal ini tidak dianggap krisis? Apakah 1 korban tidak penting bagi DPR. Sementara prinsip kekerasan adalah nir kekerasan. Apakah karena PRT maka kasus kekerasan dianggap wajar? Apabila hal demikian sikap DPR, maka kami semua tidak akan diam membiarkan DPR terus mendiskriminasi, membiarkan kekerasan dan perbudakan terjadi pada PRT di tanah air sendiri,” tegas Eva.
Untuk itu, lanjut Eva, apabila tidak ada langkah segera kehendak politik DPR untuk menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif dan membahas bersama pemerintah. Untuk itu, JALA PRT dan koalisis untuk RUU PRT berkomitmen melakukan aksi puasa 15.000 PRT, keluarga PRT, dan para individu yang tergerak untuk memperjuangkan hak PRT.
“Apabila kemudian juga tidak ada respon dari DPR untuk mengambil langkah konkrit menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif, maka pada tanggal 15 Maret 2023, kami akan melanjuutkan dengan aksi mogok makan, hingga RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU inisiatif dan kemudian dibahas bersama Pemerintah dan disahkan sebagai UU PPRT,” sambung Eva.
Aksi puasa keprihatinan dan mogok makan ini kata Eva, untuk menggambarkan rasa lapar; PRT yang tidak diberi makan, PRT yang tidak diupah, PRT yang bekerja terus menerus hingga kelaparan, PRT dalam situasi kekerasan dan perbudakan.
“Puasa juga sebagai laku keprihatinan solidaritas dan doa kami kepada Yang Maha Kuasa untuk mengetuk pintu Nurani DPR atas nasib jutaan PRT yang bekerja.”
Sejumlah aksi lain untuk mendesak DPR adalah mengirimkan surat cinta kepada Ketua DPR RI Puan Maharani untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Untuk itu, para PRT akan melakukan aksi Rabuan di depan kantor DPR RI setiap hari Rabu.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post