Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan petani tembakau yang harus berhadapan dengan kerugian akibat rendahnya pendapatan dalam tata niaga tembakau.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) memaparkan, perlu adanya intervensi pemerintah menjamin kesejahteraan petani tembakau lewat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Sayangnya, PKJS UI menemukan belum ada upaya optimal yang efektif dalam memanfaatkan DBH CHT untuk mendorong petani tembakau beralih tanam guna mendapatkan cuan yang lebih besar.
Program Manager PKJS-UI, Renny Nurhasana menerangkan, bahwa ketidaksejahteraan petani tembakau harus diperbaiki dari segi daya tawar mereka maupun dari tata niaga industri tembakau.
“Kesejahteraan petani tembakau perlu diperhatikan, baik oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian, juga oleh Pemerintah Daerah,” ungkap Renny dalam peluncuran riset PKJS UI beberapa waktu yang lalu.
Hal ini kata Renny, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pemerintah tetap harus fokus untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) secara signifikan dan konsisten yang dibarengi dengan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi instrumen penting dalam menurunkan prevalensi perokok anak.
“Selain itu perlu ada kebijakan lainnya yang memperhatikan kesejahteraan petani tembakau agar menjadi win-win solution,” tutur Renny.
Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center/MTCC, Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati mengatakan, seberapapun besarnya upaya para petani swadaya, seberapa baiknya kualitas tembakau mereka, harga yang diterima seringkali tidak sesuai dengan harapan para petani. Retno mengkonfirmasi temuan penelitian PKJS UI bahwa ada banyak petani yang belum mengetahui mengenai DBH CHT.
Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Cisilia Sunarti beranggapan bahwa adanya infrastruktur seperti irigasi atau ketersediaan air dapat mendukung petani untuk menanam komoditas lain.
Senada dengan Cisila, Kepala Bidang Produksi Tanaman Semusim, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur Ambar Purwati menyatakan meski pemerintah tidak dapat mengharuskan petani tembakau untuk beralih tanam, adanya PMK baru ini membuka kesempatan jika ada petani-petani yg ingin beralih tanam.
Suherman selaku Kepala seksi produksi tanaman perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat pun menyampaikan beberapa solusi untuk mendukung alih tanam diantaranya membangun embung, menanam jagung, tumpang sari bawang merah.
Suci Puspita Ratih, salah satu tim riset PKJS UI menjelaskan temuan dia tentang kehidupan petani tembakau pada 2020 di Lombok tengah, Pamekasan, dan Kendal. Kami wawancara ke petani mitra dan swadaya, dan ada juga simulasi ke pemda. Nah, tapi saya cerita di Lombok Tengah, saya bisa interaksi dan tinggal bersama dengan petani jadi saya bisa tahu lelahnya jadi petani tembakau,” ujar Suci.
Saat di Lombok, Suci berkisah, dia meneliti dan para petani pun berbagi kisah hidup berjibaku dengan tembakau mereka. Dari sharing itu, para petani mengakui adanya kejenuhan menanam tembakau. “Mereka tidak punya banyak pilihan karena kondisi lahan cukup kering,” sambung Suci.
Beberapa penyebab kejenuhan ini juga dipicu oleh komoditas tembakau punya volatilitas tinggi dan risiko kerugiaan yang tinggi ketika petani memanen.
Kedua, para petani dipaksa menanam pada waktu yang tak seharusnya. Misalnya, mereka dipaksa untuk menanam pada bulan Mei, saat masih hujan dan dia harus ulang tanam ulang karena cuaca buruk sementara risiko tembakau tinggi.
Ketiga, modal yang dikeluarkan untuk memanen tidak sebanding dengan hasil yang dperoleh. Suci menemukan, petani tembakau sejahtera karena mereka penghasilannya tinggi. “Nah, padahal yang kami temukan disana petani lebih sering merugi. Mereka belum ada metode perawatan tembakau layaknya bayi harus dicek,” tutur Suci.
Keempat, setiap hari para petani harus melakukan panen tembakau. Namun ketika dijual, harga yang diajukan diabandingkan dengan modal dan tenaga tidaklah sebanding.
“Petani sebagai price taker di tata niaga tembakau, bukan price maker sehingga petani terjebak daripada tembakau tidak dibeli mereka jual saja daripada tidak dijual sama sekali,” tegas Suci.
Kehadiran tengkulak yang memainkan harga tanpa intervensi pemda ikut memperparah kondisi petani. Untuk menuntaskan masalah ini, penting bagi pemda untuk mendukung petani beralih tanam.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post