Sukiman Mohtar Pratomo, tampak sibuk menyemai bibit kopi Arabika di belakang rumahnya di Desa Deles, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, medio Juni 2017.
Dia berangan ingin mengembalikan kejayaan kopi Merapi pada 1990-an. Harga kopi murah, sempat membuat petani beralih ke tembakau.
Pada 2003, dia mulai memilih tak lagi tanam tembakau, beralih ke berbagai macan sayur dan kopi Arabika. “Harga tembakau tak jelas. Di desa ini petani tembakau rugi hingga tak kembali lagi,” katanya.
Tak semua warga berpindah tanam sayur dan kopi, masih tanam tembakau sebagai selingan. Bagi petani, yang mengutungkan akan mereka pilih. Sayur dipilih karena bisa dipanen tiap bulan, jikapun tak laku dimakan sendiri atau dibagikan pada tetangga.
Di 3.000 meter persegi luas lahan Sukiman, tak ada tembakau. Ada 410.000 meter persegi lahan pertanian warga dua rukun warga di desa itu. Hanya sekitar 0,5% petani tembakau di Deles. “Mereka beralih sendiri, saya tak mengajak,” katanya.
Alasan lain memilih kopi dan sayur, kata Sukiman, mereka hidup di daerah rawan bencana Gunung Merapi. Tembakau memaksa petani banyak menebang tanaman keras, karena perlu matahari cukup.
Risiko bencana makin besar. Kopi sebagai tanaman kayu keras. Jika terkena hujan abu letusan Merapi, hilang daun, bisa tumbuh lagi. Kopi bisa ditanam di bawah pepohonan lain dan tanaman hutan.
Selengkapnya, baca: Kala Tata Niaga Buruk sampai Ancaman Bencana Dorong Petani Tembakau Klaten Beralih ke Tanaman Lain (Bagian 2)
Sumber: Mongabay.co.id
Penulis: Tommy Apriando
Discussion about this post